Liputan6.com, Ramallah - Lusinan pekerja Palestina di Israel kembali ke Gaza yang terkepung pada Jumat (3/11/2023), menyusul keputusan pemerintah Israel untuk mengusir pekerja asal Gaza.
Para pekerja tersebut termasuk di antara warga Gaza yang berada di Israel awal bulan lalu, ketika Hamas melancarkan serangan brutal terhadap negara tersebut, menewaskan 1.400 orang dan menculik lebih dari 200 orang. Israel membalas dengan kampanye pengeboman yang tak henti-hentinya di Gaza hingga detik ini.
Baca Juga
Sebelum serangan Hamas pada 7 Oktober, sekitar 18.000 warga Gaza memiliki izin untuk menyeberang ke Israel dan bekerja, di mana mereka bisa mendapatkan penghasilan yang jauh lebih besar dibandingkan di Gaza.
Advertisement
"Israel memutuskan semua kontak dengan Gaza. Tidak akan ada lagi pekerja Palestina yang berasal dari Gaza. Para pekerja dari Gaza yang berada di Israel pada hari pecahnya perang akan dikembalikan ke Gaza," kata kantor pers pemerintah Israel pada Kamis, seperti dilansir CNN, Sabtu (4/11).
Pria dari segala usia lantas memasuki Gaza melalui penyeberangan Kerem Shalom di Israel selatan pada Jumat. Ada yang berdoa atau mencium tanah, ada yang menyapa teman dan keluarga, dan ada pula yang menceritakan dugaan penganiayaan di Israel.
"Apa yang terjadi pada kami belum pernah terjadi pada manusia manapun sebelumnya," kata salah seorang pria kepada CNN. "Mereka menangguhkan izin kami. Kami mencoba pergi ke Tepi Barat. Mereka menahan kami dan menempatkan kami di tempat yang kami tidak pernah tahu."
Pemerintah Israel belum merespons tuduhan tersebut.
Israel pada Kamis juga mengumumkan pemotongan semua dana yang dialokasikan untuk Jalur Gaza, yang ditransfer via Otoritas Palestina (PA).
Insentif Ekonomi dari Israel
Selama beberapa tahun terakhir, Israel mulai mengeluarkan ribuan izin kerja bagi warga Gaza untuk menyeberang ke Israel sebagai bagian dari strategi insentif ekonomi yang diharapkan pemerintah Israel akan mendorong warga Gaza untuk menjauhkan diri dari Hamas.
Gaza yang merupakan daerah kantong adalah rumah bagi lebih dari dua juta orang, yang sebagian besar dari mereka adalah pengungsi.
Warga Gaza di Tepi Barat mengatakan kepada CNN bulan lalu bahwa mendapatkan izin kerja untuk Israel memungkinkan mereka menjadi pencari nafkah utama. Banyak dari mereka adalah satu-satunya anggota keluarga mereka yang memiliki pekerjaan dan gaji yang mereka peroleh di Israel berkali-kali lipat lebih tinggi dibandingkan gaji yang mereka peroleh di Gaza.
Menyusul serangan Hamas, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) menutup semua akses ke daerah kantong tersebut dan banyak warga Gaza yang bekerja di Israel terjebak.
"Saya selalu menginginkan izin ini karena situasi di Gaza sangat buruk. Situasi keuangan, utang … perekonomian nol. Tidak ada peluang kerja," kata Ismail Abd Almagid kepada CNN bulan lalu, sambil menambahkan bahwa dia telah menganggur hingga akhirnya mendapatkan izin tersebut.
Menurut data PBB tahun 2022, tingkat pengangguran di Gaza termasuk yang tertinggi di dunia, dengan hampir separuh penduduknya menganggur. Lebih dari 80 persen penduduknya hidup dalam kemiskinan.
"Setidaknya selama satu setengah dekade terakhir, situasi sosial-ekonomi di Gaza terus mengalami penurunan," kata UNRWA, badan bantuan utama PBB di wilayah Gaza pada Agustus.
Advertisement
Tragedi yang Belum Pernah Terjadi Sebelumnya
Selama hampir 17 tahun, Gaza hampir terputus total dari dunia luar, dengan pembatasan ketat terhadap pergerakan barang dan manusia.
Daerah kantong seluas 140 mil persegi ini dikuasai oleh Hamas tetapi diblokade oleh Israel dan Mesir, sejak tahun 2007, dan sangat bergantung pada bahan bakar dan listrik impor untuk menjalankan semua layanannya.
Pasca serangan Hamas pada 7 Oktober, Israel memberlakukan blokade total terhadap Gaza dan menghentikan semua pasokan makanan, air, obat-obatan, dan bahan bakar, memperparah krisis kemanusiaan.
Menurut otoritas kesehatan Palestina, serangan udara Israel telah menewaskan lebih dari 9.000 orang, di antara jumlah itu lebih dari 3.700 adalah anak-anak, dan melukai sekitar 22.000 lainnya.
Organisasi-organisasi kemanusiaan telah menggambarkan kondisi bencana di mana ketertiban sipil mulai rusak dan telah mengeluarkan seruan yang semakin mendesak untuk melakukan gencatan senjata agar bantuan yang sangat dibutuhkan dapat masuk ke Gaza.
Komisaris Jenderal UNRWA Philippe Lazzarini setelah kembali dari Gaza mengatakan pada Rabu (1/11) bahwa skala tragedi ini belum pernah terjadi sebelumnya.
"Tingkat kesusahan dan kondisi kehidupan yang tidak sehat berada di luar pemahaman," tutur dia. "Semua orang minta air dan makanan."
Pada Kamis (2/11), Masyarakat Bulan Sabit Merah Palestina (PRCS) mengonfirmasi bahwa mereka menerima makanan segar, air, bantuan dan pasokan medis dari 106 truk bantuan dari Bulan Sabit Merah Mesir yang menyeberang ke Gaza dari Penyeberangan Rafah. PRCS mengatakan bahwa jumlah truk yang berhasil menyeberang dari Mesir ke Gaza menjadi 374 truk.
Sebelum perang Hamas Vs Israel kali ini dimulai, sebut PBB, Gaza menerima sekitar 455 truk bantuan per hari.
Lembaga-lembaga bantuan memperingatkan bahwa bantuan yang masuk ke Gaza tidak cukup untuk mencegah krisis kemanusiaan mengerikan yang sedang terjadi.