Sukses

30 Orang Salat Berjamaah di Bandara Prancis Picu Kontroversi, Dikaitkan dengan Islamofobia

Kontroversi yang muncul dipicu oleh ketegangan yang meningkat di Prancis, terkait perang antara Israel dengan kelompok militan Palestina Hamas.

Liputan6.com, Jakarta - Beredarnya foto sekelompok wisatawan muslim yang melakukan salat berjamaah di bandara Prancis telah memicu kontroversi. 

Gambar yang beredar di media sosial pada Minggu (5/11) menunjukkan sejumlah wisatawan melakukan salat bersama di ruang tunggu di Bandara Charles de Gaulle, Paris, sebelum melakukan penerbangan menuju Yordania.

Salah satu sumber bandara yang tidak ingin disebutkan namanya mengatakan bahwa salat berjamaah yang diikuti sekitar 30 orang dilakukan di terminal 2B selama sekitar 10 menit. Padahal, ada ruangan khusus di bandara yang diperuntukkan bagi pengunjung dari agama apapun untuk berdoa.  

Kontroversi yang kemudian muncul dipicu oleh ketegangan yang meningkat di Prancis, terkait perang antara Israel dengan kelompok militan Palestina Hamas. Sementara Prancis sendiri merupakan rumah bagi sejumlah kelompok muslim dan Yahudi.

Menanggapi beredarnya foto tersebut, Menteri Transportasi Prancis Clement Beaune berkomitmen bahwa otoritas bandara akan menerapkan aturan dan menindak hal semacam itu dengan tegas. Hal ini ditulisnya melalui akun resmi X, sebelumnya Twitter, miliknya.

Pihak bandara pun turut menyesali kejadian tersebut. 

"Ini adalah hal yang disesalkan," kata kepala eksekutif operator Aeroports de Paris (ADP) Augustin de Romanet di X.

"Ada tempat ibadah khusus. Polisi perbatasan telah diperintahkan untuk melarang hal ini dan akan meningkatkan kewaspadaan mereka," tambahnya.

2 dari 4 halaman

Dikaitkan dengan Islamofobia

Gambar itu dibagikan di media sosial oleh Noelle Lenoir, mantan menteri urusan Eropa di bawah presiden sayap kanan Jacques Chirac.

"Apa yang dilakukan CEO Aeroports de Paris ketika bandaranya diubah menjadi masjid? Apakah perubahan status itu resmi?" katanya dengan sinis.

"Ada tempat ibadah khusus di bandara," kata anggota parlemen partai berkuasa Astrid Panosyan-Bouvet, seraya menambahkan bahwa pihak berwenang harus menerapkan “peraturan yang berlaku di Prancis, termasuk di bandara".

Sementara itu, Luc Carvounas, walikota Sosialis Alfortville di luar Paris menuduh Panosyan-Bouvet memberikan "komentar yang merujuk pada Islamofobia" dan memintanya untuk "mengklarifikasi pernyataannya atau bahkan meminta maaf".

3 dari 4 halaman

Islamofobia Meluas di London Inggris

Sementara itu, tingkat Islamofobia di London, Inggris, juga meluas sejak perang antara Israel dan kelompok militan Palestina Hamas pecah. 

Kejahatan rasial antisemitisme terus meningkat di London, dengan 408 pelanggaran tercatat sepanjang bulan ini dibandingkan dengan 28 pelanggaran pada periode yang sama tahun lalu.

Aksi kejahatan akibat Islamofobia juga meningkat, naik dari 65 pelanggaran pada Oktober lalu menjadi 174 pada bulan ini. 

Polisi Metropolitan London (MET) mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan 75 penangkapan terkait konflik Israel-Hamas, dan sedang menyelidiki 10 potensi pelanggaran undang-undang terorisme.

Statistik kejahatan baru ini muncul di tengah peringatan dari tokoh keamanan dan komunitas bahwa kejahatan kebencian dan radikalisasi dalam negeri dapat dipicu oleh peristiwa di Timur Tengah.

Petugas kontra-terorisme sedang menyelidiki 10 potensi kejahatan yang terkait dengan postingan online, yang menurut MET mencakup materi dan pidato video yang "mengerikan".

 

4 dari 4 halaman

Terlibat Aksi Bela Palestina

MET juga meminta informasi tentang tiga perempuan yang mengambil bagian dalam protes pro-Palestina pada 14 Oktober. Para penyelidik mengatakan mereka terlihat memperlihatkan gambar paralayang, yang jelas merujuk pada metode yang digunakan Hamas untuk menyusup ke Israel selama serangan 7 Oktober.

Mereka juga meminta informasi tentang seorang pria yang menurut polisi digambarkan sedang memegang plakat bertuliskan "Saya sepenuhnya mendukung Hamas" pada protes tanggal 21 Oktober di London.

Hamas dianggap sebagai organisasi teroris terlarang di Inggris. Sementara menurut aturan negara itu, aksi mendukung kelompok terlarang merupakan tindak pidana yang dapat diancam dengan hukuman penjara hingga 14 tahun.