Sukses

Mahsa Amini yang Tewas Usai Ditangkap Polisi Moral Iran Menang Penghargaan Sakharov dari Parlemen Eropa

Penghargaan Sakharov oleh Parlemen Eropa tahun ini diberikan kepada Jina Mahsa Amini dan sebuah organisasi perempuan Iran. Kemenangan Amini diharapkan bisa menyuntik semangat baru bagi gerakan perempuan demi kesetaraan.

, Tehran - Jina Mahsa Amini atau yang lebih dikenal dengan mendiang Mahsa Amini dari Iran meraih penghargaan dari Parlemen Eropa.

Menurut laporan yang dikutip dari DW Indonesia, Minggu (22/10/2023), Penghargaan Sakharov tahun 2023 diberikan Parlemen Eropa kepada Jina Mahsa Amini – dan Gerakan Perempuan, Kehidupan dan Kebebasan di Iran.

"Karena para perempuan, pria, dan generasi muda pemberani Iran ini telah menginspirasi dunia melalui perjuangan mereka demi kesetaraan, kebebasan, dan martabat," tulis Presiden Parlemen, Roberta Metsola di media sosial.

Hal senada diungkapkan anggota legislatif Jerman Hannah Neumann, yang melalui media sosial menulis, betapa penghargaan kepada Amini adalah "tanda kuat bahwa Parlemen Eropa berdiri dalam solidaritas yang tak tergoyahkan dengan semua orang yang berjuang untuk Iran yang bebas dan demokratis."

Mahsa Amini menjadi sorotan karena kematiannya saat berada dalam tahanan polisi moral Iran. Hal itu memicu protes kaum perempuan terhadap kekuasaan ulama, yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak Revolusi Islam.

Tapi apakah Penghargaan Sakharov dari Uni Eropa itu akan mampu menguatkan gerakan perempuan Iran dan bagaimana perjuangan mereka untuk kebebasan di tahun-tahun mendatang?

Berikut kronologi kasus Mahsa Amini seperti dirangkum berbagai sumber: 

13 September 2022: Salah Pakai Hijab 

Berdasarkan laporan AP News, Mahsa Amini ditangkap pada 13 September di Tehran. Ia sebetulnya bukan orang Tehran, tetapi hanya berkunjung dari daerah Kurdi di barat Iran.

Alasan ia ditangkap polisi moral adalah karena tidak memakai hijab dengan benar. Sesuai ketentuan yang berlaku di Iran.  

16 September 2022: Nyawa Melayang

Mahsa Amini kolaps ketika berada di kantor polisi. Tiga hari kemudian ia dinyatakan meninggal dunia.

Polisi membantah melakukan kekerasan pada Mahsa Amini. Penyebab kematian wanita itu disebut karena masalah jantung. 

Namun, Amnesty Iran berkata kematian Mahsa Amini mencurigakan. Mereka meminta adanya investigasi kriminal bagi para polisi moral. 

"Semua agen dan penjabat yang bertanggung jawab harus menghadapi keadilan," tulis Amnesty Iran di Twitter. Protes masyarakat pun dimulai.

17 September 2022: Pemakaman 

Al Arabiya melaporkan Mahsa Amini dimakamkan pada Sabtu, 17 September 2022. Demo juga pecah di hari pemakaman itu. 

Para pendemo berkumpul di di Saqez, kota tempat tinggal Mahsa Amini. Mereka memberikan kecaman kepada pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khomenei.

18 September 2022: Presiden Iran Telepon Keluarga Korban

Pada Minggu 18 September 2022, Presiden Iran Ebrahim Raisi telah menelepon keluarga Mahsa Amini. Menurut laporan situs Iran International, pihak pemerintah berjanji akan menuntaskan kasus ini. 

"Anak perempuanmu dan semua gadis Iran adalah anak-anak saya juga, dan perasaan terhadap insiden ini seperti kehilangan anak-anak tersayang saya," ujarnya.

19 September 2022: Keterangan Polisi vs. Ayah Korban

Ayah dari korban, Amjad Amini, mengaku putrinya dipukuli saat di mobil polisi. Hal itu berbeda dari keterangan polisi yang berkata Mahsa Amini meninggal akibat masalah jantung. 

"Tidak jelas bagaimana ia dipukuli. Para wanita yang berada di ambulans berkata ia dipukul di kepala," ujar Amjad Amini kepada media Kurdi, Rudaw.

Amjad Amini juga menegaskan bahwa kabar di televisi Iran bahwa putrinya kolaps karena penyakit adalah kabar bohong.

2 dari 4 halaman

Bukan Warga Iran Pertama Menang Penghargaan Sakharov

Jina Mahsa Amini bukanlah warga Iran pertama yang memenangkan Penghargaan Sakharov. Pada tahun 2012, dua pegiat Iran, Nasrin Sotoudeh dan Jafar Panahi, diakui atas aktivisme mereka oleh Parlemen Eropa.

Penghargaan tersebut diberikan kepada Sotoudeh saat dia masih dipenjara dan hal itu "memperkuat" keyakinannya "hingga hari ini untuk terus bekerja tanpa kenal lelah," katanya kepada DW.

"Saya yakin penghargaan ini adalah milik Mahsa yang patut dikenang sebagai pionir gerakan kebebasan perempuan Iran,” lanjutnya. "Saya percaya bahwa dengan mendedikasikan penghargaan ini kepada Mahsa, Eropa berkontribusi kepada kelangsungan gerakan multietnis, agama, dan ideologi berbeda. Saya tidak bisa membayangkan dampak lain dari penghargaan ini, selain memperkuat gerakan perempuan dan menjamin kelangsungannya."

Awal bulan ini, Narges Mohammadi, aktivis Iran yang saat ini mendekam di penjara, dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian 2023 atas "perjuangannya melawan penindasan terhadap perempuan di Iran dan perjuangannya untuk mempromosikan hak asasi manusia dan kebebasan untuk semua.”

Pengacara Iran dan aktivis hak asasi manusia Iran, Shirin Ebadi, mengatakan kepada DW bahwa Nobel Perdamaian yang diberikan kepada Mohammadi akan "menarik perhatian internasional terhadap pelanggaran hak asasi manusia di Iran, khususnya perlakuan diskriminatif terhadap perempuan."

3 dari 4 halaman

Pemenang Sebelumnya

Nelson Mandela adalah tokoh pertama yang mendapatkan Penghargaan Sakharov pada tahun 1988 – bersama dengan aktivis hak asasi manusia Uni Soviet, Anatoly Marchenko. Penghargaan itu diumumkan dua tahun sebelum Mandela dibebaskan dari Penjara Victor Verster di Cape Town. Aktivis anti-apartheid itu kemudian menjadi presiden Afrika Selatan.

Ketika Aung San Suu Kyi memenangkan penghargaan tersebut pada tahun 1990, politikus oposisi ini dikenal karena perjuangan damainya melawan kekuasaan militer di Myanmar. Namun, baru 23 tahun kemudian dia bisa menerima penghargaan tersebut secara langsung, karena sebelumnya berada dalam tahanan rumah. 10 tahun berlalu dan Suu Kyi sekali lagi ditahan di balik jeruji besi setelah kudeta militer tahun 2021.

Pada tahun 2013 Malala Yousafzai menjadi penerima Hadiah Sakharov termuda. Aktivis asal Pakistan berusia 16 tahun itu mendapat pengakuan atas aktivismenya dalam menjamin akses pendidikan bagi anak perempuan.

 

4 dari 4 halaman

Iran Masih Jadi Sorotan Soal Kasus Serupa Mahsa Amini

Sementara itu di Iran awal bulan ini, dunia kembali diingatkan terhadap kebrutalan yang dihadapi perempuan. Sejumlah organisasi HAM melaporkan, seorang gadis berusia 16 tahun di Tehran dipukuli hingga koma oleh "polisi moral” karena dia tidak mengenakan jilbab.

"Sejak berdirinya Republik Islam di Iran pada tahun 1979, perempuan telah ditindas secara sistematis. Mereka yang tidak patuh akan dihukum. Perempuan yang melawan, seperti saya dan aktivis hak asasi manusia lainnya, menentang sistem ini," kata peraih Nobel Mohammadi kepada DW, sebelum menjalani masa kurungan pada Juni 2021 lalu.

"Mereka yang berkuasa mengupayakan segalanya agar bisa menghancurkan dan membungkam kita," imbuh kata peraih Nobel Mohammadi kepada DW, sebelum menjalani masa kurungan pada Juni 2021 lalu.

  

Video Terkini