Sukses

Direktur HAM PBB Pilih Mundur Karena Tidak Mampu Hentikan Genosida di Gaza

Craig Mokhiber lantang membahas isu Palestina di media sosial, termasuk mengkritik pihak-pihak yang menolak resolusi untuk melindungi rakyat Palestina di tengah perang Hamas Vs Israel.

Liputan6.com, New York City - Seorang direktur Komisi Tinggi HAM PBB memilih mundur dari jabatannya sebagai bentuk protes atas apa yang terjadi di Gaza. Sosok itu adalah Craig Mokhiber yang merupakan direktur di kantor New York. 

Media internasional seperti Middle East Monitor dan The Guardian mengabarkan bahwa Mokhiber mundur karena menilai ada genosida di Gaza. 

Pada Senin (30/10), Craig Mokhiber sempat berkata di platform X bahwa genosida yang terjadi di Gaza dipicu karena Amerika Serikat dan Barat memberikan kekebalan kepada Israel. 

"Genosida yang kita saksikan di Palestina adalah produk dari impunitas Israel selama puluhan tahun yang diberikan AS dan pemerintah Barat lainnya, dan puluhan tahun dehumanisasi dari rakyat Palestina oleh media korporat Barat. Kedua hal itu harus selesai sekarang. Angkat suara untuk HAM," ujar Craig Mokhiber, dikutip Selasa (31/10/2023) waktu London. 

Sebelumnya, Craig Mokhiber juga lantang membahas isu Palestina di media sosial, termasuk mengkritik pihak-pihak yang menolak resolusi untuk melindungi rakyat Palestina di tengah perang Hamas vs Israel.

Mokhiber juga membantah narasi bahwa mengkritik pelanggaran HAM Israel sebagai bentuk anti-semitisme.

Sekjen PBB, Antonio Guterres, hingga kini masih menyerukan agar ada gencatan senjata di Gaza supaya bantuan bisa masuk untuk rakyat sipil.

"Level bantuan kemanusiaan yang telah masuk ke Gaza pada saat ini masih sangat kurang. Saya menegaskan kembali seruan saya agar segera ada gencatan senjata kemanusiaan dan agar akses tak dijegal segera dikabulkan, secara konsisten, aman, dan berukuran tepat," ujar Guterres.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Hillary Clinton Tegas Menolak Gencatan Senjata di Gaza

Sementara, mantan calon presiden Amerika Serikat, Hillary Clinton, menyerukan penolakan terhadap gencatan senjata di Gaza. Mantan menteri luar negeri AS itu berargumen bahwa gencatan senjata hanya akan menguntungkan kelompok Hamas.

"Orang-orang yang menyerukan gencatan senjata sekarang tidaklah mengerti Hamas," ujar Hillary Clinton pada acara Baker Institute, dikutip The Jerusalem Post, Selasa (31/10/2023).

"(Gencatan senjata) akan menjadi hadiah bagi Hamas karena mereka akan menggunakan waktu adanya gencatan senjata untuk membangun persenjataan mereka," jelas Hillary Clinton. 

Hillary bukanlah satu-satunya tokoh politik yang menolak gencatan senjata di Gaza. Sebelumnya, Perdana Menteri UK Rishi Sunak juga menolak gencatan senjata. Ia hanya mendukung "pause yang spesifik" untuk bantuan kemanusiaan.

Pada pemilu AS 2016, Hillary Clinton dikalahkan oleh Donald Trump, meski politisi senior itu diprediksi bakal menang. Sejak saat itu, Clinton tidak lagi masuk politik praktis, sementara Trump masih ingin maju di pemilu AS 2024.

3 dari 4 halaman

Sejarawan Israel Kecam Respons Barat atas Krisis Gaza

Sebelumnya dilaporkan, negara-negara Barat memberi Israel jaminan dalam melakukan genosida di Jalur Gaza. Demikian pernyataan keras dari seorang sejarawan terkemuka Israel-Inggris dan profesor emeritus hubungan internasional di Universitas Oxford Avi Shlaim yang disampaikannya dalam forum diskusi 'The War on Gaza: What's Next for Palestine?' di London, Inggris, pada Senin (30/10/2023).

Dukungan Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Uni Eropa, termasuk dukungan militer, dinilai Shlaim membuat mereka terlibat dalam pembantaian massal oleh Israel di Jalur Gaza.

"Respons Barat terhadap krisis ini adalah kemunafikan dan standar ganda yang kejam, namun kali ini sudah pada level baru. Kecintaan Barat terhadap Israel selalu menyertai, selalu bergantung pada penghapusan sejarah Palestina dan kemanusiaan," ujar Shlaim, seperti dilansir Middle East Eye, Selasa (31/10).

"Kekhawatiran mendalam terhadap keamanan Israel selalu ditegaskan kembali oleh para pemimpin Barat - namun tidak ada satupun pemikiran terkait keamanan Palestina."

Shlaim lahir pada tahun 1945 di Baghdad dari orang tua yang memiliki koneksi baik dan merupakan bagian dari minoritas Yahudi berusia ribuan tahun di Irak. Pada usia lima tahun, Shlaim terpaksa melarikan diri bersama keluarganya, menyusul pengeboman yang menargetkan orang-orang Yahudi di ibu kota Irak.

Sebagai salah satu "sejarawan baru" di Israel, Shlaim disebut adalah bagian dari kelompok yang menilai kembali sejarah negara tersebut dan sering menyoroti penindasan terhadap orang-orang Palestina.

4 dari 4 halaman

Kemlu RI Bantah Ada Relawan Indonesia Tewas di Gaza, 10 WNI dalam Kondisi Selamat

Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu RI) membantah adanya Warga Negara Indonesia (WNI) bernama Ahmad Hasyim yang tewas saat bertugas menjadi relawan di Gaza. 

"Sesuai database Kemlu mengenai WNI di Gaza, tidak ada WNI dengan nama Ahmad Hasyim," kata Direktur Pelindungan WNI Judha Nugraha melalui pesan singkat, Selasa (31/10/2023). 

Korban tewas tersebut, jelas Iqbal, bukan merupakan WNI melainkan merupakan warga lokal Palestina. 

Konfirmasi mengenai hal ini juga disampaikan oleh Juru Bicara Kemlu RI Lalu Muhammad Iqbal, yang menekankan bahwa Ahmad Hasyim bukan merupakan WNI. 

"Kemlu telah melakukan klarifikasi kepada pemilik akun dan juga kepada sumber-sumber di Gaza. Terkonfirmasi bahwa relawan atas nama Ahmad Hasyim yang disebutkan di akun tersebut bukan WNI," ungkap Iqbal melalui pesan singkat. 

Iqbal menjelaskan bahwa korban merupakan relawan lokal di Gaza bagi salah satu lembaga kemanusiaan di Indonesia. 

"Kami ikut berduka cita dan belasungkawa yang mendalam atas wafatnya almarhum," sambung Iqbal. 

Konfirmasi tersebut disampaikan oleh Kemlu RI setelah beredar unggahan di akun Instagram milik Ustadz Salim A.Fillah. 

"Salah satu relawan kami di garis depan gugur sebagai syahid ketika menjalankan tugas. Mari kita doakan Akhi Ahmad Hasyim seorang pemuda yang telah berkhidmat di garis depan dengan mempertaruhkan nyawa," tulis keterangan unggahan akun @salimafillah.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.