Liputan6.com, Washington - Amerika Serikat (AS) pada Rabu (18/10/2023), menggunakan hak vetonya di Dewan Keamanan PBB untuk memblokir resolusi yang menyerukan Israel mengizinkan koridor kemanusiaan masuk ke Jalur Gaza, menghentikan pertempuran dan mencabut perintah bagi warga sipil untuk meninggalkan wilayah Gaza utara yang terkepung.
Resolusi – yang didukung oleh 12 dari 15 anggota Dewan Keamanan – berisi kritik terhadap Hamas dan tidak merujuk langsung pada Israel. Dalam upaya mendapatkan dukungan AS, rancangan resolusi tidak secara eksplisit menyerukan gencatan senjata, melainkan jeda kemanusiaan.
Baca Juga
Duta Besar AS untuk PBB Linda Thomas-Greenfield mengatakan bahwa resolusi, yang dibuat dengan hati-hati oleh diplomat Brasil, tidak dapat diterima karena tidak menyebutkan hak Israel untuk membela diri.
Advertisement
Linda menambahkan bahwa dia merasa ngeri dan sedih atas hilangnya nyawa, namun tindakan Hamas telah menyebabkan krisis kemanusiaan. Dia juga meminta waktu untuk membiarkan diplomasi Joe Biden berjalan.
Inggris sendiri abstain dan mengatakan bahwa resolusi itu tidak menyebutkan bagaimana Hamas menggunakan warga Palestina sebagai tameng manusia. Demikian seperti dilansir The Guardian, Jumat (20/10).
Dua anggota G7 di Dewan Keamanan PBB, yaitu Jepang dan Prancis, mendukung resolusi itu.
Rancangan resolusi termasuk seruan "jeda kemanusiaan untuk memungkinkan akses kemanusiaan penuh, cepat, aman dan tanpa hambatan bagi badan-badan kemanusiaan PBB". Kegagalan meloloskan resolusi ini merupakan pukulan lain terhadap otoritas badan dunia tersebut.
AS: Korban Tewas Ledakan RS Al-Ahli Arabi Baptist hingga 300 Orang
Sementara itu, terkait ledakan yang mengguncang Rumah Sakit Al-Ahli Arabi Baptist di Gaza pada Selasa (17/10) malam, komunitas intelijen AS memperkirakan kemungkinan korban tewas adalah 100 hingga 300 orang. Namun, menurut kutipan dokumen yang dilihat pada Kamis (19/10) oleh beberapa media, penilaian tersebut dapat berubah.
Jumlah itu lebih rendah dari 471 kematian yang dilaporkan oleh Hamas.
"Kami masih menilai kemungkinan jumlah korban dan penilaian kami mungkin akan berubah, namun jumlah korban tewas ini masih mencerminkan jumlah korban jiwa yang sangat besar," sebut dokumen itu. "AS menganggap serius kematian seluruh warga sipil dan bekerja secara intensif untuk mengatasi krisis kemanusiaan di Gaza."
Otoritas Gaza semula menyebutkan bahwa korbas tewas mencapai 500 orang, kemudian mereka mengoreksinya dengan mengatakan bahwa sedikitnya 471 orang tewas dan lebih dari 300 orang terluka.
Hamas menyalahkan serangan udara Israel atas ledakan di Rumah Sakit Al-Ahli Arabi Baptist, sementara tentara Israel menyalahkan tembakan roket gagal Jihad Islam. Sejauh ini, belum ada pihak yang mengaku bertanggung jawab.
Menurut dokumen intelijen AS, "Israel mungkin tidak mengebom rumah sakit di Jalur Gaza dan AS terus bekerja untuk menguatkan kesimpulan apakah ledakan tersebut disebabkan oleh roket Jihad Islam yang gagal."
Gaza telah dilanda rentetan tembakan Israel yang tiada henti sebagai pembalasan atas serangan Hamas pada Sabtu 7 Oktober, yang menurut Israel menewaskan sedikitnya 1.400 orang.
Adapun serangan balasan Israel telah menewaskan sedikitnya 3.785 warga Palestina di Jalur Gaza.
Advertisement
Invasi Darat ke Gaza Kian Dekat
Dalam perkembangan lainnya, pejabat keamanan Israel mengisyaratkan kesiapan mereka untuk memulai invasi darat ke Gaza, yang menurut mereka akan jauh lebih komprehensif dan mematikan dibandingkan konflik sebelumnya dengan Hamas.
Saat mengunjungi pasukan di perbatasan Gaza pada Kamis, Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant seperti dilansir The Guardian, mengatakan, "Sekarang Anda melihat Gaza dari kejauhan, segera Anda akan melihatnya dari dalam. Perintahnya akan datang."
"Saya ditugaskan untuk memimpin menuju kemenangan," ujar Gallant kepada pasukan Israel. "Kita akan bertindak dengan tepat dan kuat, serta akan terus maju sampai kita memenuhi misi kita."
Segera setelah pernyataan Gallant, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyiarkan video dirinya bersama pasukan di dekat perbatasan, di mana dirinya juga menjanjikan kemenangan.
Biden, yang berkunjung ke Israel pada Rabu, menuturkan bahwa para pejabat AS dan Israel telah membahas alternatif selain invasi darat masif ke Gaza, yang dipastikan akan menimbulkan korban sipil skala besar.
Namun, para pejabat Israel dilaporkan bersikeras bahwa mereka tidak punya pilihan selain melancarkan serangan besar-besaran, yang diberi sandi Operasi Pedang Besi. Selama 16 tahun terakhir - sejak Hamas merebut kekuasaan di Gaza, Israel terlibat dalam tiga konflik signifikan dengan Hamas, namun mereka mengatakan operasinya saat itu bertujuan mengendalikan Hamas, bukan menghancurkannya.
Sementara sekarang, Israel menegaskan tekadnya untuk memusnahkan kelompok militan itu.
"Strateginya adalah membuat jarak yang lebih panjang antar konflik yang berbeda, namun itu gagal," ungkap seorang pejabat keamanan senior Israel. "Jadi, satu-satunya kesimpulan adalah kami harus masuk, membersihkannya dan melenyapkan Hamas dari akarnya, tidak hanya secara militer, tetapi juga ekonomi, dan pemerintahannya. Semuanya harus hilang."
"Itulah gagasannya sekarang dan kami sedang bersiap untuk itu," kata pejabat tersebut.
Dia memperingatkan, "Itu tidak akan terjadi dengan mudah dan tidak akan berlangsung dalam waktu singkat seperti yang kita inginkan sebagai warga Israel. Itu akan menjadi serangan yang berkepanjangan. Itu akan memakan waktu."
Ketika kekhawatiran akan terjadinya perang besar menyebar ke seluruh kawasan, Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi menuturkan, "Semua indikasi menunjukkan bahwa kondisi terburuk akan segera terjadi. Bencana ini akan mempunyai konsekuensi yang menyakitkan di masa-masa mendatang."
Upaya diplomasi, tambah Safadi, gagal menangkis konflik.