Sukses

Yahudi AS Demo, Desak Biden Tekan Israel untuk Batalkan Rencana Invasi Darat ke Gaza dan Berlakukan Gencatan Senjata

Dalam aksinya, kelompok Yahudi AS mengusung sejumlah spanduk bertuliskan "Gencatan senjata", "Hentikan genosida di Gaza", dan "Bebaskan Palestina".

Liputan6.com, Washington - Kelompok Yahudi sayap kiri Amerika Serikat (AS) berkumpul di luar Gedung Putih pada Senin (16/10/2023). Mereka mendesak pemerintahan Joe Biden menekan Israel untuk membatalkan rencananya melakukan invasi darat ke Gaza dan sebaliknya segera mengumumkan gencatan senjata.

Pada saat bersamaan, beberapa ratus orang dari kelompok IfNotNow dan Jewish Voice for Peace menuduh pemerintahan pimpinan Benjamin Netanyahu merencanakan genosida. Mereka juga melabeli respons Israel atas serangan Hamas pada Sabtu 7 Oktober yang menewaskan setidaknya 1.400 orang tidak bermoral.

Laporan ABC News menyebutkan, setidaknya 30 orang ditangkap selama aksi protes.

Para demonstran juga mengarahkan kritik kepada Biden, yang menurut mereka terlibat dalam serangan balasan Israel yang menghancurkan Gaza, memutus akses air dan listrik, serta menyebabkan lebih dari 2.700 warga Palestina tewas, termasuk sekitar 700 anak-anak.

Demonstrasi terjadi di tengah rencana kunjungan Biden ke Israel dan Yordania pada Rabu (18/10). Pasca serangan Hamas, Biden tanpa keraguan menyatakan dukungannya terhadap Israel, namun menggarisbawahi bahwa pendudukan terhadap Gaza adalah sebuah kesalahan besar.

Berdiri di luar gerbang Gedung Putih, direktur politik IfNotNow Eva Borgwardt, menuntut pertemuan mendesak dengan Biden.

"Taruhannya adalah hidup atau mati," kata dia, seperti dikutip dari The Guardian, Selasa (17/10).

"Kami di sini untuk memberi tahu Presiden Biden, sebagai panglima militer paling kuat di dunia, bahwa dia perlu melakukan segala daya untuk menuntut gencatan senjata, deeskalasi, membebaskan sandera Israel, dan mengatasi keadaan mendasar yang telah membawa kita ke dalam mimpi buruk ini."

2 dari 3 halaman

Bebaskan Palestina

Penyelenggara protes kemarin mengatakan mereka siap melakukan pembangkangan sipil untuk memengaruhi kebijakan AS, termasuk memblokir pintu masuk dan keluar Gedung Putih.

Sambil memegang spanduk bertuliskan slogan-slogan termasuk "Kesedihan saya bukanlah senjata Anda" dan "Hentikan genosida di Gaza", mereka menegaskan bahwa fokus mereka adalah mengakhiri dukungan AS terhadap pendudukan Israel di Tepi Barat dan apa yang mereka gambarkan sebagai "sistem apartheid" di Israel.

Beberapa peserta aksi mengibarkan bendera Palestina, sementara yang lain mengusung spanduk "Bebaskan Palestina".

Meskipun fokus pada kebijakan Israel, hanya ada sedikit referensi atau kritik langsung terhadap Hamas atas serangannya terhadap kota-kota dan komunitas Israel yang telah memicu krisis terbaru dalam perselisihan yang telah berlangsung puluhan tahun antara Israel dan Palestina.

Sebaliknya, para aktivis justru memusatkan perhatian pada penjualan peralatan militer mahal yang dilakukan pemerintahan Biden ke Israel.

Omas Baddar, seorang analis keturunan Palestina-AS, mengatakan Gedung Putih bersalah atas kemunafikan karena mengutuk invasi Rusia ke Ukraina, sementara mengizinkan tindakan Israel.

"Ketika Anda membandingkan retorika pemerintahan ini, yang berbicara tentang pemerintahan yang mengutamakan hak asasi manusia dalam kebijakan luar negerinya, tentang perlunya mengakhiri kekerasan yang terjadi dalam perang Rusia dengan Ukraina, dan Anda membandingkannya dengan retorikanya mengenai yang terjadi pada Israel dan Palestina saat ini, ini merupakan tingkat kemunafikan yang patut dikecam se-agresif mungkin," kata dia.

3 dari 3 halaman

Perpecahan dalam Keluarga Soal Konflik Israel-Palestina

Beberapa dari peserta aksi demo pada Senin mengakui bahwa dukungan yang lebih luas di kalangan komunitas Yahudi sulit didapat.

"Saya memiliki konflik dengan keluarga saya. Saya percaya pada solusi satu negara," kata Sami Gold (19), mahasiswa ilmu politik dan sejarah di Universitas George Washington di Washington DC, yang mengatakan ibunya adalah kelahiran Israel.

"Orang-orang Yahudi telah didiskriminasi selama ribuan tahun dan jika ada cara untuk membentuk negara Yahudi tanpa mendiskriminasi orang lain, saya akan mendukungnya. Tapi kita tidak hidup di dunia itu."

Dia menambahkan, "Keluarga saya masih menyayangi saya, namun mereka sedih atas apa yang saya yakini. Tapi saya rasa mereka akan semakin bersimpati pada apa yang saya yakini."