Sukses

Ahli Sarankan Ubah Mindset Ekonomi Sirkular dalam Pengelolaan Sampah Plastik Indonesia, Ini Alasannya

Prof. Dr. Ir. Mochamad Chalid, Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Indonesia, menyampaikan pandangannya tentang pentingnya mengubah mindset dalam mengelola sampah plastik.

Liputan6.com, Jakarta - Prof. Dr. Ir. Mochamad Chalid, Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Indonesia, menyampaikan pandangannya tentang pentingnya mengubah mindset dalam mengelola sampah plastik. 

Menurutnya, harmonisasi dan sinergitas dalam penanganan masalah sampah dapat dicapai dengan memiliki pandangan yang seragam.

Dalam konteks kehidupan sehari-hari, Prof. Chalid menyoroti hubungan antara keinginan dan produk. Produk, katanya, terbagi menjadi dua, yakni produk utama dan kemasannya. Dia menekankan pentingnya mencari produk kemasan yang multifungsi untuk mengurangi limbah.

"Kita ingin makan, maka kita butuh nasi, nasi dalam kemasan, dan seterusnya, apapun itu. Sehingga apa? Kalau kita bicara tentang kehidupan, kita nggak terlepas dari produk," ujar Prof Chalid pada diskusi Green Press Community di Gedung Perfilman Usmar Ismail, Kamis 9 November 2023.

"Produk pada dasar terbagi dua. Misal kita beli katakanlah, spare part, satu benda. Benda itu pun kalau misalkan kita beli dari tokonya, tidak kemudian sendiri, tapi ada kemasannya. Nah, berarti ada produk utamanya, ada produk kemasannya. Yang lebih unik lagi adalah, produk kemasannya itu, dia umur pakainya sangat-sangat pendek."

"Karena dari sistem produksi, sampai ke retail, (lalu ke) konsumen, that’s it. Nggak kebayang oleh kita, keinginan kita banyak, produk yang kita butuhkan banyak, berapa banyak kemasan yang kita butuhkan," lanjutnya.

"Nah, kalau kita bicara sampah, bicara tentang kemasan, kita bicara tentang history kemasan," Prof. Chalid melihat sejarah kemasan dari masa lalu hingga saat ini. 

Dulu, manusia menggunakan berbagai bahan seperti daun dan kulit hewan sebagai kemasan. Namun, dengan perkembangan kehidupan dan kebutuhan yang semakin kompleks, munculah kemasan plastik sebagai solusi multifungsi.

"Nah kemudian, masalah pokoknya adalah makin tambah umur hidup manusia di Bumi ini, makin banyak manusia, makin banyak kebutuhan, dan makin banyak butuh kertas. Sementara kertas, basisnya dari tanaman, dari hutan, berarti apa? Ada isu bio konservasi pada saat itu, yang kemudian (membuat orang) terus mencari solusi-solusi. Di tahun 1959, orang menemukan kemasan yang multifungsi, kemasan kantong plastik."

 

2 dari 4 halaman

Ajak Punya Mindset Ekonomi Sirkular

Pergeseran dari kantong kertas ke kantong plastik juga dikaji dari segi lingkungan. Meskipun plastik memiliki keunggulan dalam efisiensi energi dan transportasi, tantangan muncul terkait daur ulang. 

Prof. Chalid menekankan perlunya beralih dari ekonomi linier ke ekonomi sirkular untuk mengoptimalkan nilai sampah plastik.

"Nah rupanya kita melihat ada perspektif baru terkait dengan plastik. Kalau dulu orang katakanlah dengan kantong kertas … wah udah selesai udah kita buang begitu saja, katakanlah berpikir demikian, kemudian kita mengenalnya dengan ekonomi linier." 

"Nah kemudian tatkala plastik ini hadir memiliki karakteristik yang berbeda, di mana keberadaannya adalah dia tidak mampu didaur ulang dalam waktu pendek, sependek kertas dan daun … Berarti apa? Mindset berpikir kita mestinya jangan berpikir linier, tapi ekonomi sirkular," jelas Prof. Chalid.

"Artinya apa? Di situ ada challenge. Bagaimana sampah plastik ini memiliki nilai dan kemudian dapat digunakan lagi, di daur ulang."

3 dari 4 halaman

Salah Sampah atau Sistem Pengolahan Sampah?

Prof. Chalid menyadari bahwa meningkatnya populasi manusia berdampak pada peningkatan konsumsi plastik. 

Data konsumsi plastik per kapita menunjukkan perbedaan antara tiap negara, memunculkan pertanyaan apakah masalahnya terletak pada plastiknya atau sistem pengelolaannya.

"Kalau kita melihatnya kan kebutuhan itu kan berarti ada satu ukuran, ukuran itu kita kenal dengan konsumsi plastik per kapita. Indonesia pada tahun 2017, berdasarkan data-data dari asosiasi INAPLAS mengindikasikan bahwa Indonesia pada saat itu, satu orang ya, memerlukan 19,5kg per orang, per tahun," ungkap Prof Chalid.

Kemudian ia membandingkan dengan total per tahun dari Negara Jerman yang menghasilkan 96 kg sampah, Korea Selatan 141 kg sampah, dan Vietnam 40 kg sampah yang dihasilkan dari 1 orang dalam setahun.

"Dan ini menjadi indikator sebenarnya. Nah, kemudian, mengapa? Dengan kondisi ini tumpukan sampah (Negara Indonesia) banyak. Ini menjadi menarik. Masalahnya di plastiknya atau masalah di sistem atau orang yang ada di situ?" Tuturnya.

 

 

4 dari 4 halaman

Daur Ulang Sekunder Cocok untuk Indonesia

Mengutip analisis Profesor Chalid pada presentasinya, ia menjelaskan ada 4 macam jenis daur ulang, yaitu:

  • Daur Ulang Primer melibatkan sampah dalam sistem produksi dengan kualitas yang masih baik, tetapi sistem produksinya kurang efektif dan efisien.
  • Daur Ulang Sekunder memiliki kelebihan melibatkan banyak pihak, mendukung ekonomi, dan menghasilkan emisi karbon rendah. Namun, kualitas sampah plastik rendah dan memerlukan kesadaran serta perilaku positif dari banyak pihak.
  • Daur Ulang Tersier memproses hampir semua sampah plastik dengan emisi karbon rendah, tetapi sampah plastik bernilai tinggi dapat terabaikan, dan keterlibatan serta dampak ekonominya relatif sedikit.
  • Daur Ulang Kuartener dapat memproses semua sampah plastik, tetapi mengabaikan sampah bernilai tinggi, memiliki keterlibatan dan dampak ekonomi yang sangat terbatas, dan menghasilkan emisi karbon tinggi.

Prof. Chalid menyoroti Daur Ulang Sekunder sebagai kunci di Indonesia, memandangnya sebagai penerapan utama untuk menciptakan ekonomi sirkular dengan menekankan pentingnya penyerapan tenaga kerja, pemberdayaan ekonomi, dan memandang sampah sebagai komoditas. Ini merupakan shift mindset dari ekonomi linier ke ekonomi sirkular.

Video Terkini