Sukses

Tank Israel Kepung RS Al-Ahli di Jalur Gaza, Ambulans Tak Bisa Lewat

Tank Israel menambah kesulitan tim medis di Jalur Gaza.

Liputan6.com, Jalur Gaza - Rumah Sakit Al-Ahli di Jalur Gaza dilaporkan sedang dikepung tank-tank Israel. Akibatnya, ambulans kesulitan menyelamatkan pasien.

Dilansir Middle East Monitor, Jumat (17/11/2023), tank tersebut hadir di tengah bentrokan yang terjadi. Kabar itu diungkap oleh Palestine Red Crescent Society yang menyebut ambulans tak bisa menolong warga di Gaza yang terluka akibat hal tersebut.

"Tank-tank mengepung Rumah Sakit Al-Ahli Baptist dan ada bentrokan intens," tulis pihak Palestine Red Crescent Society di Facebook mereka.

"Tim ambulans Bulan Sabit Merah tidak bisa bergerak untuk menjemput yang cedera dan terluka," tambah pos tersebut.

Di lain tempat, Presiden Majelis Umum PBB Dennis Francis menyebut bahwa PBB seperti tidak berdaya karena ada perpecahan di Dewan Keamanan.

"Kekerasa dan perang lanjut menyebar di kawasan-kawasan seluruh dunia sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa tampak tak berdaya karena terutama perpecahan di Dewan Keamanan," ujar politisi Trinidad dan Tobago tersebut, dikutip akun UN News di platform X.

Beberapa waktu lalu, dubes Amerika Serikat dan Rusia memang saling berbeda pendapat soal bantuan ke Jalur Gaza. AS menolak resolusi dari Rusia karena dianggap tidak mengecam Hamas yang notabene dianggap teroris dari AS. 

Pada Rabu (15/11), resolusi dari DK PBB akhirnya lolos setelah diajukan oleh Republik Malta agar bantuan kemanusiaan bisa lancar masuk ke Jalur Gaza.

2 dari 4 halaman

11.500 Warga Gaza Tewas Diserang Israel Sejak 7 Oktober 2023

Sebelumnya, kantor media pemerintah di Gaza pada Rabu (15/11) mengumumkan bahwa jumlah korban tewas akibat serangan udara Israel di Jalur Gaza sejak 7 Oktober telah meningkat menjadi 11.500, termasuk 4.710 anak-anak dan 3.160 wanita.

“Jumlah kematian di kalangan personel medis telah mencapai 200 orang,” kata kantor tersebut dalam sebuah pernyataan di Telegram.

Lebih lanjut dikatakan bahwa 22 personel pertahanan sipil dan 51 jurnalis juga tewas, sementara jumlah orang yang terluka mencapai 29.800 orang, dan sekitar 70% di antaranya adalah anak-anak dan perempuan, dikutip dari laman anadolu agency, Kamis (16/11/2023).

Jumlah korban terbaru yang diumumkan oleh kantor tersebut pada Selasa (14/11) adalah 11.320 korban jiwa, termasuk 4.650 anak-anak dan 3.145 perempuan.

Pernyataan Rabu kemarin juga menyebutkan bahwa 95 gedung pemerintah dan 255 sekolah telah hancur. Sebanyak 74 masjid hancur total dan 162 rusak sebagian, serta tiga gereja.

Dikatakan bahwa tentara Israel menargetkan 52 pusat kesehatan dan 55 ambulans, sementara 25 rumah sakit kehabisan layanan.

“Tentara Israel menyerang banyak pasien, orang yang terluka, dan pengungsi, serta beberapa staf medis dan perawat di dalam Kompleks Medis Al-Shifa, memaksa mereka membuka pakaian dan menghina mereka,” tambah pernyataan itu.

Setelah mengepungnya selama berhari-hari, tentara Israel pada Rabu menggerebek Kompleks Medis Al-Shifa di Kota Gaza.

Kantor pemerintah menyatakan “(pasukan) pendudukan Israel dan komunitas internasional, khususnya Amerika Serikat, bertanggung jawab penuh atas kejahatan perang terorganisir yang dilakukan oleh tentara pendudukan terhadap rumah sakit” dan menyerukan pembukaan penyeberangan Rafah dan pintu masuknya bantuan.

Sebelumnya, otoritas pengatur telekomunikasi Palestina memperingatkan bahwa layanan komunikasi di Gaza akan terhenti total dalam beberapa jam mendatang di tengah kekurangan bahan bakar yang parah.

Dalam pernyataan terpisah, kantor media pemerintah memperingatkan bahwa pemadaman layanan komunikasi akan “berkontribusi pada penyembunyian total semua kejahatan perang yang dilakukan oleh tentara pendudukan sepanjang waktu terhadap rumah sakit, rumah persembunyian, dan 2,3 juta orang di Jalur Gaza, Palestina. ”

3 dari 4 halaman

Presiden Erdogan: Saya Berkata Israel Adalah Negara Teror

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan secara terang-terangan menyebut Israel sebagai negara teror. Tindakan Israel yang membombardir Gaza dinilai sebagai aksi terorisme oleh negara.

"Dengan pengeboman yang ganas kepada rakyat sipil yang dipaksa keluar rumah saat mereka relokasi, ini benar-benar penggunaan terorisme negara," ujar Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, dikutip Arab News, Kamis (16/11/2023).

"Saya sekarang berkata, dengan hati yang tenang, bahwa Israel adalah negara teror," ujarnya.

Selanjutnya, Erdogan kembali memberikan dukungan kepada pasukan Hamas yang ia sebut sebagai pejuang perlawanan. Erdogan juga menyayangkan bahwa negara-negara Barat tidak bisa melihat situasi dengan jernih. 

"Barat, yakni AS, sayangnya masih melihat isu ini dengan terbelakang," ucap Erdogan.

Sebelum perang di Gaza dimulai pada Oktober lalu, hubungan Presiden Recep Tayyip Erdogan dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sebenarnya sudah menghangat. 

Sempat muncul juga wacana bagi Presiden Erdogan untuk mengunjungi Israel. Saling kunjung antara pejabat Israel dan Turki juga sudah terjadi. Namun, Erdogan langsung memulangkan dubesnya dari Israel ke Turki ketika perang di Gaza semakin parah. 

PM Israel Benjamin Netanyahu juga masih mengabaikan permintaan lembaga internasional seperti PBB, WHO, dan lembaga-lembaga HAM untuk melakukan gencatan senjata. Negara-negara Barat juga enggan mendukung gencatan senjata dan memilih mendukung jeda kemanusiaan saja.

4 dari 4 halaman

Menteri Israel Bezalel Smotrich Serukan Warga Palestina di Gaza Migrasi Sukarela ke Negara Lain

Menteri Keuangan Israel Bezalel Smotrich pada Selasa (14/11/2023), blak-blakan mengatakan bahwa dia mendukung proposal anggota Knesset (parlemen Israel) Ram Ben Barak dan Danny Danon agar warga Palestina melakukan migrasi sukarela.

Melalui opini di Wall Street Journal, Barak dan Danan menyerukan negara-negara di dunia menerima masuknya pengungsi dari Gaza. 

Smotrich, yang juga menjabat sebagai gubernur de facto Tepi Barat yang diduduki, memuji usulan tersebut sebagai satu-satunya solusi bagi 2,3 juta warga Gaza, yang disebutnya telah menjadi simbol ambisi memusnahkan Negara Israel.

"Mayoritas warga Gaza adalah generasi keempat dan kelima dari pengungsi 48," tulis Smotrich dalam unggahannya di Facebook, mengacu pada Nakba tahun 1948, ketika lebih dari 700.000 warga Palestina diusir paksa dan mereka serta keturunannya tidak dapat kembali.

"Yang bukannya direhabilitasi ... seperti ratusan juta pengungsi di seluruh dunia malah disandera di Gaza dalam kemiskinan."

Dia menambahkan bahwa Negara Israel tidak dapat didamaikan dengan keberadaan Gaza yang merdeka yang bergantung pada kebencian terhadap Israel dan aspirasi untuk menghancurkannya.