Ada yang unik di pinggiran Kota Stara Zagora, Bulgaria. Tiap Todorovden atau Hari Santo Todor yang jatuh pada pertengahan Maret, gadis-gadis Roma berdandan habis habisan, mengenakan pakaian yang provokatif. Diiringi musik pop Gipsi, mereka mencoba untuk menarik perhatian pria-pria muda yang mengenakan kaos ketat dan jaket kulit.
Lokasinya di sebuah tempat yang dikenal sebagai "pasar pengantin". Sebuah tradisi berusia ratusan tahun milik 18 ribu komunitas semi-nomaden Roma yang dikenal sebagai Kalaidzhi.
Mereka tidak sedang menjajakan cinta sesaat di sana, apalagi menjual tubuh. Namun, sedang menebar pesona, pada calon suami potensial, juga keluarga mereka yang sedang menimbang-nimbang kemampuan finansial mereka.
Maklum, pernikahan mensyaratkan biaya pengantin yang berkisar antara 5.000 sampai 10.000 lev atau Rp 32 juta- Rp 63 juta. Jumlah yang terus menurun di tengah jeratan krisis ekonomi di Bulgaria. Yang membuat pesta pernikahan diselenggarakan jauh lebih sederhana.
Namun, "harga masih bisa lebih tinggi untuk gadis muda yang amat cantik dengan banyak pelamar," kata Velcho Krastev, yang telah banyak menulis tentang Kalaidzhi, seperti dimuat Daily Mail (26/3/2013).
Ada yang mengatakan, pembayaran yang diterima untuk membiayai gaun dan pesta pernikahan rumit dalam tradisi Roma.
Namun, selentingan beredar, itu adalah harga yang bersedia dibayar sebuah keluarga untuk memiliki seorang menantu perempuan yang diyakini masih perawan.
"Kami sangat menjaga moral anak-anak dengan menikahkan mereka di usia muda," kata Kosta Kostov, seorang penonton di pameran tersebut. "Kalau gadis itu ternyata tidak perawan, keluarga pengantin wanita harus mengembalikan uang."
Meskipun gagasan bahwa seorang gadis harus perawan ketika ia menikah telah memudar di masyarakat Bulgaria, namun syarat itu tetap penting di Roma, khususnya bagi para pengikut Ortodoks.
Konservatif
Memilih calon pengantin adalah penting. Apalagi untuk saat ini. Tak sekedar mencari pasangan tepat untuk anak mereka, tapi patner keluarga untuk menghadapi perekonomian Bulgaria yang makin terasa menghimpit.
Pekerjaan turun-menurun sebagai pengrajin logam sedang sekarat, panci dan wajan tembaga tradisional tak lagi diminati, digantikan oleh barang-barang lebih murah dari China.
Dan tak hanya yang sudah cukup umur, bahkan gadis-gadis amat muda yang belum cocok untuk jadi mempelai mengenakan maskara tebal, perhiasan mencolok, dan sepatu bertumit tinggi yang membuat tubuh mereka menjulang.
Pakaian yang mereka kenakan tak kalah semarak, rok mini berwarna pink ngejreng, baju berwarna merah darah, atau gaun kuning yang menyilaukan. Sementara para jejaka mengenakan jeans hitam ketat dan kemeja yang menonjolkan otot mereka, seringkali dipadu dengan jaket kulit hitam.
Meski di lingkungan yang suram, sekitar 2.000 orang dengan semangat tinggi mengelilingi mobil-mobil yang dipasangi pengeras suara. Gegap gempita menyambut gadis-gadis yang dipamerkan.
Itu adalah kesempatan para gadis dan jejaka menari bersama, dengan goyangan sensual. Ada alasan mengapa mereka terlalu bersemangat. Salah satunya, karena nilai-nilai konservatif yang berlaku dalam masyarakat, pemuda jarang diperbolehkan untuk berbaur dengan lawan jenis.
Kalaidzhi, yang mayoritas pemeluk Kristen Ortodoks yang taat, bahkan kerap mengeluarkan anak gadisnya dari sekolah pada usia 15 tahun atau bahkan lebih awal. Agar mereka tetap aman dari godaan.
Negosiasi
Salah satu gadis yang siap "ditawarkan" adalah Donka Hristova. Ia datang ke pasar pengantin dengan keluarganya.
Mengenakan gaun mini ketat, wajahnya yang dihias dengan teliti, ia berharap mendapat pasangan di usianya yang baru 19 tahun,
"Aku berharap bertemu pemuda-pemuda baru dan melihat langsung orang tua mereka, sehingga orang tua kami juga bisa saling bertemu," kata dia. "Ini adalah tradisi yang baik. Lebih mudah bagi kami jika orang tua kami setuju. "
Donka juga berharap pasangannya punya orang tua yang tak terlalu ikut campur jika putranya menikah dengannya kelak. "Aku mencari pria yang tidak terlalu kaya dan tidak terlalu miskin. Dan yang penting, punya pekerjaan. "
Di masa lalu, 'pasar pengantin' mengambil tempat di lapangan terbuka berlumpur di samping pasar sapi di desa kecil. Di mana calon pengantin perempuan berdiri di panggung, dikelilingi calon pelamar yang bersaing mendapatkan mereka.
Memilih calon pengantin bukan hanya urusan para pria atau si gadis. Juga keluarga bernegosiasi soal uang. Dan tak ketinggalan, para "penasehat"
Salah satunya Pepa Georgieva. Ia menikah dengan Kolyo suaminya pada tahun 2008 juga lewat pasar pengantin. Kini ia datang ke acara tahun ini untuk membantu sepupunya yang berusia 20 tahun
"Dia tidak bisa memutuskan sendiri. Dia harus mendengar pendapat kami," kata Pepa. "Saya berada di sini untuk bertemu keluarga calon mempelai pria. Untuk melihat apakah mereka memiliki kekayaan untuk membiayai pengantin perempuan."(Ein)
Lokasinya di sebuah tempat yang dikenal sebagai "pasar pengantin". Sebuah tradisi berusia ratusan tahun milik 18 ribu komunitas semi-nomaden Roma yang dikenal sebagai Kalaidzhi.
Mereka tidak sedang menjajakan cinta sesaat di sana, apalagi menjual tubuh. Namun, sedang menebar pesona, pada calon suami potensial, juga keluarga mereka yang sedang menimbang-nimbang kemampuan finansial mereka.
Maklum, pernikahan mensyaratkan biaya pengantin yang berkisar antara 5.000 sampai 10.000 lev atau Rp 32 juta- Rp 63 juta. Jumlah yang terus menurun di tengah jeratan krisis ekonomi di Bulgaria. Yang membuat pesta pernikahan diselenggarakan jauh lebih sederhana.
Namun, "harga masih bisa lebih tinggi untuk gadis muda yang amat cantik dengan banyak pelamar," kata Velcho Krastev, yang telah banyak menulis tentang Kalaidzhi, seperti dimuat Daily Mail (26/3/2013).
Ada yang mengatakan, pembayaran yang diterima untuk membiayai gaun dan pesta pernikahan rumit dalam tradisi Roma.
Namun, selentingan beredar, itu adalah harga yang bersedia dibayar sebuah keluarga untuk memiliki seorang menantu perempuan yang diyakini masih perawan.
"Kami sangat menjaga moral anak-anak dengan menikahkan mereka di usia muda," kata Kosta Kostov, seorang penonton di pameran tersebut. "Kalau gadis itu ternyata tidak perawan, keluarga pengantin wanita harus mengembalikan uang."
Meskipun gagasan bahwa seorang gadis harus perawan ketika ia menikah telah memudar di masyarakat Bulgaria, namun syarat itu tetap penting di Roma, khususnya bagi para pengikut Ortodoks.
Konservatif
Memilih calon pengantin adalah penting. Apalagi untuk saat ini. Tak sekedar mencari pasangan tepat untuk anak mereka, tapi patner keluarga untuk menghadapi perekonomian Bulgaria yang makin terasa menghimpit.
Pekerjaan turun-menurun sebagai pengrajin logam sedang sekarat, panci dan wajan tembaga tradisional tak lagi diminati, digantikan oleh barang-barang lebih murah dari China.
Dan tak hanya yang sudah cukup umur, bahkan gadis-gadis amat muda yang belum cocok untuk jadi mempelai mengenakan maskara tebal, perhiasan mencolok, dan sepatu bertumit tinggi yang membuat tubuh mereka menjulang.
Pakaian yang mereka kenakan tak kalah semarak, rok mini berwarna pink ngejreng, baju berwarna merah darah, atau gaun kuning yang menyilaukan. Sementara para jejaka mengenakan jeans hitam ketat dan kemeja yang menonjolkan otot mereka, seringkali dipadu dengan jaket kulit hitam.
Meski di lingkungan yang suram, sekitar 2.000 orang dengan semangat tinggi mengelilingi mobil-mobil yang dipasangi pengeras suara. Gegap gempita menyambut gadis-gadis yang dipamerkan.
Itu adalah kesempatan para gadis dan jejaka menari bersama, dengan goyangan sensual. Ada alasan mengapa mereka terlalu bersemangat. Salah satunya, karena nilai-nilai konservatif yang berlaku dalam masyarakat, pemuda jarang diperbolehkan untuk berbaur dengan lawan jenis.
Kalaidzhi, yang mayoritas pemeluk Kristen Ortodoks yang taat, bahkan kerap mengeluarkan anak gadisnya dari sekolah pada usia 15 tahun atau bahkan lebih awal. Agar mereka tetap aman dari godaan.
Negosiasi
Salah satu gadis yang siap "ditawarkan" adalah Donka Hristova. Ia datang ke pasar pengantin dengan keluarganya.
Mengenakan gaun mini ketat, wajahnya yang dihias dengan teliti, ia berharap mendapat pasangan di usianya yang baru 19 tahun,
"Aku berharap bertemu pemuda-pemuda baru dan melihat langsung orang tua mereka, sehingga orang tua kami juga bisa saling bertemu," kata dia. "Ini adalah tradisi yang baik. Lebih mudah bagi kami jika orang tua kami setuju. "
Donka juga berharap pasangannya punya orang tua yang tak terlalu ikut campur jika putranya menikah dengannya kelak. "Aku mencari pria yang tidak terlalu kaya dan tidak terlalu miskin. Dan yang penting, punya pekerjaan. "
Di masa lalu, 'pasar pengantin' mengambil tempat di lapangan terbuka berlumpur di samping pasar sapi di desa kecil. Di mana calon pengantin perempuan berdiri di panggung, dikelilingi calon pelamar yang bersaing mendapatkan mereka.
Memilih calon pengantin bukan hanya urusan para pria atau si gadis. Juga keluarga bernegosiasi soal uang. Dan tak ketinggalan, para "penasehat"
Salah satunya Pepa Georgieva. Ia menikah dengan Kolyo suaminya pada tahun 2008 juga lewat pasar pengantin. Kini ia datang ke acara tahun ini untuk membantu sepupunya yang berusia 20 tahun
"Dia tidak bisa memutuskan sendiri. Dia harus mendengar pendapat kami," kata Pepa. "Saya berada di sini untuk bertemu keluarga calon mempelai pria. Untuk melihat apakah mereka memiliki kekayaan untuk membiayai pengantin perempuan."(Ein)