Liputan6.com, Ramallah - Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengklaim bahwa mereka telah membunuh Komandan Batalion Jabalia Hamas, Ibrahim Biari, dalam serangan udara ke kamp pengungsi Jabalia di Jalur Gaza pada Selasa (31/10/2023) pagi.
IDF menuturkan bahwa serangan itu menewaskan Biari dan sejumlah militan Hamas lainnya, serta menyebabkan terowongan bawah tanah yang digunakan oleh kelompok tersebut runtuh, merobohkan beberapa bangunan di dekatnya.
Baca Juga
Menurut IDF, Biari adalah salah satu komandan Hamas yang bertanggung jawab mengarahkan anggota pasukan kelompok militan tersebut untuk menyerang Israel selatan pada 7 Oktober 2023.
Advertisement
IDF mengungkapkan bahwa serangan udara di Jabalia adalah bagian dari serangan skala besar terhadap operasi Hamas dan infrastruktur milik Batalion Jabalia Pusat milik kelompok tersebut.
"Militer Israel berhasil melenyapkan pembunuh teroris Ibrahim Biari pada Selasa," ungkap juru bicara IDF Daniel Hagari, seperti dilansir The Guardian, Rabu (1/11). "Selama eliminasinya, banyak teroris terbunuh."
Hagari mengaku bahwa Hamas terus menggunakan penduduk sipil di Gaza sebagai tameng manusia dengan cara yang sangat kejam. Dia menuduh Hamas sengaja membangun infrastruktur di bawah rumah penduduk.
"Komandan tertinggi Hamas Ibrahim Biari berada di balik pembantaian tidak hanya terhadap warga Israel pada 7 Oktober, tetapi juga pembantaian yang menyebabkan runtuhnya Jalur Gaza terhadap penduduknya," kata dia.
"Oleh karena itu, kami menyerukan kepada warga Gaza utara untuk pindah ke selatan dan kami akan mengizinkan mereka melakukannya di koridor. Militer Israel akan terus beroperasi dengan kekuatan penuh di Gaza," tegasnya.
Otoritas kesehatan Gaza, wilayah yang dikuasai Hamas, mengatakan sedikitnya 50 orang tewas dan sekitar 150 orang terluka dalam pengeboman Israel terhadap kamp pengungsi Jabalia.
Melemahkan Upaya Mediasi
Kementerian Luar Negeri Qatar pada Rabu, mengecam keras serangan Israel terhadap kamp pengungsi Jabalia di utara Gaza dan memperingatkan bahwa perluasan serangan Israel adalah eskalasi berbahaya yang akan merusak upaya mediasi dan deeskalasi.
Dalam pernyataannya, Qatar menganggap pengeboman kamp tersebut sebagai pembantaian baru terhadap rakyat Palestina yang tidak berdaya, terutama anak-anak dan perempuan.
"Perluasan serangan Israel di Jalur Gaza yang mencakup objek-objek sipil, seperti rumah sakit, sekolah, pusat populasi dan tempat penampungan bagi para pengungsi, merupakan eskalasi yang berbahaya dalam konfrontasi, yang akan melemahkan upaya mediasi dan deeskalasi. Selain itu, ini menandakan ketegangan, kekerasan, dan ketidakstabilan lebih lanjut."
Advertisement
Mengerikan
Doctors Without Borders menggambarkan serangan udara Israel di kamp pengungsi Jabalia mengerikan. Badan amal medis tersebut mengatakan banyak orang yang terluka tiba di Rumah Sakit Dar al-Shifa di utara Gaza pasca serangan itu.
"Anak-anak kecil tiba di rumah sakit dengan luka dalam dan luka bakar parah. Mereka datang tanpa keluarga mereka. Banyak yang berteriak dan menanyakan orang tuanya. Saya tinggal bersama mereka sampai kami dapat menemukan tempat karena rumah sakit penuh dengan pasien," ungkap laporan Doctors Without Borders mengutip perawat bernama Mohammed Hawajreh.
Bolivia Putus Hubungan Diplomatik dengan Israel
Pemerintah Bolivia mengumumkan pihaknya telah memutus kembali hubungan diplomatik dengan Israel pada Selasa. Mereka menuduh Israel melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam serangannya di Jalur Gaza.
"Bolivia telah memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel sebagai penolakan dan kecaman atas serangan militer Israel yang agresif dan tidak proporsional yang terjadi di Jalur Gaza," ujar Wakil Menteri Luar Negeri Freddy Mamani seperti dilansir Reuters.
Mamani menambahkan bahwa Bolivia menyerukan gencatan senjata dan diakhirinya blokade yang mencegah masuknya makanan, air dan elemen penting lainnya bagi kehidupan.
Menteri Luar Negeri Sementara Maria Nela Prada mengatakan pengumuman tersebut diadakan mengacu pada kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan di Jalur Gaza kepada rakyat Palestina.
Negara Amerika Selatan ini sebelumnya telah memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel pada tahun 2009 di bawah pemerintahan presiden sayap kiri Evo Morales, langkah yang juga diambil sebagai protes atas tindakan Israel di Gaza.
Pada tahun 2020, pemerintahan presiden sementara sayap kanan Jeanine Anez membangun kembali hubungan kedua negara.
Pengumuman pada Selasa itu muncul beberapa jam setelah Morales melalui media sosial menekan presiden saat ini Luis Arce untuk mengutuk Israel dan menyatakannya sebagai negara teroris.
Pada Senin (30/10), Arce bertemu dengan duta besar Palestina untuk Bolivia.
"Kami menolak kejahatan perang yang dilakukan di Gaza. Kami mendukung inisiatif internasional untuk menjamin bantuan kemanusiaan, sesuai dengan hukum internasional," kata Arce.
Otoritas kesehatan Gaza memperbarui jumlah warga Palestina yang tewas sejak 7 Oktober, yakni totalnya menjadi 8.525 orang, termasuk 3.542 anak-anak.
Advertisement