Liputan6.com, Jakarta - Kapal pengangkut puluhan imigran Rohingya sempat berlabuh di Pantai Kuala Pawoen, Desa Pante Sukon, Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen, Kamis (16/11/2023).
Kedatangan imigran tersebut memasuki gelombang ketiga dalam sepekan. Namun, tak seperti sebelumnya. Warga Aceh untuk kali ini melakukan penolakan terhadap imigran Rohingya yang mendarat di Bireuen.
Baca Juga
Menurut Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna, penolakan itu terjadi karena pemerintah Indonesia tidak memiliki mekanisme komprehensif dalam penanganan pengungsi luar negeri di Aceh. Penangangan pengungsi di Aceh malah terkesan diabaikan tanpa supervisi.
Advertisement
Padahal, Pasal 2 Perpres 125/2016 tentang Penanganan Pengungsi Luar Negeri telah menyatakan, pemerintah pusat seharusnya bekerja sama dengan lembaga tinggi PBB melalui organisasi internasional yang menangani pengungsi, sebut Azharul.
"Perpres 125/2016 yang mengatur mekanisme perlindungan dan penanganan pengungsi ini, tambahnya, memberikan semangat adanya penerimaan negara untuk akses mencari dan mendapatkan suaka sebagai sebuah bentuk perlindungan," terang Azharul, dalam rilis diterima Liputan6.com, Jumat (16/11/2023).
Jika melihat kembali ke belakang, konflik yang menimpa rakyat Rohingya telah lama terjadi.
Awalnya bermula dari lokasi bernama Rakhine yang merupakan sebuah negara bagian yang terletak di barat Myanmar. Di wilayah tersebut, selama bertahun-tahun kekerasan berulang kali terjadi antara warga mayoritas dengan muslim Rohingya.
Pada 2012, Rakhine menjadi sorotan dunia setelah terjadi bentrok berdarah kedua kelompok yang menewaskan lebih dari 200 orang. Sementara 140.000 warga lainnya terpaksa mengungsi.
Penyerangan ke tiga pos perbatasan pada 9 Oktober 2016 lalu memicu dilaksanakannya operasi militer di Rakhine, tepatnya di wilayah yang menjadi permukiman warga muslim Rohingya. Versi otoritas setempat, kebijakan ini merupakan langkah pembersihan terhadap segelintir orang yang mereka sebut sebagai kelompok militan dari kalangan Rohingya.
Tak hanya itu, muncul pula dugaan penyalahgunaan wewenang oleh militer. Mereka dikabarkan melakukan pemerkosaan, pembunuhan, dan pembakaran rumah serta gedung.
Terasing di negeri sendiri, tak memiliki kewarganegaraan, didiskriminasi, dan menjadi sasaran siklus kekerasan yang tak terduga. Begitulah kurang lebih gambaran kondisi warga muslim Rohingya yang diberikan oleh Gregory B. Poling, analis dari CSIS, dikutip dari laman csis.org, Selasa (21/11/2023).
Banyak kalangan di dalam negeri Myanmar, termasuk sejumlah tokoh agama dan para pemimpin politik, meminta agar warga muslim Rohingya diusir melalui cara apa pun. Namun ada pula yang membela mereka meski kelompok ini terpaksa menerima kenyataan bahwa mereka dibenci hingga lahirnya kesenjangan politik tak terelakkan.
Literasi: Etnis Rohingya Ada di Rakhine Sejak Abad ke-7
Para tokoh masyarakat yang membela keberadaan muslim Rohingya akan dilabeli persona non-grata.
Selama ini, publik hanya mengenali Rohingya sebagai warga muslim minoritas yang teraniaya di Myanmar, sebuah negara yang mayoritas penduduknya menganut keyakinan Buddha. Pertanyaan pun muncul, siapa sebenarnya Rohingya?
Dari beberapa literatur, Rohingya disebut telah berdiam di Rakhine sejak abad ke-7, sebagian lainnya menyebut sejak abad ke-16. Nenek moyang Rohingya merupakan campuran dari Arab, Turki, Persia, Afghanistan, Bengali, dan Indi-Mongoloid.
Populasi mereka di Rakhine mencapai lebih dari 1 juta jiwa. Sebagian besar hidup di Kota Maungdaw dan Buthidaung di mana di sana mereka adalah mayoritas.
Pemerintah Myanmar mengklaim bahwa Rohingya tidak memenuhi syarat untuk mendapat kewarganegaraan di bawah UU Kewarganegaraan yang disusun militer pada 1982. Dokumen tersebut mendefinisikan bahwa warga negara adalah kelompok etnik yang secara permanen telah menetap dalam batas-batas modern Myanmar sebelum tahun 1823. Itu adalah tahun sebelum perang pertama antara Inggris-Myanmar.
Pemerintahan Jenderal Ne Win memasukkan 135 kelompok etnik yang telah memenuhi persyaratan. Dan daftar inilah yang masih digunakan pemerintah sipil Myanmar hingga saat ini.
Pemerintah kolonial Inggris disebut-sebut merupakan pihak yang mendorong migrasi Rohingya ke Myanmar. Ini yang memicu kebencian di dalam negeri negara itu, sehingga digunakanlah tahun 1823 sebagai acuan untuk menentukan kewarganegaraan.
Cerita yang dominan berkembang di dalam negeri Myanmar adalah Rohingya merupakan pendatang baru. Warga muslim itu dikabarkan keturunan imigran dari Bangladesh pada era kolonial. Namun menurut Gregory B. Poling, belakangan kisah ini terbukti palsu.
Advertisement
Penyebutan Diri sebagai Rooinga atau Rohingya
Pada 1799, seorang ahli bedah, Francis Buchanan, dengan perusahaan British East India bepergian ke Myanmar dan bertemu dengan warga muslim yang telah lama menetap di Rakhine. Mereka menyebut dirinya sebagai Rooinga atau penduduk asli Arakan.
Ini menandai bahwa warga muslim Rohingya sudah hidup di Rakhine setidaknya 25 tahun sebelum 1823.
Bahkan meski nama Rohingya terlalu tabu untuk diterima di Myanmar, sejarah menginformasikan secara jelas bahwa kelompok etnik itu sendiri telah berada di Rakhine sejak berabad-abad silam.
Sebuah populasi muslim yang signifikan disebut telah hidup di Kerajaan Mrauk-U yang memerintah Rakhine dari pertengahan abad ke-15 hingga akhir abad ke-18. Tak hanya itu, raja-raja Buddha dari Mrauk-U bahkan menghormati umat muslim.
Menurut Poling, bukti tersebut menunjukkan bahwa komunitas muslim itulah yang menjadi asal muasal Rohingya saat ini. Kelompok ini lantas berasimilasi dengan gelombang imigran dari Bangladesh selama dan setelah era jajahan Inggris.
Â
Kehidupan Rohingya di Bawah Diktator Ne Win
Pascamerdeka dari Inggris, pemerintahan parlementer Myanmar 1948-1962 mengakui kewarganegaraan Rohingya. Peristiwa ini sekaligus menyingkirkan kisah lama yang berkembang bahwa Rohingya merupakan "pendatang baru".
Seiring dengan diakui mereka pun mendapat dokumen-dokumen resmi dan menikmati berbagai fasilitas sebagai warga negara. Bahkan radio nasional memiliki segmen khusus yang dibawakan dengan menggunakan bahasa Rohingya.
Eks peneliti di London School of Economics, Maung Zarni, memiliki sejumlah dokumen berbahasa Myanmar yang menunjukkan pengakuan pemerintah terhadap Rohingya selama era kepemimpinan U Nu dan pada tahun-tahun awal pemerintahan diktator Ne Win. Beberapa di antaranya adalah pernyataan publik, siaran radio resmi, buku yang dicetak pemerintah, dan dokumen yang dikeluarkan pemerintah.
Pascakemerdekaan Myanmar, sejumlah anggota parlemen yang menyebut diri mereka sebagai warga Rohingya menentang dimasukkannya wilayah yang dihuni etnik itu ke bagian negara Rakhine. U Nu pun pada 1961 memutuskan untuk menjadikan Buthidaung, Maungdaw, dan Rathedaung sebagai wilayah Administrasi Perbatasan Mayu. Nama tersebut diambil dari nama sungai yang mengalir melalui kawasan itu.
Kawasan tersebut terpisah dari Rakhine yang dihuni mayoritas penduduk beragama Buddha. Kehidupan warga Rohingya berubah secara dramatis ketika negara itu dipimpin oleh diktator Ne Win.
Â
Advertisement
Pelucutan Kewarganegaraan Etnis Rohingya
Dalam buku Burma: A Nation at the Crossroads yang ditulis Benedict Rogers, disebutkan salah seorang pejabat di era Ne Win mengaku bahwa sang diktator memiliki kebijakan tak tertulis untuk menyingkirkan warga muslim, Kristen, Karens dan beberapa etnik lainnya.
Pemerintahan Ne Win pun secara sistematis melucuti kewarganegaraan Rohingya. Dimulai dari pemberlakuan UU Imigrasi Darurat 1974 dan puncaknya adalah UU Kewarganegaraan 1982.
Warga Rohingya yang bermukim di wilayah Administrasi Perbatasan Mayu "dilimpahkan" ke Rakhine. Dan sejak saat itu, ratusan ribu dari mereka melarikan diri ke Bangladesh akibat dipicu serangan brutal pada 1978 dan 1991.
Praktis sejak saat itu hak-hak mereka terhadap dokumen resmi, pendidikan, bantuan pemerintah, kepemilikan tanah, bahkan perkawinan terabaikan. Pemerintah Myanmar pun disebut menanamkan ingatan pada generasi muda bahwa Rohingya adalah kelompok penyusup, pencuri tanah dan peluang ekonomi yang bertujuan "menggulingkan" Buddha sebagai agama mayoritas di negara itu.