Liputan6.com, Muscat - Pemerintahan Kerajaan Arab Saudi menegaskan sikapnya dalam mendukung Palestina. Perjuangan Palestina disebut bukan sebagai perjuangan bangsa Arab saja, melainkan kemanusiaan.Â
"Palestina bukan hanya perjuangan bagi rakyat Palestina sendiri. Ini adalah isu untuk semua dari kita, negara-negara Islam dan Arab, dan bahkan seluruh kemanusiaan," ujar Menteri Urusan Islam, Dakwah, dan Penyuluhan Arab Saudi, Sheikh Abdullatif bin Abdulaziz Al-Sheikh, dikutip Arab News, Kamis (26/10/2023).
Baca Juga
Pernyataan itu dibut Sheikh Abdullatif ketika sedang memimpin pertemuan urusan Islam dari Gulf Cooperation Council (GCC) yang digelar di Muscat, Oman.
Advertisement
Menteri Arab Saudi itu juga menambahkan bahwa perjuangan Palestina harus hadir dalam kesadaran dan diskursus keagamaan.
Sejak akhir pekan pertama Oktober 2023, perang Hamas vs Israel masih belum selesai dan gencatan senjata juga belum terwujud. Korban jiwa pun terus berjatuhan, terutama dari pihak Palestina.
Isu-Isu Lain
Selain isu Palestina, Sheikh Abdullatif menyorot soal nilai-nilai budaya di tengah kemajuan teknologi dan globalisasi, yakni ketika sekat-sekat antara negara dan masyarakat telah jatuh.
Isu lingkungan dan perubahan iklim turut dibahas. Sheikh Abdullatif berkata Arab Saudi memiliki proyek seperti Green Riyah dan Saudi and Middle East Green Initiatives.
Kementeriannya pun berambisi agar membangun masjid yang ramah lingkungan, seperti dengan memasang panel energi surya di atap.
Anak-Anak Gaza Saling Tulis Nama di Tangan Agar Teridentifikasi Jika Meninggal
Perang Hamas Vs Israel kian menyisakan kisah pilu terutama pada warga sipil. Serangan yang seolah tidak berhenti ini membuat beberapa warga seperti mempersiapkan kematian masing-masing.
Hal ini terjadi di Gaza, sebuah kota di Palestina di mana anak-anak saling menuliskan nama mereka di lengan masing-masing dengan tinta.Â
Mereka melakukan ini untuk mempersiapkan kemungkinan tidak dapat lagi bertahan hidup dalam serangan udara Israel berikutnya dilansir The Mirror, Rabu (25/10/2023).Â
Seorang ayah bernama Dr. Omar Suleiman membagikan ulang rekaman video pilu itu di media sosial, mengutuknya sebagai tindakan "kejam dan tidak manusiawi" karena resah dapat mencuri kemanusiaan anak-anak Palestina yang terjebak dalam pertempuran ini.
Rekaman memilukan ini menggambarkan bagaimana anak-anak di Palestina menuliskan identitas mereka di lengan, suatu cara yang mungkin mereka anggap akan memudahkan proses identifikasi ketika tewas akibat serangan udara oleh Israel.Â
Cuplikan yang mungkin menyayat hati ini menampilkan anak-anak yang tampak lebih tua membantu mereka yang lebih muda dalam penulisan nama ini.Â
Meski sejumlah anak berkata "Saya tidak akan mati" terdengar dalam video, tetapi anak-anak tampak bersiap menghadapi skenario terburuk, kematian, dalam rekaman video selama 32 detik tersebut.
Dengan lebih dari 730.000 kali ditonton dalam satu unggahan ulang di X, rekaman itu menjadi viral, bergema luas di berbagai platform media sosial.Â
Dr. Omar Suleiman yang juga merupakan seorang profesor universitas dari Dallas, Texas mengungkapkan kesedihannya.
"Saya melihat putri bungsu saya mewarnai bukunya, kemudian saya melihat anak-anak di Gaza menulis nama mereka di lengan sehingga dapat diidentifikasi jika meninggal dalam serangan udara Israel berikutnya. Saya menangis. Sesuatu tentang melihat kemanusiaan yang dicuri dari anak-anak Palestina ini sebelum mereka diledakkan. Kejam dan tidak manusiawi."
Advertisement
PM Inggris Rishi Sunak Tolak Gencatan Senjata di Gaza
Perdana Menteri Britania Raya Rishi Sunak menyampaikan penolakan gencatan senjata di Gaza. Ia berargumen bahwa itu bisa menguntungkan Hamas.
Sejak awal konflik Hamas vs Israel pecah, PM Rishi Sunak dengan lantang terus-terusan membela Israel. Sudah ada 80 anggota parlemen meminta genjatan senjata, tetapi PM Sunak enggan.Â
PM Sunak mendukung adanya "pause yang spesifik" di tengah konflik supaya bantuan bisa masuk. Tetapi ia menegaskan bahwa gencatan senjat "hanya berfungsi untuk menguntungkan Hamas", demikian laporan The Independent, Kamis (26/10/2023).
Mhair Black dari Partai Nasional Skotlandia bertanya kepada PM Sunak: "Seberapa parah lagi situasi ini hingga ia (Sunak) akan bergabung dengan kami dalam menyerukan gencatan senjata untuk kemanusiaan?"
PM Sunak berkata bahwa Israel punya hak membela diri.
"Posisi kami terhadap posisi tersebut adalah absolut dan tidak berubah," ucapnya.
Menteri Pertahanan UK Grant Shapps juga mendukung invasi darat Israel asalkan sasarannya adalah Hamas.
Menteri Pertama Skotlandia, Humza Yousaf, memberikan pernyataan protes terhadap penolakan gencatan senjata itu. Ia berkata marah karena melihat banyak korban jiwa anak-anak.
"Saya melihat dengan marah. Kita melihat ribuan orang tewas, anak-anak tewas," ujar Yousaf seperti dikutip Middle East Monitor.
Mertua dari Yousaf hingga kini masih terjebak di Gaza.
"Berapa banyak lagi anak-anak yang harus tewas sebelum gencatan senjata dilakukan? Kami menuntut gencatan senjata," tegasnya.
RS di Gaza Kehabisan Pasokan Medis hingga Listrik, Dokter Terpaksa Operasi Tanpa Anastesi
Sebelumnya dilaporkan, rumah sakit di Gaza kewalahan lantaran kehabisan air, listrik hingga bahan bakar sejak serangan Hamas terhadap Israel pada Sabtu (7/10/2023).
Para dokter, tenaga kesehatan hingga organisasi bantuan internasional menggambarkan kondisi di rumah sakit di Gaza yang semakin mengerikan, termasuk ketika para dokter terpaksa melakukan operasi tanpa anastesi dan hanya diterangi cahaya dari ponsel. Bahkan dalam sejumlah kasus, dokter terpaksa menggunakan cuka sebagai pengganti antiseptik karena keterbatasan pasokan medis.
"Kami tidak mempunyai bahan bakar untuk menjalankan generator siaga, dan yang terkena dampak pertama adalah ruang operasi, unit perawatan intensif, dan ruang gawat darurat," kata direktur jenderal kementerian kesehatan Gaza Dr Medhat Abbass, seperti dilansir The Guardian, Rabu (25/10/2023).Â
Banyaknya jumlah pasien, sebut Abbass, membuat rumah sakit dan tenaga medis sangat kewalahan.
"Kami menerima banyak korban di rumah sakit yang menangani kasus bedah. Masalahnya, staf kami kelelahan dan kami tidak punya persediaan medis. Kami menghabiskan (pasokan medis) apa yang biasa kami habiskan sebulan, kini hanya dalam sehari."
Abbass juga mengaku bahwa ia bersama rekan-rekannya terpaksa menolong para pasien di koridor rumah sakit lantaran minimnya ruangan dan fasilitas rumah sakit.Â
"Kami mengoperasi beberapa pasien di koridor rumah sakit," tutur Abbass.
"Kami mengoperasi mereka di lapangan dengan menggunakan lampu ponsel, dan beberapa di antaranya dioperasi tanpa anestesi," sambungnya.
Advertisement