Sukses

5 Dampak Serius Hilangnya Keanekaragaman Hayati, Menurunnya Stabilitas Ekosistem hingga Penularan Penyakit

Hilangnya keanekaragaman hayati ternyata memiliki 5 dampak serius dalam kehidupan makhluk hidup di Bumi.

Liputan6.com, Jakarta - Antroposen adalah istilah yang digunakan untuk menyebut periode di mana manusia telah berpengaruh besar terhadap alam sekitarnya, terutama sejak dimulainya Industrial Revolution (Revolusi Industri). Meskipun International Union of Geological Sciences (IUGS) belum secara resmi mengakui istilah ini, banyak ahli setuju bahwa kita saat ini mengalami fase yang disebut Sixth Mass Extinction (Kepunahan Massal Keenam).

Meskipun manusia adalah satu-satunya spesies yang dapat mempengaruhi seluruh ekosistem Bumi, kita juga memiliki kekuatan khusus untuk menghentikan penurunan keanekaragaman hayati dengan cepat.

Melansir dari situs Earth.org, Sabtu (8/12/2023), konvensi keanekaragaman hayati, yang merupakan bagian dari Program Lingkungan Hidup Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Environment Programme/UNEP), mendeskripsikan keanekaragaman hayati sebagai ragam kehidupan dari segala sumber, termasuk ekosistem di darat, laut, dan perairan, serta jaringan kompleks di mana mereka bertahan. Hal tersebut mencakup beragamnya jenis organisme, interaksi antar spesies, dan kondisi ekosistem.

Secara sederhana, keanekaragaman hayati mencakup beragamnya gen, jenis makhluk hidup, lingkungan tempat mereka tinggal, sistem ekologi, dan cara interaksinya. Selain itu, area yang besar biasanya memiliki beragam habitat yang lebih banyak, yang menghasilkan kekayaan spesies yang lebih banyak.

Lalu bagaimana dampak penting jika keanekaragaman hayati punah seperti yang diprediksi para ilmuwan?

Berikut ini uraian lima dampak utama hilangnya keanekaragaman hayati:

2 dari 6 halaman

1. Dampak terhadap Stabilitas dan Ekosistem

Seperti diversifikasi aset dalam perekonomian, diversifikasi biologis juga memberikan asuransi, tetapi memberikan perlindungan terhadap perubahan dan fluktuasi lingkungan.

Menurut sebuah artikel di jurnal ilmiah Science pada tahun 2015, pengurangan jumlah spesies tanaman mengakibatkan penurunan stabilitas ekosistem secara keseluruhan, terlepas dari penyebab hilangnya keanekaragaman hayati.

Untuk orang-orang yang bukan ahli dalam bidang biologi atau ekologi, hal ini pada dasarnya berarti bahwa hilangnya keanekaragaman hayati membuat ekosistem menjadi lebih rentan terhadap ketidakstabilan dan perubahan.

Selain itu, kehilangan keanekaragaman hayati juga mengancam fungsi penting ekosistem yang mendukung kehidupan manusia.

Secara umum, hubungan antara fungsi keanekaragaman hayati dan ekosistem cenderung positif. Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa hilangnya keanekaragaman hayati mengurangi efisiensi fungsi ekosistem dan juga mempengaruhi manfaat yang dapat diperoleh.

Jasa ekosistem adalah berbagai manfaat yang dapat manusia ambil dari ekosistem yang beragam. Penilaian Ekosistem Milenium mengelompokkan manfaat-manfaat ini ke dalam empat kategori sebagai berikut:

  • Jasa penyediaan: meliputi sumber daya alam seperti makanan, air, kayu, minyak, mineral, tanaman, dan obat-obatan yang diperoleh secara langsung dari lingkungan.
  • Jasa pengaturan: upaya untuk mengelola fenomena alam agar aman dan bermanfaat bagi manusia dan makhluk hidup lainnya. Contohnya termasuk pemeliharaan kualitas udara dan tanah, penyaringan air, penyerbukan tanaman, penangkapan karbon, dan pengendalian iklim.
  • Jasa budaya: manfaat tak berwujud yang diperoleh manusia dari alam, termasuk kontribusinya terhadap perkembangan dan kemajuan budaya masyarakat.
  • Jasa pendukung: dasar dari semua jasa, yaitu mencakup penyediaan habitat yang layak bagi beragam bentuk kehidupan, serta pembentukan serta pemeliharaan keanekaragaman genetik.

Hilangnya keanekaragaman hayati tidak hanya mempengaruhi satu spesies, tetapi juga mengubah interaksi simbiosis dengan spesies lain dan lingkungannya. Sebagai akibatnya, fungsi ekosistem dan jasa-jasa yang disebutkan di atas akan terganggu, dengan dampak yang meluas bagi manusia dan kehidupan lain di Bumi.

3 dari 6 halaman

2. Percepatan Kepunahan Spesies

Banyak ahli sepakat bahwa Kepunahan Massal Keenam tengah berlangsung. Jumlah spesies terus menyusut karena faktor-faktor seperti perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia, kerusakan habitat, eksploitasi berlebihan, pemanenan berlebihan, polusi, dan invasi spesies asing.

Dibandingkan dengan tingkat kepunahan yang terjadi secara alami atau tanpa campur tangan manusia, tingkat kepunahan saat ini diperkirakan sekitar 1.000 hingga 10.000 kali lebih tinggi.

Menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN), krisis iklim berdampak pada kelangsungan hidup semua spesies yang terancam di Red List. Pada Maret 2023, dari 150.300 bentuk kehidupan yang dinilai, sekitar 42.100 atau lebih dari seperempatnya, berada di ambang kepunahan. Jumlah spesies yang terancam, yang saat ini dinilai meliputi:

  • 41 persen amfibi
  • 69 persen dari sikas
  • 37 persen pari dan hiu
  • 36 persen terumbu karang
  • 34 persen tumbuhan runjung
  • 28 persen dari krustasea terpilih
  • 27 persen mamalia
  • 21 persen reptil
  • 13 persen burung

Selain itu, terkait dengan keterkaitan antara keanekaragaman hayati dan kestabilan ekosistem, proses kaskade kepunahan lebih mungkin terjadi ketika tidak ada spesies lain yang dapat mengisi peran yang ditinggalkan oleh spesies yang menghilang.

Penurunan dalam keanekaragaman hayati memicu lebih banyak penurunan lagi. Inilah efek lain yang terjadi. Sebagai respons terhadap hal ini, IUCN telah meluncurkan gerakan global bernama Reverse the Red, yang bertujuan untuk memberdayakan berbagai pihak dalam upaya membalikkan kehilangan keanekaragaman hayati.

4 dari 6 halaman

3. Peningkatan Penularan Penyakit Zoonosis ke Manusia

Penyakit zoonosis adalah penyakit yang dapat menular dari hewan non-manusia ke manusia melalui penularan patogen seperti virus, bakteri, parasit, atau prion. Penularan ini dapat terjadi melalui berbagai cara, seperti kontak langsung dengan hewan, kontak tidak langsung dari lingkungan, konsumsi makanan atau air terkontaminasi, dan melalui serangga atau kutu.

Proses penularan ini disebut sebagai "limpahan zoonosis". Tidak kurang dari 60-75 persen dari penyakit menular pada manusia berasal dari zoonosis. Beberapa contohnya termasuk cacar monyet, Covid-19, AIDS, Ebola, penyakit Lyme, demam berdarah, dan Zika.

Menurut sebuah artikel Biodiversity and Conservation pada tahun 2020, peningkatan munculnya patogen-patogen menular memiliki berbagai penyeba, yang semuanya dipicu oleh dampak-dampak dari aktivitas manusia terhadap lingkungan.

Contohnya, pertumbuhan populasi manusia telah mengakibatkan peningkatan dalam pemanfaatan lahan untuk pertanian dan pemukiman, yang menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati. Orang-orang yang bekerja di sektor ini lebih mungkin untuk berinteraksi dengan hewan liar atau hewan ternak, dan karenanya, terpapar dengan patogen yang mereka bawa.

Selain itu, perluasan wilayah ini juga menciptakan jalur-jalur transportasi baru dari daerah pedesaan ke perkotaan yang padat penduduknya, yang dapat mempercepat penyebaran penyakit zoonosis.

Secara alami, kehilangan habitat juga mempengaruhi spesies non-manusia, termasuk mereka yang membawa patogen. Salah satu dampak dari ini adalah lebih banyaknya hewan liar yang mendekati komunitas manusia, meningkatkan risiko penularan penyakit serta konflik antara manusia dan hewan liar.

5 dari 6 halaman

4. Lebih Banyak Konflik Antara Manusia dan Satwa Liar

Poin terakhir mengenai konflik antara manusia dan satwa liar mengacu pada situasi di mana manusia dan hewan liar terlibat dalam interaksi negatif.

Hal itu dapat mencakup kerusakan tanaman dan properti, cedera fisik, bahkan risiko kehilangan nyawa manusia. Isu tersebut memiliki relevansi besar dalam upaya untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.

Penelitian khusus yang berfokus pada Ethiopia menunjukkan bahwa peningkatan konflik antara manusia dan satwa liar diakibatkan oleh hilangnya keanekaragaman hayati. Ekspansi pertanian, pemukiman manusia, penggembalaan ternak berlebihan, penggundulan hutan, dan kegiatan perburuan liar adalah faktor utama yang memicu gesekan tersebut.

Para penulis menyebutkan bahwa penggundulan hutan di dalam dan sekitar Taman Nasional Pegunungan Bale dilakukan untuk memperluas pemukiman manusia.

Namun, karena berkurangnya tumbuhan di wilayah tersebut, aktivitas sehari-hari hewan liar seperti mencari makan, reproduksi, dan mencari tempat berlindung terganggu. Hal tersebut menyebabkan munculnya konflik antara manusia dan hewan liar.

Terkait konversi lahan, habitat agro-pastoral merupakan bioma buatan manusia yang mencakup sekitar 38 persen dari total lahan bebas es di seluruh dunia. Sayangnya, ekspansi pertanian juga menjadi ancaman terbesar terhadap keanekaragaman hayati.

Banyak spesies berusaha beradaptasi dengan hilangnya habitat dengan mencari makan dan berburu di lahan pertanian dan padang rumput. Namun, hal tersebut juga membawa risiko bagi komunitas agro-pastoralis, terutama dari hewan-hewan besar yang dapat menjadi ancaman.

Terkadang, situasi semacam itu dapat menyebabkan manusia melakukan tindakan balasan berupa berburu hewan liar, yang pada akhirnya dapat mengancam keselamatan hewan-hewan tersebut.

6 dari 6 halaman

5. Ancaman Ketahanan Pangan dan Sumber Daya Obat

Dalam laporan UNEP yang berjudul Food Systems Impact on Biodiversity, disoroti bahwa masyarakat secara alami ingin memanfaatkan lahan untuk memproduksi pangan terjangkau dalam skala besar. Manusia membutuhkan makanan untuk bertahan hidup, dan penting untuk menyediakan makanan dengan harga yang terjangkau bagi semua orang.

Namun, seperti yang ditekankan dalam laporan tersebut, kerugian akibat praktik pertanian yang tidak berkelanjutan tidak hilang begitu saja. Sebaliknya, dampak itu berpindah ke tanah dan lingkungan asal dari mana makanan tersebut berasal.

Ironisnya, ketahanan pangan akan sangat terganggu jika praktik pertanian yang tidak berkelanjutan terus berlanjut. Ekspansi pertanian telah mereduksi sebagian besar lahan, mempengaruhi keanekaragaman hayati termasuk tanah, serangga, tanaman, dan mamalia.

Namun, semua bentuk keanekaragaman hayati, termasuk mikroba, tanaman hortikultura, dan keanekaragaman hayati hewan, sangat penting untuk mendukung produksi pangan yang berkelanjutan dalam jangka panjang.

Terlebih lagi, selama berabad-abad, manusia telah bergantung pada alam untuk mencari sumber pengobatan. Kehilangan keanekaragaman hayati saat ini tidak hanya berdampak pada pengobatan tradisional, tetapi juga mempengaruhi kemajuan obat-obatan modern dan inovasi di bidang kesehatan.

Keanekaragaman hayati, seperti disebutkan, memiliki peran penting dalam memperluas variasi molekuler yang diperlukan untuk keberhasilan dalam penemuan obat di masa depan.