Liputan6.com, Gaza - Pasukan Israel telah mencapai gerbang Rumah Sakit al-Shifa, rumah sakit terbesar di Gaza, ketika ratusan pasien, termasuk puluhan bayi masih terjebak di dalamnya.
Ribuan orang telah meninggalkan Rumah Sakit al-Shifa di Kota Gaza. Sementara itu, otoritas kesehatan menuturkan bahwa sejumlah pasien yang tersisa meninggal karena terputusnya akses ke peralatan penyelamat jiwa menyusul tidak ada bahan bakar untuk menjalankan generator.
Baca Juga
Otoritas kesehatan Gaza menyebutkan bahwa setidaknya 32 pasien, termasuk tiga bayi prematur, meninggal selama tiga hari terakhir.
Advertisement
"Kemarin saya membantu proses kelahiran 39 bayi dan hari ini tersisa 36 bayi," ujar kepala departemen pediatrik di Rumah Sakit al-Shifa Mohamed Tabasha, dalam wawancara telepon dengan Reuters pada Senin (13/11/2023). "Saya tidak bisa mengatakan berapa lama mereka bisa bertahan."
Israel telah memberlakukan blokade total terhadap Jalur Gaza selama lebih dari sebulan, dengan hanya mengizinkan sedikit pasokan masuk. Namun, bahan bakar adalah pengecualian atas setiap bantuan karena Israel menuduh itu dapat dimanfaatkan Hamas untuk kepentingan operasionalnya.
Pertempuran di sekitar Rumah Sakit Al-Shifa disebut telah terkonsentrasi pada lingkaran yang semakin ketat, dengan tembakan senjata berat Israel yang mengepung. Pasukan Pertahanan Israel (IDF) berulang kali mengatakan bahwa Hamas beroperasi dari bunker di bawah al-Shifa, tuduhan yang tegas dibantah staf rumah sakit dan Hamas sendiri.
Tekanan Meningkat bagi Israel
Tekanan semakin meningkat terhadap Israel untuk menyetujui gencatan senjata ketika sekutunya termasuk Prancis dan Amerika Serikat (AS) menyatakan keprihatinan yang semakin besar atas jumlah korban tewas di Gaza. Lebih dari 11.000 orang tewas, di mana sekitar 40 persen di antaranya adalah anak-anak, dan lebih dari separuh penduduknya kehilangan tempat tinggal.
Presiden AS Joe Biden bahkan memberikan kritik terhadap taktik Israel di sekitar Rumah Sakit al-Shifa pada Senin, dengan mengatakan, "Harapan dan ekspektasi saya adalah akan ada tindakan yang tidak terlalu mengganggu terkait dengan rumah sakit. Rumah sakit harus dilindungi."
Sebanyak 27 negara Uni Eropa mengeluarkan pernyataan pada Minggu (12/11), yang menuntut jeda kemanusiaan segera di Gaza dan mengutuk Hamas karena menggunakan fasilitas medis dan warga sipil sebagai perisai manusia.
Juru bicara otoritas kesehatan Gaza Ashraf al-Qidra yang berada di dalam al-Shifa pada Senin mengatakan bahwa sebuah tank Israel ditempatkan di gerbang rumah sakit.
"Tank itu berada di luar gerbang bagian klinik rawat jalan, beginilah situasinya pagi ini," kata dia seperti dikutip dari The Guardian, Selasa (14/11).
Israel telah memerintahkan warga sipil untuk pergi dari al-Shifa dan agar petugas medis mengirim pasien ke tempat lain. Mereka juga mengaku telah berusaha mengevakuasi bayi dari bangsal neonatal dan meninggalkan 300 liter bahan bakar untuk menyalakan generator darurat di pintu masuk rumah sakit, namun tawaran tersebut ditolak Hamas.
Qidra membantah menolak tawaran bahan bakar, namun dia mengatakan bahwa 300 liter hanya akan memberi daya pada rumah sakit selama setengah jam. Al-Shifa, tegasnya, membutuhkan 8.000-10.000 liter bahan bakar sehari, yang harus disalurkan oleh Palang Merah atau badan bantuan internasional.
Advertisement
Hukuman Mati bagi Sejumlah Pasien
Para pejabat PBB dan pakar hak asasi manusia telah menekankan bahwa rumah sakit tidak boleh dimanfaatkan oleh kelompok bersenjata Palestina untuk bersembunyi dan klaim tersebut tidak boleh digunakan oleh Israel sebagai alasan untuk menyerang mereka.
Menurut informasi yang dibagikan kepada Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), terdapat antara 600 hingga 650 pasien rawat inap di al-Shifa, serta 200 hingga 500 petugas kesehatan, dan sekitar 1.500 pengungsi yang mencari perlindungan di sana.
Sekretaris Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan lewat unggahan di X bahwa al-Shifa sudah "tidak lagi berfungsi sebagai rumah sakit".
WHO sebelumnya mengatakan bahwa memaksa beberapa pasien yang sakit kritis untuk meninggalkan rumah sakit di Gaza akan menjadi "hukuman mati" bagi mereka.
Rumah sakit lain di Kota Gaza, al-Quds, juga terpaksa ditutup pada Minggu (12/11) karena kehabisan bahan bakar.
Bulan Sabit Merah Palestina, yang mengoperasikan fasilitas tersebut, mengatakan pasukan Israel ditempatkan di dekatnya dan persiapan sedang dilakukan untuk mengevakuasi 6.000 pasien, petugas medis, dan pengungsi. Namun, pertempuran bisa menghalangi upaya mereka menyelamatkan diri.
Ketika perang Hamas Vs Israel sudah memasuki hari ke-38, bentrokan intens di perbatasan utara Israel dengan Lebanon dan lebih banyak serangan udara AS terhadap sasaran-sasaran milisi yang terkait dengan Iran di negara tetangga, Suriah, menambah kekhawatiran akan terjadinya konflik regional yang lebih luas.
PBB Tidak Berdaya
Pada Senin, badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA) mengatakan bahwa Angkatan Laut Israel menyerang salah satu fasilitasnya di Gaza selatan.
Komisaris Jenderal UNRWA Philippe Lazzarini mengatakan, "Serangan baru-baru ini merupakan indikasi lain bahwa tidak ada tempat di Gaza yang aman. Tidak di wilayah utara, tidak di wilayah tengah, dan tidak pula di wilayah selatan. Pengabaian terhadap perlindungan infrastruktur sipil termasuk fasilitas PBB, rumah sakit, sekolah, tempat penampungan dan tempat ibadah merupakan bukti tingkat kengerian yang dialami warga sipil di Gaza setiap hari."
Badan-badan bantuan PBB melakukan mengheningkan cipta selama satu menit pada Senin untuk menghormati 101 anggota staf yang tewas di Gaza sejauh ini. Jumlah tersebut mencatat sejarah sebagai total korban terbesar bagi sektor pekerja kemanusiaan dalam perang apapun sejak badan global tersebut didirikan setelah Perang Dunia II.
PBB telah menjalankan operasi besar-besaran selama beberapa generasi di Gaza, di mana sebagian besar penduduknya adalah keluarga pengungsi akibat perang pendirian Israel pada tahun 1948.
Advertisement