Liputan6.com, Gaza - Belasan bayi prematur di Rumah Sakit al-Shifa di Kota Gaza, Palestina, telah dipindahkan ke area yang masih terdapat aliran listrik. Laporan yang disampaikan oleh Al Jazeera ini merupakan upaya para dokter untuk membuat mereka tetap hidup dengan akses ke perawatan medis dasar.
Menurut laporan Al Jazeera pula, bayi-bayi prematur tersebut tidak lagi berada di inkubator mengingat suplai oksigen habis. Para dokter menegaskan bahwa situasinya kritis.
Baca Juga
Israel, yang mengepung Rumah Sakit al-Shifa dan berulang kali menyerangnya, mengklaim berniat mengevakuasi bayi-bayi tersebut, namun dihalangi Hamas. Klaim yang dengan segera dibantah Hamas.
Advertisement
Sebelumnya, pada Senin (13/11/2023), seorang dokter Palestina di Rumah Sakit al-Shifa di Kota Gaza memperingatkan bahwa bayi prematur mengalami risiko kematian setelah bahan bakar untuk mengoperasikan generator habis.
"Sayangnya, situasi ini berarti kita menunggu mereka meninggal satu per satu," ungkap kepala departemen bedah plastik di Rumah Sakit al-Shifa Ahmad Mukhallati kepada Middle East Eye, seraya menambahkan bahwa lima bayi prematur meninggal dalam beberapa hari terakhir.
Al-Shifa, kompleks medis terbesar di Jalur Gaza, telah dinyatakan tidak berfungsi lagi di tengah intensifnya pengeboman di sekitarnya dan pasukan darat Israel terus mengepungnya sejak Jumat (10/11).
Munir al-Bursh dari otoritas kesehatan Gaza menangis pada Senin pagi ketika dia menjelaskan kepada Al Jazeera bahwa anjing-anjing liar mulai memakan mayat di halaman rumah sakit karena tidak ada yang bisa menguburkan mereka.
Kabar mengenai anjing liar memakan mayat korban serangan Israel juga disampaikan oleh Manajer Rumah Sakit al-Shifa Mohamed Abu Selmia. Seperti dilansir BBC, Abu Selmia mengatakan bahwa ada sekitar 150 jenazah yang membusuk hingga meninggalkan bau tidak sedap.
Menurutnya, militer Israel masih belum mengizinkan penguburan jenazah, mengakibatkan anjing-anjing liar berdatangan dan memakannya.
Mukhallati menyerukan agar pembantaian dihentikan dan tersedianya koridor yang aman dan terjamin, yang memungkinkan pasien dievakuasi dari al-Shifa.
Sejak pengepungan Israel, tidak ada seorang pun yang bisa masuk atau keluar dari Rumah Sakit al-Shifa karena penembak jitu dan tank Israel dalam posisi siap menembak hanya radius beberapa meter dari rumah sakit.
Tidak Manusiawi
Mukhallati menjelaskan lebih lanjut bahwa tidak ada air atau listrik di al-Shifa, sementara makanan serta bahan bakar hampir habis.
"Kami hanya punya satu soket tempat kami memasang mesin anestesi," kata dia. "Kami tidak melakukan apapun kecuali prosedur penyelamatan jiwa sekarang."
Dia menuturkan pula bahwa tidak ada tempat untuk memindahkan atau menguburkan jenazah.
"Jenazah benar-benar akan menjadi sumber besar penularan dan segala jenis bakteri serta penyakit lainnya dan kita tidak bisa berbuat apa-apa," ujarnya.
Direktur al-Shifa mengatakan kepada Al Jazeera pada Senin malam bahwa delapan pasien telah meninggal sejak pagi hari.
Sementara itu, seorang ahli bedah yang mewakili Doctors Without Borders (MSF) di al-Shifa mengulangi kekhawatiran yang sama pada Senin.
"Situasinya sangat buruk, tidak manusiawi. Ini area tertutup, tidak ada yang tahu tentang kami," katanya melalui pesan suara yang dikirim pukul 08.10 waktu setempat.
Dia menuturkan bahwa terdapat 600 pasien rawat inap dan 37 bayi di fasilitas tersebut dan dokter tidak akan mengevakuasi atau meninggalkan mereka.
"Kami tidak mempunyai listrik. Tidak ada air di rumah sakit. Tidak ada makanan. Orang-orang akan meninggal dalam beberapa jam jika ventilator tidak berfungsi."
Pasukan Israel, kata dia, juga menyerang ambulans yang berupaya membawa pasien ke rumah sakit. Bagian depan rumah sakit terdapat banyak mayat serta korban luka, namun mereka tidak dapat membawanya ke dalam rumah sakit.
"Kami memerlukan jaminan bahwa ada koridor yang aman karena kami melihat beberapa orang mencoba meninggalkan al-Shifa, mereka membunuhnya, mereka mengebomnya, dan penembak jitu membunuhnya ... Di dalam Rumah Sakit al-Shifa ada pasien luka, tim medis. Jika mereka memberi kami jaminan dan mengevakuasi pasien terlebih dahulu, kami akan melakukan evakuasi."
Advertisement
Israel Eksekusi Warga Palestina yang Melarikan Diri dari Gaza Utara
Jurnalis tidak luput jadi korban. Kantor berita WAFA mengabarkan bahwa jurnalis Palestina Ahmad Fatima tewas dalam serangan udara Israel di Gaza pada Senin.
Pada Minggu, Komite Perlindungan Jurnalis mengatakan bahwa setidaknya 40 jurnalis telah terbunuh sejak perang Hamas Vs Israel dimulai pada 7 Oktober, 35 di antaranya adalah warga Palestina, empat warga Israel, dan satu warga Lebanon.
Kantor media pemerintah di Gaza pada Senin mengumumkan bahwa pengeboman Israel di Gaza per Senin telah menewaskan 11.240 warga Palestina, termasuk 4.630 anak-anak dan 3.130 wanita.
Sekitar 29.000 orang terluka, di mana 70 persen di antaranya perempuan dan anak-anak. Lebih dari 3.000 orang masih hilang, termasuk sedikitnya 1.500 anak-anak. Sebagian besar dari orang-orang ini diyakini tewas dan terkubur di bawah reruntuhan.
Di Israel, serangan Hamas pada 7 Oktober yang mengawali perang terbaru ini telah menyebabkan sekitar 1.200 orang tewas.
Pemantau Hak Asasi Manusia Euro-Mediterania menyatakan pada Senin bahwa pihaknya telah mendokumentasikan eksekusi puluhan warga Palestina oleh tentara Israel selama mereka mengungsi dari Gaza utara ke bagian tengah dan selatan Jalur Gaza, meskipun tidak menimbulkan ancaman apapun.
Kelompok ini tidak memberikan jumlah pasti dari eksekusi tersebut, namun mengaku bahwa mereka menerima ratusan laporan.
Disebutkan bahwa warga Palestina menjadi sasaran peluru tajam dan terkadang artileri dalam pembunuhan berencana selama upaya mereka melarikan diri atas paksaan tentara Israel ke daerah selatan.
Pernyataan itu menyebutkan bahwa LSM menerima laporan dari para pengungsi Palestina yang melaporkan pembunuhan ke pos pemeriksaan militer yang didirikan oleh tentara Israel sebagai bagian dari penetapan koridor aman di sepanjang arteri lalu lintas utama, Jalan Salah al-Din.
Kelompok ini kemudian mendesak PBB dan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) membuka penyelidikan independen atas masalah ini.