Sukses

Generator RS Indonesia di Gaza Sudah Mati, Ratusan Pasien dalam Bahaya

RS Indonesia kesulitan bertahan di tengah gempuran Israel.

Liputan6.com, Gaza - Keadaan pelayanan kesehatan di Gaza semakin kritis. Generator utama di Rumah Sakit Indonesia di Gaza dilaporkan telah berhenti berfungsi.

Dilaporkan CNBC, Kamis (2/11/2023), Kementerian Kesehatan di Gaza menyebut ratusan pasien kini dalam bahaya karena generator utama telah mati. Sebelumnya, pemerintah Palestina telah mengingatkan bahwa Al-Shifa Medical Complex dan RS Indonesia yang berlokasi di utara Gaza terancam kehabisan bahan bakar.

Sementara, Dokter Tanpa Perbatasan (Medecins Sans Frontieres) berkata ada 20 ribu orang yang butuh bantuan medis di Gaza, namun Israel masih mempersulit akses untuk memberikan bantuan.

Masih Ada WNI yang Jadi Relawan 

Sebelumnya dilaporkan, 10 Warga Negara Indonesia (WNI) saat ini tercatat berada di Gaza. Tiga di antaranya memilih untuk tetap tinggal, sementara tujuh orang lainnya akan dievakuasi oleh pemerintah Indonesia. 

Ketiga WNI tersebut merupakan relawan Medical Emergency Rescue Committee (MER-C) yang bertugas di Gaza. 

"Tiga relawan MER-C sejak awal memang tidak mau dievakuasi. Sejak awal kita komunikasi, mereka memang ingin tetap tinggal," kata Direktur Pelindungan WNI Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI Judha Nugraha dalam pernyataan pers, Rabu (2/11/2023). 

Judha mengatakan bahwa tiga relawan tersebut tinggal di RS Indonesia di Gaza. Mengenai keputusan mereka yang tidak mau dievakuasi, ia turut menjelaskan bahwa tugas negara adalah menyelamatkan WNI dari lokasi berbahaya ke lokasi lebih aman, yang sifatnya sukarela.

"Kami tidak memaksa. Negara tugasnya menyiapkan dan menyediakan fasilitas tersebut," tutur Judha. 

"Pilihan kembali kepada pribadi masing-masing. Dalam komunikasi kami, tiga WNI itu memang memilih tetap tinggal dan menjalankan tugas kemanusiaan di RS Indonesia, dan kita hargai pilihan tersebut," lanjutnya.

2 dari 4 halaman

Ada Pelajar Indonesia di Israel

Tujuh WNI lainnya yang terdiri dari dua keluarga, tinggal di rumah masing-masing yang terletak di Gaza Utara dan Gaza Tengah. 

Lebih jauh, Juru Bicara Kemlu RI Lalu Muhammad Iqbal menjelaskan bahwa permasalahan utama dalam proses evakuasi ini adalah menjamin keselamatan mereka. 

"Kita tidak akan menggerakkan WNI kita kecuali ada jaminan keselamatan yang bersangkutan yang bisa dibawa dari rumahnya sampai perbatasan," kata Iqbal dalam kesempatan yang sama. 

Selain dari Gaza, Kemlu RI sebelumnya telah berhasil mengevakuasi empat WNI dari Israel, sementara 132 WNI lainnya yang mayoritas merupakan pelajar, memilih untuk tetap tinggal karena masih merasa aman. 

Menteri Luar Negeri (Menlu RI) Retno Marsudi mengatakan bahwa proses evakuasi Warga Negara Indonesia (WNI) di Gaza kemungkinan dilakukan per 1 November. Proses evakuasi dilakukan lewat Perbatasan Rafah, satu-satunya akses keluar dari Gaza. 

"Teman-teman saya ingin garis bawahi kata kemungkinan, karena sekali lagi situasi tidak pernah dapat diduga," kata Menlu RI Retno Marsudi dalam pernyataan pers pada Rabu 1 November sore. 

3 dari 4 halaman

Tim di Kairo

Proses evakuasi Warga Negara Indonesia, sebut Menlu Retno, melibatkan tim Kementerian Luar Negeri RI di Kairo. 

"Untuk mempersiapkan kemungkinan evakuasi, maka kita sudah gerakkan tim kita dari Kairo menuju Rafah, karena sekali lagi satu-satunya pintu keluar yang tersedia adalah Rafah," sambung Menlu Retno.

Ia juga menyebut bahwa perjalanan WNI tersebut harus melewati proses yang panjang, termasuk melewati berbagai pemeriksaan, baik dari otoritas Israel maupun Palestina. 

"Saya terus ikuti secara langsung, berkomunikasi dengan tim yang berjalan dari Kairo ke Rafah. Jadi pada saat mereka mengalami atau harus berhenti mengalami pemeriksaan berkali-kali, antrean yang demikian panjang, saya ikuti semuanya," katanya menambahkan. 

4 dari 4 halaman

PBB Sebut Serangan Israel di Kamp Jabalia Gaza Bisa Jadi Kejahatan Perang

Badan Hak Asasi Manusia (HAM) di PBB mengatakan, serangan udara Israel terhadap kamp pengungsi Jabalia di Gaza bisa dianggap sebagai kejahatan perang.

Hal ini terjadi di tengah meningkatnya ketakutan atas jumlah warga sipil yang tewas dalam perang yang telah berlangsung hampir sebulan tersebut, dikutip dari laman Al Jazeera, Kamis (2/11/2023). 

Kamp yang berada di wilayah padat penduduk di Kota Gaza, terkena serangan rudal pada Selasa (31/10) meninggalkan lubang raksasa di tengah bangunan yang dibom sebelum kemudian menjadi sasaran pemboman kedua pada Rabu (1/11).

Kantor Media Pemerintah Gaza mengatakan, sedikitnya 195 orang dipastikan tewas dan lebih dari 100 orang diperkirakan hilang di bawah reruntuhan. Sekitar 777 orang terluka dalam serangan itu, tambahnya.

Israel mengatakan, serangan itu menargetkan seorang komandan Hamas.

"Mengingat tingginya jumlah korban sipil dan skala kehancuran setelah serangan udara Israel terhadap kamp pengungsi Jabalia, kami memiliki kekhawatiran serius bahwa ini adalah serangan yang tidak proporsional dan dapat dianggap sebagai kejahatan perang," kata Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi di Jabalia.

Komentar tersebut menyusul gelombang kecaman dari PBB, di mana para pejabat menyatakan keterkejutan dan kengerian atas serangan di Jabalia, kamp pengungsi terbesar di Gaza.

Sekretaris Jenderal Antonio Guterres “terkejut atas meningkatnya kekerasan di Gaza”, kata juru bicaranya Stephane Dujarric.

Ini termasuk pembunuhan warga Palestina, termasuk perempuan dan anak-anak yang tinggal pemukiman di kamp pengungsi Jabalia yang padat penduduk, kata Dujarric.