Liputan6.com, Maymana - Serangan udara dilakukan oleh pasukan Afghanistan dan Amerika Serikat dalam 24 jam pada hari Minggu, 27 Oktober 2019, di provinsi Kandahar dan Faryab.
Melansir dari Al-Jazeera, dalam kejadian ini, ada total lebih dari 80 pejuang Taliban tewas.
Baca Juga
Abdul Kareem, kepala kepolisian di provinsi Faryab utara, mengatakan bahwa kelompok Taliban ini melakukan serangan terhadap pos pemeriksaan keamanan di distrik Pashtunkot pada Sabtu malam dan menjadi sasaran serangan udara oleh Angkatan Udara Afghanistan setelahnya.
Advertisement
Ia mengatakan bahwa setidaknya 53 pejuang Taliban tewas dan 11 lainnya terluka.
Di provinsi Kandahar selatan, pasukan Amerika Serikat melakukan serangan udara di distrik Maruf dan Shah Wali Kot, menewaskan 33 pejuang Taliban dan melukai delapan lainnya, demikian pernyataan markas kepolisian provinsi.
Sementara itu, Taliban mengklaim telah mengenai konvoi Amerika Serikat di Kandahar dalam serangan dengan perangkat peledak improvisasi.
Qari Yosuf, juru bicara kelompok tersebut, mengatakan kendaraan lapis baja hancur dan semua penumpangnya tewas.
Pasukan Amerika Serikat di Afghanistan belum memberikan komentar terkait insiden tersebut.
Saat itu, Taliban mengendalikan hampir separuh wilayah Afghanistan dan terus melakukan serangan hampir setiap hari yang menyasar pasukan keamanan Afghanistan, serangan yang seringkali menimbulkan korban berat.
Mereka juga meningkatkan kampanye serangan bom bunuh diri dalam beberapa tahun terakhir, seiring dengan upaya Washington untuk menarik pasukannya keluar.
Lakukan Pembicaraan Perdamaian
Sebelumnya, seorang politisi Afghanistan mengonfirmasi bahwa utusan perdamaian Amerika Serikat, Zalmay Khalilzad, tiba di ibu kota Afghanistan, Kabul, untuk pertama kalinya sejak pembicaraan antara Amerika Serikat dan Taliban runtuh bulan lalu.
Sayed Hamid Gailani, pemimpin Front Islam Nasional Afghanistan, memposting di akun Twitter-nya larut Sabtu bahwa ia bertemu Khalilzad dan timnya di Kabul untuk membahas pemilihan presiden terbaru di negara itu dan upaya perdamaian.
Seorang pejabat Afghanistan yang tidak ingin disebutkan namanya juga mengonfirmasi pada hari Minggu bahwa Presiden Ashraf Ghani bertemu Khalilzad.
Kunjungan Khalilzad ke Kabul mengikuti pertemuan yang diadakan di Moskow bersama perwakilan dari Tiongkok, Rusia, dan Pakistan, untuk merestart pembicaraan perdamaian guna mengakhiri perang 18 tahun Afghanistan.
Advertisement
Taliban Tolak Seruan PBB Terkait Pencabutan Batasan Hak-hak Perempuan Afghanistan
Bicara soal Taliban dan pertemuan bersama. PBB juga pernah melakukan diskusi bersama mereka dan membahas isu bersama.
Namun, Taliban menolak seruan baru PBB hari Kamis (22/6) untuk mencabut apa yang disebut lembaga itu “pembatasan yang membebani” penduduk perempuan Afghanistan.
Penolakan itu disampaikan sehari setelah pertemuan Dewan Keamanan PBB diberitahu bahwa pembatasan itu menghalangi akses perempuan dan anak perempuan Afghanistan untuk memperoleh pendidikan, pekerjaan dan bermasyarakat secara umum.
Sejak merebut kembali kekuasaan di Afghanistan pada Agustus 2021, Taliban telah melarang perempuan berkuliah dan bersekolah di atas kelas enam. Mereka juga memerintahkan perempuan pegawai dalam sektor publik untuk tinggal di rumah. Perempuan juga dilarang mengunjungi taman dan sasana kebugaran.
Menanggapi kritik PBB, menteri luar negeri Taliban di Kabul menyebut itu sebagai upaya campur tangan urusan dalam negeri negaranya, dikutip dari laman VOA Indonesia, Sabtu (24/6/2023).
“Emirat Islam Afghanistan tetap berkomitmen pada norma-norma dan kewajiban internasional yang tidak bertentangan dengan prinsip hukum Islam, bertentangan dengan norma budaya Afghanistan atau mengganggu kepentingan nasional kami,” bunyi pernyataan Taliban, dengan menggunakan nama resmi pemerintahannya.
“Oleh karena itu, kami mendesak semua pihak untuk menghormati norma non-intervensi dan menghentikan semua upaya campur tangan dalam urusan dalam negeri kami, termasuk modalitas dan komposisi pemerintahan dan undang-undang kami.”
Taliban tidak diakui oleh pemerintah dan organisasi internasional mana pun. Pengekangannya terhadap perempuan dan anak perempuan dianggap sebagai rintangan utama dalam upayanya untuk diakui sebagai pemerintah Afghanistan yang sah.
Ketika memberi pengarahan kepada Dewan Keamanan PBB hari Rabu (21/6), Roza Otunbayeva, mantan kepala Misi Bantuan PBB di Afghanistan, mengecam dekrit Taliban yang melarang organisasinya dan lembaga lain mempekerjakan perempuan setempat.
Ia mendesak Taliban “mencabut” larangan itu untuk memungkinkan PBB melanjutkan dukungan penuhnya kepada jutaan keluarga Afghanistan yang sangat membutuhkan bantuan.
Program Taliban: Markas Militer Diubah Jadi Zona Ekonomi
Pemerintah Taliban di Afghanistan juga pernah menyatakan akan mengubah sejumlah markas-markas militer menjadi zona ekonomi untuk bisnis.
Keputusan ini diambil di tengah krisis ekonomi dan kemanusiaan yang terjadi di negara itu sejak Taliban mengambil alih.
Dilaporkan BBC, Selasa (21/2/2023), keputusan itu diumumkan oleh Mullah Abdul Ghani Baradar yang merupakan (plt.) deputi perdana menteri bidang ekonomi.
"Telah diputuskan bahwa Kementerian Industri dan Perdagangan mesti secara progresif mengambil alih sisa-sisa markas militer dari pasukan asing dengan niat mengubah mereka menjadi zona-zona ekonomi khusus," ujar pernyataan Mullah Baradar.
Ia menambahkan bahwa proyeknya akan dimulai dengan lokasi-lokasi di ibu kota Kabul dan Provinsi Balkh di utara, namun ia tak memberikan detail tambahan.
Pakar dari S Rajaratnam School of International Studies, Muhammad Faizal bin Abdul Rahman, menyebut Taliban sedang sangat membutuhkan dana untuk memerintah dan meraih legistimasi dalam negeri.
"Lebih penting lagi, Taliban perlu membuktikan komitmennya dalam perencanaan ekonomi.Ini termasuk mendirikan zona-zona aman dekat ibu kota dan perbatasan untuk investor-investor potensial seperti dari China," ujarnya.
Hal lain yang disorot adalah membangun kembali perdagangan regional dengan negara-negara tetangga.
Dari segi sumber daya alam (SDA), Afghanistan diperkirakan ada di atas SDA sejumlah lebih dari US$1 triliun. Mereka memiliki gas alam, tembaga, dan rare earth. SDA itu masih belum bisa dioptimalisasi karena kondisi negara yang bergejolak.
Sementara, sejak Amerika Serikat angkat kaki dari Afghanistan, dan Taliban merebut kekuasaan, negara tersebut masih terus menghadapi sanksi-sanksi ekonomi.
Advertisement