Sukses

Kata Profesor AS soal Aspek Budaya Asia Tenggara Termasuk Indonesia di Film Animasi Disney Pertama Raya and The Last Dragon

Film berjudul "Raya and The Last Dragon" yang disutradarai oleh Don Hall dan Carlos Lopez Estrada ini mengangkat budaya 10 negara di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Representasi budaya Asia Tenggara dalam dunia perfilman bisa dikatakan cukup jarang ditemukan. Hal inilah yang mendorong Walt Disney membuat film animasi pertamanya dan mengangkat budaya Asia Tenggara sebagai latar belakang ceritanya.

Film berjudul Raya and The Last Dragon yang disutradarai oleh Don Hall dan Carlos Lopez Estrada ini mengangkat budaya 10 negara di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Gamelan, keris hingga pencak silat pun tak ketinggalan menjadi bagian dan elemen penting dalam alur cerita film tersebut.

Menggali lebih dalam soal keunikan film tersebut, Liputan6.com berkesempatan untuk berbincang dengan Profesor Steve Arounsack, seorang antropolog visual yang bertanggung jawab atas aspek budaya yang muncul dalam film "Raya and The Last Dragon".

"Peran saya dalam film tersebut adalah sebagai penasihat budaya utama dan antropolog visual, artinya saya meninjau keseluruhan film untuk memastikan bahwa aspek budayanya terinspirasi oleh masyarakat Asia Tenggara," ujarnya dalam wawancara khususLiputan6.com di @America Jakarta, Kamis (16/11/2023).

Profesor antropologi asal Laos itu memimpin tim riset yang disebut dengan "Southeast Asia Story Trust", yang bertanggung jawab menjadi konsultan budaya dalam film tersebut.

Dalam perannya, Steve mengaku menghadapi banyak tantangan juga kesempatan di waktu yang sama.

"Memang banyak tantangan, tetapi jika dipikirkan lagi, mungkin ini menjadi kesempatan bagi dunia untuk mempelajari lebih tentang kawasan indah ini," katanya.

"Jadi saya melihatnya lebih sebagai kesempatan daripada tantangan. Tentu ini hal menantang, tapi ketika melihat lebih dalam ini menjadi kesempatan untuk mengajak dunia mempelajari lebih dalam soal Asia Tenggara."

Sebagai salah satu negara di kawasan Asia Tenggara, sejumlah budaya Indonesia pun turut ditampilkan dalam film tersebut, termasuk gamelan hingga keris.

"Ada banyak hal indah di film ini dan banyak hal indah asal Indonesia yang kita masukkan ke dalamnya, seperti batik, keris hingga pencak silat. Jadi, menurut saya ada banyak hal indah dari Indonesia yang ada dalam film itu," ungkap Steve.

Dalam hal ini, salah satu anggota timnya asal Indonesia bernama Emiko Susilo, bertanggung jawab atas elemen budaya Nusantara dalam film tersebut.

2 dari 4 halaman

Representasi Asia Tenggara di Dunia Perfilman

Lebih jauh, Steve berharap bahwa film ini bisa menjadi medium bagi masyarakat dunia untuk lebih mengenal kawasan Asia Tenggara, yang mungkin selama ini jarang mendapat sorotan di dunia perfilman.

"Asia Tenggara adalah tempat yang luas dan rumit, bahkan bagi penduduk setempat. Jika orang-orang yang tinggal di sini belum sepenuhnya memahaminya, maka bagi mereka yang berada di luar wilayah ini, akan lebih sulit lagi. Inilah sebabnya mengapa kesempatan seperti ini begitu berharga," tutur Steve.

Lewat latar belakang budaya Asia Tenggara, profesor antropolog budaya itu juga bertujuan untuk menunjukkan betapa beragamnya budaya di dunia.

"Dalam film kami, tujuan kami adalah menunjukkan bahwa keberagaman tidak hanya berlaku pada perbedaan budaya, tetapi juga terlihat dalam lingkungan alam. Ini sejalan dengan tema kami tentang keberagaman yang begitu kaya dan menakjubkan dalam segala hal," kata Steve lagi.

3 dari 4 halaman

Kunjungan ke Indonesia

Dalam kunjungannya ke Indonesia kali ini, Steve berkesempatan untuk mengunjungi sejumlah kampus di beberapa kota di Indonesia. Di sana, ia membagikan pengalamannya dalam dunia film kepada para mahasiswa di sejumlah kampus yang berbeda.

"Jadi, kunjungan saya ke sana menemui para mahasiswa bertujuan untuk memberi inspirasi kepada mereka agar menyadari bahwa mereka memiliki potensi yang luar biasa. Saya sangat antusias untuk melihat lebih banyak cerita dari Indonesia. Dengan begitu, saya memiliki kesempatan untuk melihat seluruh proses produksinya," ujar Steve.

 
 
 
View this post on Instagram

A post shared by US Consulate General Surabaya (@uscongensby)

Ia juga ikut mendengarkan cerita maupun pengalaman dari para mahasiswa itu saat mengangkat budaya dan menuangkannya dalam sebuah film.

"Kami punya kesempatan untuk berbicara dengan orang-orang dari berbagai latar belakang ini dan mengikuti setiap langkahnya, dari awalnya. Jadi, saya merasa sangat bersyukur karena dapat melihat berbagai wajah dan melihat bagaimana mereka menghadapinya, mengetahui tantangan yang dihadapi dan juga inspirasi yang mereka ambil dari budaya mereka sendiri," imbuhnya.

4 dari 4 halaman

Profil Steve Arounsack

Dilansir dari laman resmi California State University, Jumat (17/11), Steve Arounsack adalah seorang antropolog visual yang fokus dalam pembawaan cerita dan produksi media digital. Secara khusus, ia tertarik dengan perkembangan media di Asia Tenggara dan representasi budaya regional tersebut.

Penelitian etnografinya di Asia Tenggara—terutama Laos dan Thailand—berlangsung selama kurang lebih 30 tahun.

Arounsack menjabat sebagai penasihat budaya utama dan antropolog visual untuk Raya and the Last Dragon dari Walt Disney Animation Studios. Film bersejarah ini merupakan animasi fitur pertama studio yang terinspirasi oleh budaya Asia Tenggara. Selain itu, film-filmnya telah ditayangkan di Public Broadcasting Service (PBS) dan diputar di festival film Asia-Amerika terkemuka di seluruh Amerika Serikat.

Selain Raya and The Last Dragon, karya Steve lainnya adalah film dokumenter Getting Lao'd dan film Next-Gen Asian American Art, di mana ia menjadi sutradara dan produser untuk kedua film tersebut.