Liputan6.com, Khartoum - Perang Sudan yang sudah berlangsung selama enam bulan antara militer dan kelompok paramiliter telah menewaskan hingga 9.000 orang dan menciptakan salah satu mimpi buruk kemanusiaan terburuk.
Hal tersebut disampaikan Kepala Badan Bantuan Kemanusiaan PBB Martin Griffiths pada Minggu (15/10/2023).
Sudan dilanda kekacauan sejak pertengahan April lalu, ketika ketegangan antara panglima militer Jenderal Abdel Fattah Al-Burhan dan komandan paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF) Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo meledak menjadi perang terbuka.
Advertisement
"Selama enam bulan, warga sipil ... tidak ada jeda dari pertumpahan darah dan teror," ungkap Griffiths, dalam pernyataan yang menandai peringatan enam bulan perang Sudan, seperti dilansir AP, Rabu (18/10).
"Laporan mengerikan mengenai pemerkosaan dan kekerasan seksual terus bermunculan."
4,5 Juta Orang Mengungsi di Sudan
Pertempuran awalnya berpusat di Khartoum, namun dengan cepat menyebar ke wilayah lain di negara Afrika timur tersebut, termasuk wilayah Darfur bagian barat yang sudah dilanda konflik.
Menurut badan migrasi PBB, lebih dari 4,5 juta orang mengungsi di Sudan, sementara lebih dari 1,2 juta lainnya mencari perlindungan di negara-negara tetangga.
"Pertempuran juga menyebabkan 25 juta orang – lebih dari separuh populasi negara tersebut – membutuhkan bantuan kemanusiaan," sebut Griffiths.
Konflik, ungkap Griffiths, menyebabkan komunitas terpecah belah, masyarakat rentan tidak mempunyai akses terhadap bantuan untuk menyelamatkan nyawa, dan meningkatnya kebutuhan kemanusiaan di negara-negara tetangga, di mana jutaan orang telah mengungsi.
Advertisement
ICC Selidiki Dugaan Kejahatan Perang dan Kemanusiaan
Griffiths menuturkan bahwa dampak perang Sudan diperparah oleh wabah kolera yang dilaporkan terjadi di ibu kota dan daerah lain.
Lebih dari 1.000 kasus yang diduga terdeteksi di Khartoum dan Provinsi Kordofan dan Qadarif.
Sejak pecahnya perang, wilayah Greater Khartoum – Kota Khartoum, Omdurman, dan Khartoum Utara – telah menjadi medan pertempuran. Serangan udara dan penembakan terjadi di wilayah padat penduduk.
Laporan pemerkosaan dan pemerkosaan berkelompok datang dari Khartoum dan Darfur, yang sebagian besar disalahkan pada Pasukan Dukungan Cepat. RSF dan milisi Arab sekutunya juga dituduh oleh PBB dan kelompok hak asasi internasional melakukan kekejaman di Darfur, yang merupakan lokasi kampanye genosida pada awal tahun 2000-an.
Kekejaman yang dilaporkan terjadi di Darfur disebut mendorong jaksa Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) menyatakan pada Juli bahwa mereka sedang menyelidiki dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.