Sukses

FBI Ungkap Skema Ribuan Pekerja IT Mendanai Program Rudal Korea Utara

FBI memperingatkan bahwa perusahaan manapun yang mempekerjakan pekerja IT lepas kemungkinan besar mempekerjakan seseorang yang berpartisipasi dalam skema tersebut.

Liputan6.com, Washington - Ribuan pekerja teknologi informasi (IT) Korea Utara yang dikontrak perusahaan-perusahaan Amerika Serikat (AS), selama bertahun-tahun diam-diam mengirimkan jutaan dolar dari gaji mereka ke negara asal mereka untuk digunakan dalam program rudal balistik. Hal itu disampaikan oleh FBI dan pejabat Kementerian Kehakiman.

Dokumen pengadilan di AS menyebutkan bahwa pemerintah Korea Utara mengirimkan ribuan pekerja IT mereka yang terampil untuk tinggal terutama di China dan Rusia, dengan tujuan menipu perusahaan-perusahaan di AS dan negara lain untuk mempekerjakan mereka sebagai karyawan lepas jarak jauh. Para pekerja ini, sebut Agen Khusus FBI di St Louis Jay Greenberg pada Rabu (18/10/2023), menggunakan berbagai teknik agar terlihat seperti mereka bekerja di AS, termasuk membayar warga AS untuk menggunakan koneksi Wi-Fi di rumah mereka.

Greenberg mengatakan lebih lanjut bahwa perusahaan manapun yang mempekerjakan pekerja IT lepas kemungkinan besar mempekerjakan seseorang yang berpartisipasi dalam skema tersebut.

Sementara itu, juru bicara FBI Rebecca Wu mengatakan pada Kamis (19/10), bahwa ada ribuan pekerja IT Korea Utara yang menjadi bagian dari skema ini.

Otoritas federal kemudian mengumumkan penyitaan senilai USD 1,5 juta dan 17 nama domain sebagai bagian dari penyelidikan yang sedang berlangsung.

Menurut FBI, skema ini sangat lazim sehingga perusahaan harus ekstra waspada dalam memverifikasi siapa yang mereka rekrut, termasuk mewajibkan orang yang diwawancarai setidaknya terlihat melalui video.

"Setidaknya, FBI merekomendasikan agar perusahaan mengambil langkah proaktif tambahan terhadap pekerja IT jarak jauh untuk mempersulit pelaku kejahatan menyembunyikan identitas mereka," kata Greenberg seperti dilansir AP, Senin (23/10).

2 dari 3 halaman

Didorong Pandemi COVID-19

Dalam beberapa kasus, menurut Kementerian Kehakiman AS, para pekerja Korea Utara juga menyusup ke jaringan komputer dan mencuri informasi dari perusahaan yang mempekerjakan mereka. Mereka juga mempertahankan akses untuk skema peretasan dan pemerasan di masa depan.

Para pejabat AS tidak menyebutkan nama perusahaan yang secara tidak sadar mempekerjakan pekerja Korea Utara, kapan praktik tersebut dimulai, atau menjelaskan bagaimana penyelidik mengetahui hal tersebut. Namun, otoritas federal menyatakan telah mengetahui skema ini selama beberapa waktu.

Pada Mei 2022, Kementerian Luar Negeri AS, Kementerian Keuangan AS, dan FBI mengeluarkan peringatan mengenai upaya warga Korea Utara untuk mendapatkan pekerjaan sambil menyamar sebagai warga negara non-Korea Utara. Peringatan tersebut mencatat bahwa dalam beberapa tahun terakhir, rezim Kim Jong Un telah meningkatkan fokus pada pendidikan dan pelatihan dalam mata pelajaran yang berhubungan dengan IT.

John Hultquist, kepala threat intelligence di perusahaan keamanan siber Mandiant, mengatakan penggunaan pekerja lepas IT oleh Korea Utara untuk membantu mendanai program senjata telah dilakukan selama lebih dari satu dekade, namun upaya tersebut mendapat dorongan dari pandemi COVID-19.

"Saya pikir dunia pasca-COVID telah menciptakan lebih banyak peluang bagi mereka karena pekerja lepas dan perekrutan jarak jauh adalah bagian bisnis yang jauh lebih alami dibandingkan pada masa lalu," kata Hultquist.

Korea Utara juga menggunakan pekerja di bidang lain untuk "mendanai" program senjata mereka, kata Hultquist, namun gaji yang lebih tinggi bagi pekerja teknologi memberikan sumber daya yang lebih menguntungkan.

3 dari 3 halaman

Upaya Memperkuat Rezim Kim Jong Un

Ketegangan di Semenanjung Korea meningkat di tengah uji coba lebih dari 100 rudal Korea Utara sejak awal tahun 2022 dan AS yang telah memperluas latihan militernya dengan sekutu-sekutunya di Asia sebagai respons balasan.

Kementerian Kehakiman AS dalam beberapa tahun terakhir disebut berupaya mengungkap dan menggagalkan berbagai skema kriminal yang bertujuan memperkuat rezim Korea Utara, termasuk program senjata nuklirnya.

Pada tahun 2016, misalnya, empat warga negara China dan sebuah perusahaan perdagangan didakwa di AS karena dituduh menghindari sanksi yang menargetkan program senjata nuklir dan balistik Korea Utara.

Dua tahun lalu, Kementerian Kehakiman AS mendakwa tiga pemrogram komputer Korea Utara dan anggota badan intelijen militer pemerintah atas serangkaian peretasan global yang menurut para pejabat dilakukan atas perintah rezim Kim Jong Un. Para pejabat penegak hukum mengatakan pada saat itu bahwa penuntutan menyoroti motif keuntungan di balik peretasan kriminal yang dilakukan Korea Utara, berbeda dengan negara-negara musuh lainnya seperti Rusia, China, dan Iran yang umumnya lebih tertarik pada spionase, pencurian kekayaan intelektual, atau bahkan mengganggu demokrasi.

Video Terkini