Liputan6.com, Toronto - Militer Israel mengatakan kepada organisasi berita internasional Reuters dan Agence France Presse (AFP) bahwa mereka tidak dapat menjamin keselamatan jurnalis yang beroperasi di Jalur Gaza, yang berada di bawah pengeboman dan pengepungan Israel selama hampir tiga pekan.
Gaza telah dibombardir sejak 7 Oktober ketika serangan Hamas ke Israel menewaskan sekitar 1.400 orang. Sementara itu, hingga saat ini otoritas kesehatan Gaza, yang dikuasai Hamas mengatakan bahwa lebih dari 7.000 warga Palestina tewas akibat serangan Israel.
Baca Juga
Pasukan Pertahanan Israel (IDF) menulis surat kepada Reuters dan AFP pekan ini setelah kedua organisasi berita internasional itu meminta jaminan bahwa wartawan mereka di Gaza tidak akan menjadi sasaran serangan Israel.
Advertisement
"IDF menargetkan semua aktivitas militer Hamas di seluruh Gaza," sebut surat IDF, seraya menambahkan bahwa Hamas sengaja menempatkan operasi militer di sekitar jurnalis dan warga sipil. Demikian seperti dilansir Reuters, Sabtu (28/10/2023).
Dalam suratnya, IDF mencatat pula bahwa serangan berintensitas tinggi terhadap sasaran Hamas dapat menyebabkan kerusakan pada bangunan di sekitarnya dan bahwa roket Hamas juga dapat salah sasaran dan membunuh orang-orang di Gaza.
"Dalam keadaan seperti ini, kami tidak dapat menjamin keselamatan staf Anda dan sangat mendesak Anda untuk mengambil semua tindakan yang diperlukan demi keselamatan mereka," demikian isi surat IDF.
Mengancam Kerja Jurnalistik
Hamas belum berkomentar ketika ditanya tentang tuduhan IDF bahwa mereka melancarkan operasi militer dari dekat tempat para jurnalis di Gaza diketahui bermarkas.
Reuters tidak dapat memverifikasi berapa banyak organisasi berita lain yang beroperasi di Gaza yang menerima surat yang sama dari IDF.
Pada saat bersamaan, Reuters dan AFP menyatakan sangat prihatin dengan keselamatan jurnalis di Gaza.
"Situasi di lapangan sangat buruk dan keengganan IDF untuk memberikan jaminan mengenai keselamatan staf kami mengancam kemampuan mereka untuk menyampaikan berita tentang konflik ini tanpa rasa takut terluka atau terbunuh," ungkap Reuters merespons surat dari militer Israel.
Advertisement
Kondisi yang Sangat Berbahaya
Direktur Berita Global AFP Phil Chetwynd mengonfirmasi bahwa organisasi beritanya telah menerima surat yang sama dari IDF.
"Kita berada dalam posisi yang sangat berbahaya dan penting bagi dunia untuk memahami bahwa ada tim jurnalis yang besar yang bekerja dalam kondisi yang sangat berbahaya," tutur Chetwynd.
Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) mengatakan bahwa setidaknya 27 jurnalis telah terbunuh sejak perang Hamas Vs Israel teranyar dimulai pada 7 Oktober, sebagian besar di Gaza.
Menurut videografer Reuters yang berada di lokasi kejadian, seorang jurnalis video Reuters tewas dan enam jurnalis lainnya terluka di Lebanon selatan pada 13 Oktober ketika rudal yang ditembakkan dari arah Israel menghantam mereka.
Serangan Israel Tewaskan Keluarga Jurnalis
Kisah pilu menimpa kepala biro Al Jazeera di Gaza, Wael al-Dahdouh. Keluarganya, yang terdiri dari istri, anak-anak, hingga cucu terbunuh dalam serangan udara israel ke kamp Nuseirat di Gaza tengah pada Selasa (24/10) malam.
Ironinya, mereka pindah ke sana menyusul peringatan Israel pada 13 Oktober agar penduduk di utara Gaza mengungsi ke selatan.
Setelah serangan udara tersebut, Al Jazeera menayangkan rekaman yang menunjukkan Dahdouh memasuki Rumah Sakit Martir Al-Aqsa di Deir el-Balah pada Rabu (25/10), untuk melihat keluarganya di kamar mayat.
"Apa yang terjadi sudah jelas. Ini adalah serangkaian serangan yang ditargetkan terhadap anak-anak, perempuan, dan warga sipil. Saya baru saja melaporkan dari Yarmouk tentang serangan semacam itu, dan serangan Israel telah menargetkan banyak daerah, termasuk Nuseirat," kata Dahdouh kepada Al Jazeera dalam perjalanan keluar dari rumah sakit.
Al Jazeera dalam pernyataannya "mengutuk keras penargetan dan pembunuhan tanpa pandang bulu terhadap warga sipil tak berdosa di Gaza, yang telah menyebabkan hilangnya keluarga Wael al-Dahdouh dan banyak orang lainnya".
Youmna ElSayed, koresponden Al Jazeera di Gaza, mengisahkan, "Sungguh menyayat hati melaporkan tentang keluarga Wael dan melihat betapa hancurnya dia. Dia berusaha menenangkan semua orang. Dia berbicara kepada kami seperti seorang kakak, bukan hanya seorang kepala biro."
Sehari setelah keluarganya terbunuh, Dahdouh kembali bertugas; melaporkan situasi Gaza kepada dunia.
Advertisement