Liputan6.com, Gaza - Warga Palestina dan staf medis yang terjebak di rumah sakit terbesar di Jalur Gaza, al-Shifa, menggali kuburan massal di halaman rumah sakit. Langkah tersebut terpaksa diambil karena tidak adanya sarana untuk menjaga mayat agar tidak membusuk akibat pengepungan Israel yang membuat mereka tidak bisa melakukan pemakaman dengan layak.
"Kami berencana menguburkan mereka hari ini di kuburan massal di dalam kompleks medis al-Shifa," ungkap juru bicara otoritas kesehatan Gaza Ashraf al-Qidra, seperti dilansir The Guardian, Rabu (15/11/2023). "Saat ini orang-orang sedang menggali."
Baca Juga
Pasukan Israel dilaporkan siaga di gerbang kompleks, sementara perang Hamas Vs Israel berlanjut dengan pertempuran sengit di jalan-jalan di Kota Gaza, banyak pasien meninggal karena listrik mati akibat kehabisan bahan bakar atau kehabisan stok obat-obatan. Beberapa bagian gedung Rumah Sakit al-Shifa telah dibom.
Advertisement
Amerika Serikat (AS) pada Selasa (14/11) menggemakan tuduhan Israel dengan mengatakan intelijen AS mendukung klaim bahwa Hamas menggunakan Rumah Sakit al-Shifa sebagai pusat komando militer dan mungkin juga sebagai gudang senjata.
"Kami mempunyai informasi yang menegaskan bahwa Hamas menggunakan rumah sakit tersebut untuk mode komando dan kendali," ujar juru bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih John Kirby. "Itu adalah kejahatan perang."
Namun, Kirby menambahkan, tindakan Hamas tidak mengurangi tanggung jawab Israel untuk melindungi warga sipil selama operasi militernya.
Setidaknya 32 pasien di al-Shifa, termasuk sejumlah bayi prematur, meninggal selama akhir pekan akibat kurangnya akses terhadap kebutuhan hidup. Sementara itu, 36 bayi serta sejumlah pasien lain berada di ambang kematian.
Hanya 1 Rumah Sakit di Gaza Utara yang Masih Berfungsi
Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (UNOCHA) mengatakan pada Selasa (15/11) bahwa lebih dari 200.000 orang telah meninggalkan Gaza utara dalam 10 hari terakhir.
Disebutkan hanya satu rumah sakit di bagian utara Jalur Gaza yang diblokade – al-Awda – yang masih memiliki listrik dan dapat menerima pasien, sedangkan fasilitas medis lainnya di Kota Gaza yang luas kini sebagian besar berfungsi sebagai tempat penampungan bagi orang-orang yang melarikan diri dari serangan keji Israel.
Perang Hamas Vs Israel sejak 7 Oktober telah merenggut lebih dari 11.000 nyawa warga Palestina di Gaza. Setidaknya 1.200 orang di Israel tewas akibat serangan Hamas pada 7 Oktober dan lebih dari 200 lainnya ditawan.
"Ratusan ribu orang yang tidak mau atau tidak mampu pindah ke selatan tetap tinggal di wilayah utara di tengah meningkatnya intensitas pertempuran. Mereka berjuang mendapatkan air dan makanan," ungkap UNOCHA.
Saksi mengatakan suara tembakan keras terdengar di sekitar kompleks Rumah Sakit al-Shifa. Staf rumah sakit menuturkan penembak jitu menembaki orang-orang di luar, sehingga berbahaya untuk bergerak di sekitar kompleks.
Juru bicara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Margaret Harris mengungkapkan pada Selasa bahwa dunia perlu fokus pada menyelamatkan nyawa, bukan menghilangkan nyawa.
"Entah bagaimana pemahaman bahwa rumah sakit harus menjadi tempat yang aman, tempat orang datang untuk disembuhkan, untuk dirawat ketika mereka dalam kesulitan, ketika mereka membutuhkan, sudah dilupakan," kata Harris. "Tampaknya ada kecenderungan untuk mengubah tempat-tempat tersebut menjadi tempat kematian, keputusasaan, dan bahaya, yang seharusnya tidak pernah terjadi."
Juru bicara Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyatakan dia sangat terganggu dengan hilangnya nyawa secara dramatis di rumah sakit-rumah sakit di Gaza.
"Atas nama kemanusiaan, sekjen menyerukan gencatan senjata kemanusiaan segera," kata juru bicara Stephane Dujarric.
Presiden AS Joe Biden menuturkan pada Senin bahwa dia berharap militer Israel akan melanjutkan operasi yang tidak terlalu mengganggu di al-Shifa. Biden menegaskan bahwa warga sipil Palestina harus dilindungi.
Israel sendiri belum memberikan bukti yang meyakinkan soal tuduhan al-Shifa sebagai pusat komando Hamas.
Para pejabat PBB menekankan bahwa klaim Israel mengenai aktivitas Hamas di rumah sakit, baik benar atau salah, tidak membebaskan Israel dari kewajiban untuk menyelamatkan nyawa warga sipil.
Advertisement
Nakba Gaza
Sebuah kapal rumah sakit Prancis diperkirakan akan tiba dalam beberapa hari ke depan dan Uni Emirat Arab (UEA) dilaporkan sedang mendirikan rumah sakit lapangan di selatan Gaza, namun langkah-langkah ini sepertinya tidak akan meringankan krisis kemanusiaan bagi 2,3 juta penduduk Gaza.
Wilayah pesisir, yang telah menjadi miskin akibat blokade Israel-Mesir selama 16 tahun, telah hancur akibat pengeboman gila-gilaan Israel. Menurut PBB pada Senin (13/11), sekitar 45 persen rumah dan 279 fasilitas pendidikan rusak atau hancur.
Air bersih, makanan, dan persediaan medis sangat langka. Sampah menumpuk di jalanan, meningkatkan risiko penyakit seperti kolera dan disentri.
Menteri Luar Negeri Israel Eli Cohen pada Senin mengakui adanya tekanan komunitas internasional.
"Dari sudut pandang politik, kami mulai melihat bahwa tekanan terhadap Israel telah dimulai. Tekanannya tidak terlalu tinggi, tapi trennya meningkat … kami akan terus melanjutkan apa pun sesuai rencana," kata Cohen.
Israel telah berjanji untuk menghancurkan Hamas sebagai kekuatan militer dan pemerintahan di Gaza. Tidak jelas apa yang akan dilakukan Israel terhadap Jalur Gaza setelah perang selesai.
Menteri Keuangan Israel Bezalel Smotrich mengeluarkan pernyataan mengerikan terkait hal itu pada Selasa. Dia mengatakan bahwa warga Palestina harus secara sukarela meninggalkan Gaza menuju negara lain.
Pernyataan Smotrich tidak sepenuhnya mengejutkan karena ketika sejak awal Israel mendesak warga Gaza mengungsi ke selatan, terminologi Nakba atau malapetaka, kembali mendunia. Nakba merujuk pada pengusiran massal 700.000 warga Palestina dalam perang terkait pendirian Israel pada tahun 1948.
Bahkan, pada Sabtu (11/11), Menteri Pertanian dan Pembangunan Pedesaan Israel Avi Dichter, menuturkan dalam sebuah wawancara televisi, "Kami sekarang meluncurkan Nakba Gaza."
Pasca pernyataan Dichter, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu kemudian memperingatkan para menteri kabinet agar hati-hati melontar pernyataan.
Sebuah video yang belum diverifikasi yang dipublikasikan secara online menunjukkan apa yang diduga seperti sejumlah tentara Israel di depan gedung-gedung yang dibom, di mana salah satu dari mereka mengatakan mereka "menaklukkan, mengusir, dan menetap".
Di Tepi Barat yang diduduki, kekerasan terburuk juga terus meningkat, dengan 182 warga Palestina tewas, sebagian besar akibat bentrokan dengan militer dan pemukim Israel.