Sukses

Menlu AS Antony Blinken Tolak Gencatan Senjata di Gaza

Menlu AS Antony Blinken berkata gencatan senjata di Gaza bakal menguntungkan Hamas.

Liputan6.com, Amman - Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken menyatakan penolakan untuk gencatan senjata di Jalur Gaza. Alasannya adalah tak mau gencatan senjata itu menguntungkan Hamas. 

Argumen Blinken mirip dengan pendahulunya, yakni Hillary Clinton yang menolak gencatan senjata karena khawatir disalahgunakan kelompok militer Hamas. 

Ketidaksetujuan Antony Blinken ia sampaikan saat bertemu para menteri luar negeri dari Arab Saudi, Qatar, Uni Emirat Arab, Mesir, dan Yordania ketika mereka berkumpul di Amman.

Dilaporkan VOA Indonesia, Senin (6/11/2023), Blinken mengatakan semua pihak sepakat mengenai perlunya perdamaian dan bahwa status quo di Gaza saat ini tidak dapat dipertahankan. Namun dia mengakui ada perbedaan antara Washington dan para sekutunya.

“Gencatan senjata sekarang hanya akan membuat Hamas tetap bertahan, mampu berkumpul kembali dan mengulangi apa yang terjadi pada 7 Oktober,” kata Blinken.

Blinken dijadwalkan melanjutkan perjalanannya ke Timur Tengah pada Minggu (5/11). Kunjungan tersebut merupakan lawatan kedua Blinken ke wilayah itu sejak konflik Israel-Palestina pecah pada 7 Oktober. Saat itu Hamas, yang menguasai Jalur Gaza, menerobos perbatasan ke Israel, menewaskan 1.400 orang dan menyandera lebih dari 240 orang lainnya.

Israel sejak itu terus menggempur Gaza dari udara, melakukan pengepungan dan melancarkan serangan darat, memicu kekhawatiran global terhadap kondisi kemanusiaan di wilayah tersebut, kata pejabat kesehatan Gaza pada Sabtu (4/11). Serangan Israel disebut telah menewaskan lebih dari 9.488 warga Palestina.

2 dari 3 halaman

Kamp Diserang

Kantor berita Palestina WAFA melaporkan 51 warga Palestina, sebagian besar perempuan dan anak-anak, tewas dan puluhan lainnya luka-luka dalam aksi pengeboman Israel terhadap kamp pengungsi Maghazi di Gaza pada Sabtu (4/11) malam. Reuters tidak dapat memverifikasi laporan WAFA secara independen.

Meroketnya jumlah warga sipil yang tewas meningkatkan gelombang seruan internasional agar Israel melakukan gencatan senjata. Namun Washington, seperti halnya Israel, sejauh ini mengabaikan seruan tersebut. Namun di sisi lain, AS tetap berupaya membujuk pemerintahan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk menerapkan jeda kemanusiaan. Pemimpin Israel menolak tegas gagasan itu setelah dia bertemu Blinken pada Jumat (3/11).

Pada Sabtu (4/11), ketika ditanya oleh wartawan apakah ada kemajuan terkait usulan jeda kemanusiaan, Presiden AS Joe Biden menjawab "Ya" dan mengacungkan jempol saat meninggalkan gereja di Pantai Rehoboth, Delaware.

Namun tidak jelas berapa lama pemerintahan Biden dapat menolak seruan tersebut, di tengah masifnya demonstran pro-Palestina di sejumlah kota besar di seluruh dunia pada Sabtu (4/11), termasuk London, Berlin, Paris, Istanbul dan Washington. Mereka menuntut dilakukannya gencatan senjata.

“Ini terlalu dini untuk saat ini,” kata Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shoukry pada konferensi pers yang sama. “Anda harus berkonsentrasi pada masalah yang ada,” katanya, mengacu pada bantuan kemanusiaan untuk Gaza dan penghentian permusuhan.

3 dari 3 halaman

Blinken Prihatin

Blinken juga menyuarakan keprihatinan atas meningkatnya aksi kekerasan terhadap warga sipil Palestina di Tepi Barat. “Ini merupakan masalah serius yang semakin memburuk sejak konflik tersebut,” kata Blinken, seraya menambahkan bahwa ia mengangkat masalah tersebut pada Jumat (3/11) dalam pertemuannya dengan para pejabat Israel.

“Para pelaku harus dimintai pertanggungjawaban,” kata Blinken, yang diperkirakan tiba di Ankara pada Minggu (5/11) malam dan mengadakan pertemuan dengan sejumlah pejabat senior Turki pada keesokan harinya.

Tahun ini merupakan tahun paling mematikan dalam setidaknya 15 tahun terakhir bagi penduduk Tepi Barat. Data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjukkan sekitar 200 warga Palestina dan 26 warga Israel tewas. Sebanyak 121 warga Palestina di Tepi Barat lainnya terbunuh sejak perang Hamas-Israel meletus pada 7 Oktober.

Serangan harian yang dilakukan oleh pemukim Israel meningkat lebih dari dua kali lipat, menurut data PBB, meskipun sebagian besar kematian terjadi selama bentrokan dengan pasukan Israel.

Militer Israel mengatakan pihaknya berusaha membendung kekerasan dan melindungi warga sipil Palestina.

Memburuknya kekerasan di Tepi Barat menimbulkan kegelisahan bahwa wilayah Palestina yang menjadi titik konflik bisa menjadi front ketiga dalam perang yang lebih luas, selain perbatasan utara Israel di mana bentrokan dengan pasukan Hizbullah Lebanon meningkat.