Liputan6.com, Jakarta - Sebanyak 56 orang warga negara Indonesia (WNI) tidak berdokumen, yang terdiri dari 31 anak bayi/balita bersama 25 ibunya, berhasil dipulangkan oleh KBRI Abu Dhabi ke Indonesia.
Pemulangan ini merupakan hasil dari kerja sama dengan Kementerian Luar Negeri (MOFA) dan Otoritas Imigrasi Uni Emirat Arab (UEA).
Baca Juga
Adapun pemulangan kali ini merupakan tahap kedua setelah sebelumnya pada 12 November 2023 dipulangkan 101 WNI tidak berdokumen, yang terdiri dari 55 anak dan 46 ibunya ke Indonesia.
Advertisement
Duta Besar Republik Indonesia untuk UEA Husin Bagis menyampaikan rasa terima kasih atas kerja sama semua pihak yang telah membantu hingga pemulangan ini dapat terwujud.
"Sejak awal proses pemulangan, KBRI Abu Dhabi telah mendapatkan dukungan penuh dari Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Direktorat Pelindungan WNI Kemlu, Div. Hubinter Mabes Polri serta Pemerintah UEA melalui MOFA dan otoritas imigrasi yang membantu mengawal, sehingga pemulangan ini dapat berjalan dengan lancar," ungkap Dubes Husin Bagis, seperti dikutip dari pernyataan tertulisnya, Senin (20/11).
Sudah Tiba di Indonesia
Para WNI dipulangkan menggunakan penerbangan SriLankan Airlines dan tiba di Indonesia pada Minggu (19/11) pukul 13.35 WIB.
Setibanya di Jakarta, para WNI akan ditangani oleh Direktorat Pelindungan WNI Kementerian Luar Negeri RI, Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) dan dinas sosial yang kemudian akan mengatur pemulangan ke daerah masing-masing.
KBRI Abu Dhabi juga memastikan para WNI tersebut telah mematuhi aturan kepabeanan Indonesia dengan memfasilitasi pendaftaran IMEI ponsel mereka melalui kerja sama dengan Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan RI.
Kegiatan ini merupakan bagian dari program pemulangan 230 orang anak dan ibunya pada tahun 2023 ini.
Para WNI tersebut sebelumnya telah menjalani tes DNA yang dilakukan oleh Div. Hubinter Polri pada Juni 2023 guna membuktikan bahwa anak yang dibawanya adalah anak kandung sendiri. Hal ini dilakukan mengingat perkawinan mereka tidak dicatatkan secara resmi dalam sistem administrasi kependudukan di UEA atau Indonesia, sehingga anak-anak tersebut akan kesulitan memperoleh dokumen resmi yang dapat menyebabkan mereka terhambat mendapatkan hak-hak dasar mereka, termasuk dalam hal pendidikan dan fasilitas kesehatan yang layak.
Advertisement