Liputan6.com, Jakarta - Fakta bahwa beruang kutub di Greenland berada dalam ancaman bukanlah berita baru. Mereka semakin menjadi simbol tantangan yang muncul akibat mencairnya es di kutub dan krisis iklim secara keseluruhan dalam beberapa tahun terakhir.
Namun, sebuah penelitian terbaru menyoroti bahwa kecenderungan tersebut memiliki akar sejarah yang mendalam, dengan jumlah beruang kutub di Greenland yang terus berkurang selama 20.000 tahun terakhir.
Baca Juga
Melansir dari Phys.org, Jumat (17/11/2023), Asisten Profesor Michael Westbury dan Profesor Eline Lorenzen dari Globe Institute telah melakukan penelitian interdisipliner terbaru, yang menganalisis DNA dan preferensi makanan beruang kutub yang masih hidup, bersama dengan data historis iklim dan habitat beruang kutub di sekitar Greenland.
Advertisement
Penelitian tersebut berjudul "Impact of Holocene environmental change on the evolutionary ecology of an Arctic top predator," dipublikasikan di jurnal Science Advances.
"Dengan menganalisis materi genetik dari beruang kutub, kita dapat membuka jendela ke masa lalu dan mendapatkan wawasan tentang sejarah perkembangan spesies dan populasinya. Hasil analisis kami menunjukkan bahwa jumlah beruang kutub telah mengalami penurunan yang signifikan beberapa kali sejak zaman es terakhir," ujar Eline Lorenzen.
Namun, mengapa beruang kutub mengalami kemunduran selama periode yang panjang? Menurut penulis utama dari penelitian ini, Michael Westbury, ada penjelasan yang cukup mudah dimengerti.
"Peningkatan suhu laut yang mendorong penurunan populasi beruang kutub. Ketika suhu laut naik, es di laut berkurang, sebagai akibatnya, semakin sedikit anjing laut yang menjadi makanan beruang kutub," jelas Michael Westbury.
Hal yang paling mengejutkan para peneliti adalah betapa beruang kutub sangat terpengaruh bahkan oleh perubahan kecil dalam lingkungan.
"Kami melihat adanya keterkaitan yang mengkhawatirkan antara penurunan populasi dan perubahan lingkungan. Peningkatan suhu air yang relatif kecil dan penurunan jumlah es laut yang kecil mengakibatkan penurunan populasi beruang kutub yang cukup dramatis. Hubungan ini tidak berjalan secara linier," lanjut Michael Westbury.
Penelitian ini dilakukan bersama dengan ahli dari institusi di Greenland, Kanada, Australia, Finlandia, Hong Kong, Inggris, GEUS, dan Aarhus University.
Akankah Ada Beruang Kutub di Greenland dalam 50 Tahun ke Depan?
Dampak dari peningkatan emisi CO2 telah menyebabkan pemanasan global selama beberapa tahun terakhir, dan efek ini terlihat dengan jelas di Greenland dan wilayah Arktik.
"Perkembangan yang terjadi saat ini belum pernah terjadi sebelumnya dibandingkan dengan apa yang dialami beruang kutub selama 20.000 tahun terakhir. Dan dengan proyeksi drastis tersebut, kita dapat memperkirakan bahwa spesies ini tidak akan berkembang biak sama sekali," ujar Michael Westbury.
 Hasil penelitian terbaru menunjukkan bahwa suhu laut di sekitar Greenland mengalami kenaikan sekitar 0,2 hingga 0,5 derajat dalam kurun waktu 20.000 tahun terakhir. Analisis menunjukkan bahwa hal ini berdampak pada penurunan populasi beruang kutub sebesar 20-40 persen.
"Di masa mendatang, kita mungkin menghadapi kenaikan suhu laut sekitar Greenland sebesar 2 hingga 5 derajat. Ini berarti perubahan suhu yang terjadi akan sepuluh kali lipat lebih cepat daripada yang terjadi dalam 20.000 tahun terakhir," tutur Eline Lorenzen.
Eline Lorenzen menyatakan bahwa situasi tersebut merugikan bagi beruang kutub. Sebagai tokoh utama dalam rantai makanan, beruang kutub mencerminkan perubahan dalam ekosistem secara lebih umum, mengindikasikan bahwa ekosistem laut di Arktik sedang menghadapi tekanan.
Menurutnya, itu adalah tanda dari sesuatu yang lebih besar, dan bukan hanya di Greenland dan Arktik, tetapi juga ekosistem di tempat lain turut menerima dampak negatif akibat perubahan iklim.
"Semua orang terlibat, Bumi adalah satu ekosistem besar yang saling terkait, di mana kita menjadi bagian yang terintegrasi dan sangat bergantung. Alam tidak mengenal batasan," ungkap Eline Lorenzen.
Advertisement
Adaptasi Beruang Kutub terhadap Ketersediaan Sumber Daya
Hasil penelitian menunjukkan bahwa beruang kutub mampu mengubah kebiasaan makan mereka, yang dapat membantu mereka beradaptasi dengan perubahan iklim.
"Analisis kami terhadap pilihan makanan beruang kutub menunjukkan bahwa mereka terbuat dari plastik, artinya mereka bisa mencari makanan yang berbeda dari biasanya. Contohnya terlihat pada beruang kutub di Greenland Timur, di mana beruang kutub jantan dan betina menunjukkan perbedaan dalam pilihan makanan mereka, menghindari persaingan satu sama lain," ujar Michael Westbury.
Di Greenland Timur, beruang kutub jantan memakan berbagai jenis anjing laut, sementara betina lebih memilih anjing laut bercincin. Michael Westbury menjelaskan bahwa spesies ini mungkin mengadopsi pola makan tersebut ketika sumber daya menjadi langka.
"Di Greenland Barat, kami tidak menyaksikan fenomena serupa, karena analisis kami menunjukkan kesetaraan jenis kelamin. Produksi primer di Greenland Barat lebih tinggi karena arus laut, sehingga memberikan lebih banyak sumber makanan bagi beruang kutub," ungkap Michael Westbury.
Proyeksi Habitat Beruang Kutub
Para ilmuwan memanfaatkan dua kumpulan data dan pendekatan terpisah untuk menyelidiki sejarah beruang kutub.
Pertama, mereka memanfaatkan keragaman genetik beruang kutub di Greenland untuk mengestimasi perkembangan populasi beruang kutub selama 20.000 tahun terakhir.
Selain itu, mereka menggunakan distribusi beruang kutub di seluruh wilayah Arktik untuk memetakan kondisi lingkungan, termasuk suhu laut dan jumlah es laut, di tempat-tempat di mana beruang kutub berkembang biak.
Menggunakan data lingkungan yang relevan dari masa lalu, para peneliti kemudian memproyeksikan bagaimana distribusi dan jumlah habitat beruang kutub berubah dari waktu ke waktu, serta mengidentifikasi cara dan kapan perubahan tersebut terjadi.
Jumlah habitat yang tersedia dianggap sebagai ukuran perkiraan untuk populasi; semakin banyak habitat yang ada, semakin besar populasi beruang kutub.
Hasil penelitian terkait sejarah populasi, berdasarkan analisis DNA dan data lingkungan, ternyata sangat serupa dari satu periode ke periode berikutnya. Namun, hubungannya tidak bersifat linear.
Advertisement