Liputan6.com, Aceh - Kabar penolakan pengungsi Rohingya di Aceh menuai sorotan dari organisasi HAM internasional seperti Amnesty. Penolakan Rohingya di Aceh cukup mengejutkan sebab sebelumnya para pengungsi pernah diterima.
Sebelumnya, Malaysia juga dikabarkan pernah menolak kedatangan perahu Rohingnya, meski sebelumnya juga menerima.
Baca Juga
Amnesty lantas meminta Indonesia untuk terus menerima kedatangan para pengungsi Rohingya. Ini untuk membuktikan bahwa Indonesia memang bisa menjadi sosok pemimpin Asia Tenggara.
Advertisement
Dilaporkan VOA Indonesia, Kamis (23/11/2023), Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan Indonesia bisa mengambil peran yang sangat besar dalam memajukan hak asasi manusia (HAM) tingkat dunia termasuk kepemimpinannya di kawasan Asia Tenggara jika menerima para pengungsi Rohingya tersebut.
“Di antara konvensi-konvensi itu, banyak memberikan kewajiban kepada pemerintah Indonesia untuk menghormati para pencari suaka atau yang menjadi pengungsi,” ujarnya.
Usman menilai permasalahan yang dihadapi para pengungsi Rohingya adalah persoalan kemanusiaan. Maka penanganan yang dilakukan juga harus dengan cara mengedepankan hak-hak kemanusiaan.
“Kalau Indonesia sungguh-sungguh mau ambil kepemimpinan di Asia Tenggara. Memastikan bahwa lima poin konsensus yang Indonesia prakarsai di dalam pertemuan tingkat tinggi di Asia Tenggara benar-benar diterapkan pelaksanaannya,” tandas Usman.
Catatan KontraS
Sementara itu, Koordinator KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) Azharul Husna, mengatakan, belum ada keputusan tentang lokasi yang bisa digunakan untuk mengakomodasi ratusan pengungsi ini.
“Pemerintah pusat sudah mengatakan pemda bisa menunjuk tempat. Namun sampai hari ini belum ada. Kami meminta kepada pemerintah di Aceh untuk menunjuk akomodasi untuk pengungsi Rohingya dengan segera,” kata Husna, Selasa (21/11).
Husna menduga ada upaya pemerintah untuk membiarkan ratusan pengungsi Rohingya kembali ke laut, setelah sebelumnya mereka ingin berlabuh di Bireuen.
“Jika hal ini terjadi, tentu menjadi preseden buruk terhadap kemanusiaan,” ujarnya.
Dalam catatan KontraS Aceh saat ini, jumlah pengungsi Rohingya di daerah berjuluk Serambi Makkah ini mencapai 1.041 orang. Terjadi peningkatan berarti dalam gelombang kedatangan pengungsi Rohingya pada medio November 2023.
Pada 14 hingga 16 November 2023, tercatat ada tiga gelombang kedatangan ratusan pengungsi Rohingya yang tiba di perairan Aceh tepatnya di kabupaten Pidie, Aceh Utara, dan Bireuen. Namun rombongan ratusan pengungsi Rohingya yang tiba di Bireuen ditolak untuk berlabuh. Belum ditemukan jalan keluar untuk permasalahan penolakan ini.
Pada 19 November 2023, lagi-lagi Aceh kedatangan ratusan pengungsi Rohingya di tiga lokasi, yaitu Pidie, Aceh Timur, dan Bireuen. Khusus untuk kapal yang hendak merapat di Bireuen, diduga merupakan kapal pengungsi yang sebelumnya telah ditolak untuk berlabuh. Selama ditolak berlabuh mereka terus berada di perairan Bireuen.
“Dalam hitungan kami, sudah lebih dari 30 kali pendaratan pengungsi Rohingya di Aceh. Diharapkan ada rujukan penanganan pengungsi Rohingya yang cukup komprehensif,” tambah Husna.
Advertisement
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo Respons Isu Penolakan Pengungsi Rohingya oleh Warga Aceh
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo merespons penolakan sebagian warga Aceh terhadap ratusan pengungsi Rohingya yang masuk ke Indonesia.
Dalam pernyataannya, Bambang Soesatyo meminta pemerintah bersama pemerintah daerah mendalami faktor sosiologis masyarakat Aceh yang menolak kedatangan pengungsi Rohingya di Aceh.
Serta mencarikan lokasi yang baik bagi pengungsi, dan melakukan dialog dengan pengungsi dan menjelaskan karakter masyarakat Aceh dan kebijakan lokal yang harus dipahami pengungsi.
"Meminta pemerintah menjelaskan kepada masyarakat bahwa Indonesia mempunyai kewajiban membantu terhadap pengungsi yang masuk ke Indonesia, sebagaimana diatur dalam ketentuan hukum internasional yang menyebutkan mengenai prinsip non-refoulement, yang bermakna seseorang termasuk pengungsi tidak boleh dikembalikan atau ditolak di negara tempat pengungsi mencari perlindungan, dan diatur juga dalam Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri," kata Bambang Soesatyo dalam rilis yang diterima Liputan6.com, Senin (20/11/2023).
"Meminta pemerintah menyikapi permasalahan ini dengan mengedepankan sisi kemanusiaan, dikarenakan sebenarnya Indonesia tidak memiliki kewajiban dan kapasitas untuk menampung pengungsi maupun memberikan solusi permanen bagi pengungsi Rohingya."
"Oleh sebab itu, MPR RI mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa/PBB untuk turut menyelesaikan permasalahan Rohingya dari hulu ke hilir, mengingat masuknya pengungsi Rohingya ke Indonesia telah terjadi berkali-kali akibat permasalahan di Myanmar terhadap Rohingya yang masih belum kunjung usai."
Bambang Soesatyo juga meminta pemerintah mengambil sikap tegas dalam mengevaluasi permasalahan berulangnya pengungsi Rohingya ke Indonesia, dan memperkuat kembali mekanisme penanganan dan perlindungan terhadap kasus masuknya pengungsi Rohingya ke Indonesia.
Ada Apa di Aceh?
Laporan sebelumnya:
Setelah aksi patroli oleh TNI Angkatan Laut untuk mencegah kapal pengangkut imigran Rohingya masuk ke Aceh digelar satu bulan yang lalu, kali ini dikabarkan terjadi penolakan terhadap imigran Rohingya yang mendarat di Bireuen.
Kapal pengangkut puluhan imigran Rohingya sempat berlabuh di Pantai Kuala Pawoen, Desa Pante Sukon, Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen, Kamis (16/11/2023). Kedatangan imigran tersebut memasuki gelombang ketiga dalam sepekan ini.
Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna, mengatakan gelombang kedatangan pengungsi Rohingya terjadi disebabkan karena banyak di antara etnis berstatus "stateless" atau tanpa kewarganegaraan itu yang ingin mencari hidup lebih baik.
Sebuah artikel berjudul Dilema Mengelola “Manusia Perahu” Rohingya di situs Fakultas Hukum UI menjelaskan bahwa etnis Rohingya yang terusir dari Myanmar terpaksa menumpang hidup di Bangladesh.
Sebelumnya, situs ensiklopedia Britannica menjelaskan bahwa kata Rohingya adalah istilah yang merujuk pada komunitas muslim yang sebagian besar menempati wilayah bagian Rakhine (Arakan) di Myanmar dan dinyatakan sebagai kelompok minoritas yang paling teraniaya di dunia.
Etnis ini secara berkala terpaksa meninggalkan tempat tinggal mereka di Myanmar sejak seperempat abad terakhir. Mereka tersingkirkan sejak menjadi target kekerasan etnis.
Gelombang perpindahan besar-besaran terjadi secara signifikan pada tahun 1978, 1991–92, 2012, 2015, 2016, dan 2017, berdasarkan catatan Britannica. Hingga kini, perahu-perahu pengangkut Rohingya berlayar dari Bangladesh mengarungi lautan, melaga nyawa dengan tujuan negeri asing, menjadi "manusia perahu".
Dikabarkan banyak Rohingya yang meninggal di tengah lautan selama perjalanan berbulan-bulan. Pertaruhan sebagai manusia perahu di lautan terpaksa dilakukan karena Bangladesh tak memberi harapan hidup.
Kemiskinan dan membeludaknya populasi di Bangladesh menyebabkan pengungsi Rohingya tidak bisa diterima sebagai tamu terhormat di kamp-kamp pengungsian di sana, demikian tertulis dalam artikel Dilema Mengelola "Manusia Perahu" Rohingya terbitan situs Fakultas Hukum UI.
Kapal-kapal pengangkut pun melaju perlahan di atas perairan Laut Andaman dan Selat Malaka, tempat tiga negara berkumpul, yakni Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Beberapa tahun ke belakang, Aceh menjadi daerah langganan tempat mana kapal-kapal imigran itu berlabuh.
Seringnya kapal-kapal pengangkut pengungsi ini berlabuh ke perairan Aceh memunculkan dugaan adanya jaringan penyelundupan manusia yang melibatkan aktor di tingkat internasional maupun lokal. Selain itu, para pengungsi banyak yang tidak bertahan lama di penampungan.
Aceh sendiri digadang-gadang sebagai daerah dengan "tangan terbuka" dalam penanganan pengungsi Rohingya. Buku berjudul Aceh Muliakan Rohingya yang diluncurkan Juni 2022 lalu bahkan merekam keramahtamahan orang Aceh terhadap saudara seiman.
Sebuah media pelat merah pada 2009 silam menayangkan berita dengan judul Pengungsi Rohingya Bagaikan di Kampung Sendiri di Aceh. Januari tahun itu jadi titik dari rentetan kedatangan manusia perahu ke Aceh bertahun-tahun kemudian.
Namun, semakin ke sini Aceh diwarnai banyak jejak penolakan. Melihat ini, negara diminta segera meratifikasi Konvensi 1951 tentang Pengungsi demi memperjelas cara penanganan imigran Rohingya yang terus berdatangan ke Serambi Makkah.
"Bagi otoritas di Provinsi Aceh, kita mendorong agar Aceh sebagai daerah keistimewaan bisa mengambil langkah maju dengan menerbitkan qanun terkait penanganan pengungsi," kata Azharul.
Advertisement