Sukses

Pangeran Arab Saudi dan Joe Biden Turun Tangan Jaga Stabilitas di Tengah Perang Hamas vs Israel

Joe Biden dan Pangeran Arab Saudi membahas risiko serangan Israel ke Gaza.

Liputan6.com, Riyadh - Putra mahkota Kerajaan Arab Saudi, Pangeran Mohammed bin Salman, melakukan diskusi bersama Presiden Amerika Serikat Joe Biden terkait operasi militer Israel ke Gaza. Mereka berupaya menyetop eskalasi konflik.

Berdasarkan laporan Arab News, Rabu (25/10/2023), Presiden Joe Biden dan Pangeran MBS melakukan diskusi pada Selasa kemarin. Pangeran Arab Saudi menegaskan ia menolak serangan kepada warga sipil, infrastruktur, dan lokasi-lokasi penting untuk kehidupan warga.

Lebih lanjut, Pangeran MBS meminta agar ada ketenangan supaya tidak ada eskalasi yang dapat membawa dampak negatif ke kawasan. Ia juga meminta agar hukum kemanusiaan internasional bisa dituruti, dan supaya bantuan bisa masuk ke Gaza.

Hak rakyat Palestina juga disorot oleh pangeran Saudi. Ia menjelaskan bahwa penting supaya rakyat Palestina mendapatkan haknya, serta meraih keadilan, dan perdamaian.

Dari pernyataan versi Gedung Putih, pihak AS berkata bahwa pemerintahan Joe Biden menyatakan negaranya mendukung ancaman terorisme.

Rilis dari Gedung Putih menyatakan bahwa pihak Saudi dan AS setuju untuk menjaga stabilitas di kawasan dan mencegah konflik meluas. Mereka juga setuju medukung pelepasan tawanan Hamas dan pemberian bantuan kemanusiaan.

"Mereka juga menyepakati pentingya bekerja menuju perdamaian berkelanjutan antara rakyat Israel dan Palestina secepatnya saat krisis mereda," tulis pernyataan Gedung Putih. 

Joe Biden dan Pangeran Arab Saudijuga sepakat untuk terus melanjutkan komunikasi.

2 dari 4 halaman

RS di Gaza Kehabisan Pasokan Medis hingga Listrik, Dokter Terpaksa Operasi Tanpa Anastesi

Laporan sebeumnya, rumah sakit di Gaza kewalahan lantaran kehabisan air, listrik hingga bahan bakar sejak serangan Hamas terhadap Israel pada Sabtu (7/10/2023).

Para dokter, tenaga kesehatan hingga organisasi bantuan internasional menggambarkan kondisi di rumah sakit di Gaza yang semakin mengerikan, termasuk ketika para dokter terpaksa melakukan operasi tanpa anastesi dan hanya diterangi cahaya dari ponsel. Bahkan dalam sejumlah kasus, dokter terpaksa menggunakan cuka sebagai pengganti antiseptik karena keterbatasan pasokan medis.

"Kami tidak mempunyai bahan bakar untuk menjalankan generator siaga, dan yang terkena dampak pertama adalah ruang operasi, unit perawatan intensif, dan ruang gawat darurat," kata direktur jenderal kementerian kesehatan Gaza Dr Medhat Abbass, seperti dilansir The Guardian, Rabu (25/10/2023). 

Banyaknya jumlah pasien, sebut Abbass, membuat rumah sakit dan tenaga medis sangat kewalahan.

"Kami menerima banyak korban di rumah sakit yang menangani kasus bedah. Masalahnya, staf kami kelelahan dan kami tidak punya persediaan medis. Kami menghabiskan (pasokan medis) apa yang biasa kami habiskan sebulan, kini hanya dalam sehari."

Abbass juga mengaku bahwa ia bersama rekan-rekannya terpaksa menolong para pasien di koridor rumah sakit lantaran minimnya ruangan dan fasilitas rumah sakit. 

"Kami mengoperasi beberapa pasien di koridor rumah sakit," tutur Abbass.

"Kami mengoperasi mereka di lapangan dengan menggunakan lampu ponsel, dan beberapa di antaranya dioperasi tanpa anestesi," sambungnya.

 

3 dari 4 halaman

Pasokan Medis Terbatas

Rumah sakit di Gaza tidak hanya dipenuhi oleh ribuan pasien yang menderita luka akibat serangan udara yang terus-menerus, tetapi juga dipenuhi oleh puluhan ribu orang yang mencari perlindungan, sehingga semakin sulit untuk merawat mereka yang terluka. 

Sementara itu, lebih dari 20 rumah sakit di bagian utara dan tengah Gaza, yang mewakili sebagian besar layanan kesehatan di Gaza, telah diperintahkan untuk dievakuasi oleh tentara Israel – sebuah perintah yang menurut para dokter tidak mungkin dilaksanakan.

Pasokan medis dalam jumlah terbatas telah diizinkan melintasi perbatasan Rafah via Mesir dalam beberapa hari terakhir, namun Israel menolak mengizinkannya didistribusikan di wilayah utara. Padahal wilayah tersebut merupakan tempat sebagian besar rumah sakit berada.

Ini lantaran pemerintah Israel menginginkan seluruh bagian utara di Jalur Gaza untuk dievakuasi sebelum serangan darat yang direncanakan.

Semantara itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan tidak mungkin mendistribusikan bahan bakar atau bahan medis di wilayah utara karena kurangnya jaminan keamanan.

Selain itu, sejak serangan Hamas terhadap Israel, belum ada bantuan bahan bakar yang diizinkan masuk ke Gaza, sehingga menyebabkan rumah sakit tidak bisa mengoperasikan generatornya.

4 dari 4 halaman

RS Indonesia Juga Terdampak

Rumah Sakit Indonesia di Gaza utara yang dibangun pada tahun 2016 juga mengalami kekurangan bahan bakar dan meminta negara-negara Arab serta PBB untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi krisis tersebut.

Rumah Sakit tersebut tidak dapat digunakan karena fasilitas vitalnya terganggu pada Senin (23/10) akibat pemadaman listrik, menurut sumber medis.

Kementerian Kesehatan di Gaza pada Selasa (24/10) pagi memperingatkan bahwa generator listrik di semua rumah sakit akan berhenti berfungsi dalam 48 jam ke depan karena kekurangan bahan bakar.

"Kami memiliki waktu kurang dari 48 jam sebelum semua generator listrik di rumah sakit kehabisan bahan bakar," kata juru bicara kementerian Ashraf Al-Qudra dalam pernyataan singkat di Telegram.

Dia menambahkan bahwa kebutuhan mendesak rumah sakit harus diprioritaskan dalam hal distribusi bantuan, dan mendesak PBB dan Komite Palang Merah Internasional untuk mendorong izin pasokan bahan bakar dan unit darah untuk mendukung sektor kesehatan di Jalur Gaza, Palestina yang terkepung.

Video yang beredar secara online menunjukkan tim medis di rumah sakit menerima pasien yang diangkut oleh petugas ambulans sambil menggunakan senter.