Sukses

Invasi Darat ke Gaza Makin Dekat, Israel: Hamas Harus Musnah Sampai ke Akarnya

Menhan Israel mengatakan kepada pasukannya di perbatasan bahwa mereka akan segera melihat Gaza dari dalam.

Liputan6.com, Tel Aviv - Pejabat keamanan Israel mengisyaratkan kesiapan mereka untuk memulai invasi darat ke Gaza, yang menurut mereka akan jauh lebih komprehensif dan mematikan dibandingkan konflik sebelumnya dengan Hamas.

Saat mengunjungi pasukan di perbatasan Gaza pada Kamis (19/10/2023), Menteri Pertahanan (Menhan) Israel Yoav Gallant seperti dilansir The Guardian, Jumat (20/10), mengatakan, "Sekarang Anda melihat Gaza dari kejauhan, segera Anda akan melihatnya dari dalam. Perintahnya akan datang."

"Saya ditugaskan memimpin menuju kemenangan," ujar Gallant kepada pasukan Israel. "Kita akan bertindak dengan tepat dan kuat, serta akan terus maju sampai kita memenuhi misi kita."

Segera setelah pernyataan Gallant, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyiarkan video dirinya bersama pasukan di dekat perbatasan, di mana dirinya juga menjanjikan kemenangan.

Menyusul serangan dahsyat Hamas pada Sabtu 7 Oktober yang menewaskan setidaknya 1.400 orang di Israel, negara itu telah memanggil 360.000 tentara cadangan dan mengumpulkan pasukan dalam jumlah besar di sekitar Gaza sembari memperkuat pertahanan di perbatasan utara terhadap kemungkinan serangan dari Hezbollah di Lebanon.

2 dari 4 halaman

Israel Mengklaim Tidak Alternatif Lain

Joe Biden, yang berkunjung ke Israel pada Rabu (18/10), menuturkan bahwa para pejabat Amerika Serikat (AS) dan Israel telah membahas alternatif selain invasi darat masif ke Gaza, yang dipastikan akan menimbulkan korban sipil skala besar.

Lebih dari dari 3.000 warga sipil Palestina di wilayah kantong tersebut tewas akibat dibombardir Israel selama 12 hari terakhir.

Meski demikian, para pejabat Israel dilaporkan bersikeras bahwa mereka tidak punya pilihan selain melancarkan serangan besar-besaran, yang diberi sandi Operasi Pedang Besi.

Selama 16 tahun terakhir - sejak Hamas merebut kekuasaan di Gaza, Israel terlibat dalam tiga konflik signifikan dengan Hamas, namun mereka mengatakan operasinya saat itu bertujuan mengendalikan Hamas, bukan menghancurkannya.

Sementara sekarang, Israel menegaskan tekadnya untuk memusnahkan kelompok militan itu.

"Strateginya adalah membuat jarak yang lebih panjang antar konflik yang berbeda, namun itu gagal," ungkap seorang pejabat keamanan senior Israel. "Jadi, satu-satunya kesimpulan adalah kami harus masuk, membersihkannya dan melenyapkan Hamas dari akarnya, tidak hanya secara militer, tetapi juga ekonomi, dan pemerintahannya. Semuanya harus hilang."

"Itulah gagasannya sekarang dan kami sedang bersiap untuk itu," kata pejabat itu.

Dia memperingatkan, "Itu tidak akan terjadi dengan mudah dan tidak akan berlangsung dalam waktu singkat seperti yang kita inginkan sebagai warga Israel. Itu akan menjadi serangan yang berkepanjangan. Itu akan memakan waktu."

Ketika kekhawatiran akan terjadinya perang besar menyebar ke seluruh kawasan, Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi menuturkan, "Semua indikasi menunjukkan bahwa kondisi terburuk akan segera terjadi. Bencana ini akan mempunyai konsekuensi yang menyakitkan di masa-masa mendatang."

Upaya diplomasi, tambah Safadi, gagal menangkis konflik.

 

3 dari 4 halaman

PBB: Gaza Butuh Bantuan Skala Besar

Ancaman perang darat habis-habisan muncul di tengah harapan bantuan kemanusiaan dapat menjangkau 2,3 juta warga Palestina yang terjebak di Gaza, yang telah terputus dari pasokan air, makanan, dan medis selama 12 hari terakhir. Berdasarkan kesepakatan yang ditengahi oleh Biden dalam kunjungannya ke Israel, penyeberangan Rafah di perbatasan Mesir-Gaza akan dibuka pada Jumat untuk memungkinkan 20 truk pasokan bantuan memasuki Gaza.

Pemerintah Israel mengklaim bantuan yang lebih banyak lagi akan menyusul jika pengiriman pertama tidak disita oleh Hamas.

Kementerian Luar Negeri AS pada Kamis mengatakan bahwa utusan khusus AS yang baru untuk masalah kemanusiaan, David Satterfield, masih berusaha untuk menegosiasikan modalitas yang tepat dari perjanjian tersebut, sementara para pekerja Mesir mulai memperbaiki jalan yang melintasi penyeberangan Rafah.

Badan-badan bantuan telah memperingatkan bahwa bantuan yang menyelamatkan nyawa, jika dan ketika bantuan itu tiba, berada dalam bahaya jika terlambat mengingat skala krisis kemanusiaan di Gaza.

Dalam kunjungannya ke Kairo, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengungkapkan, "Saat ini kami membutuhkan bantuan makanan, air, obat-obatan, dan bahan bakar. Kami membutuhkannya dalam skala besar dan kami membutuhkannya untuk berkelanjutan, ini bukanlah sebuah operasi kecil."

4 dari 4 halaman

Kehancuran dan Kekurangan di Gaza

Invasi darat, selain serangan udara yang terus-menerus, mengancam terputusnya jalur kehidupan ke Gaza.

"Akan ada banyak korban luka yang kehilangan nyawa jika bahan bakar, pasokan medis, dan bantuan penyelamatan nyawa yang mencukupi tidak disalurkan ke rumah sakit di Gaza yang penuh dengan warga sipil yang terluka akibat pengeboman terus-menerus dan serangan udara Israel," kata juru komunikasi dan koordinator advokasi di ActionAid Palestine Riham Jafari.

"Bantuan yang tidak mencukupi akan menyebabkan bencana kesehatan dan kelaparan karena pasien dengan penyakit kronis dan wanita hamil serta bayinya tidak akan dapat menerima perawatan medis dan nutrisi yang mereka butuhkan. Ini akan membahayakan nyawa mereka. Kami tahu persis bahwa 20 truk bantuan yang dijanjikan saat ini tidaklah cukup."

Badan-badan kemanusiaan telah menimbun persediaan penyelamat jiwa di sisi perbatasan Mesir, menunggu pengiriman dimungkinkan.

Kepala urusan bantuan PBB Martin Griffiths menjelaskan kepada Dewan Keamanan PBB pada Rabu (18/10) bahwa organisasi tersebut berupaya mengembalikan pengiriman bantuan ke Gaza menjadi 100 truk sehari, jumlah yang sama sebelum perang Hamas Vs Israel teranyar.

"Tidak ada tempat bagi warga sipil untuk melarikan diri dari kehancuran dan kekurangan, yang keduanya semakin bertambah seiring dengan terus terbangnya rudal dan menipisnya persediaan penting, termasuk bahan bakar, makanan, peralatan medis, dan air," tutur Griffiths.

"Karena kelangkaan air, UNRWA (badan bantuan PBB) di beberapa lokasi … terpaksa mengurangi jatah hingga hanya menyediakan satu liter air per orang per hari. Ingatlah bahwa jumlah minimum menurut standar internasional adalah 15 liter, dan mereka yang mendapatkannya adalah mereka yang beruntung."