Sukses

Peringatan Pejabat PBB ke Israel: Serangan ke Gaza Selatan Dapat Mendorong 1 Juta Pengungsi Menerobos Perbatasan ke Mesir

Kepala Badan Bantuan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) Philippe Lazzarini menggarisbawahi bahwa apa yang terjadi di Gaza adalah tragedi kemanusiaan yang sangat mengerikan.

Liputan6.com, Gaza - Meluasnya serangan Israel ke Gaza selatan yang padat penduduk dapat menyebabkan 1 juta pengungsi, termasuk 900.000 yang berlindung di fasilitas-fasilitas PBB, mencoba menerobos perbatasan ke Mesir. Peringatan tersebut disampaikan oleh Kepala Badan Bantuan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) Philippe Lazzarini.

Untuk itu, dia mendesak Israel memikirkan konsekuensi serangan ke Gaza selatan.

"Kita telah mengalami tragedi kemanusiaan yang sangat mengerikan," kata Lazzarini seperti dikutip The Guardian, Sabtu (2/12/2023), seraya menambahkan bahwa potensi serangan lanjutan membuatnya sangat cemas.

"Kita berpacu dengan waktu dan penyakit sudah menjadi ancaman yang sama besarnya dengan pengeboman ... Dampak gabungan dari pengeboman dan pengepungan telah mendorong orang-orang ke selatan, jika terjadi pertempuran, kemungkinan besar mereka ingin melarikan diri lebih jauh ke selatan dan melampaui perbatasan."

Lazzarini merupakan salah satu pejabat PBB paling vokal dalam beberapa pekan terakhir, di mana dia mendesak Israel mematuhi aturan hukum dan proporsionalitas.

Dia prihatin dengan dampak pertempuran di selatan Gaza, wilayah yang dia gambarkan mengalami "kelebihan beban" setelah Israel mendesak warga sipil di utara Gaza pindah ke selatan demi keselamatan mereka sendiri.

"Jalur Gaza sudah dikenal sebagai salah satu tempat paling padat di dunia. Dan sekarang, mayoritas penduduknya pindah ke selatan," ujar Lazzarini.

"Jadi, terdapat konsentrasi populasi yang hampir seluruhnya di separuh wilayah – sebuah wilayah yang tidak dapat mendukung situasi seperti itu karena kekurangan air ... Ingat, orang-orang dari Kota Gaza dan utara Gaza telah diminta untuk pergi ke selatan karena mereka diberitahu bahwa wilayah selatan akan lebih aman. Namun, sebagian besar orang justru terbunuh di wilayah selatan.”

Lazzarini juga mengatakan bahwa konsep zona aman sepihak di selatan bagi warga sipil, jika tidak disetujui oleh Hamas, akan penuh risiko.

"Kami menampung 1 juta orang, 1 juta orang berada di instalasi PBB, termasuk 100.000 di utara Gaza. Mereka datang untuk mencari perlindungan ... Namun, hampir 100 instalasi (PBB) terdampak baik secara langsung maupun tidak langsung. Dan hal ini telah menyebabkan kematian, pembunuhan lebih dari 200 orang, dan lebih dari 900 orang terluka," tutur Lazzarini.

"Sekarang, kami diberitahu atau kami mendengar, bahwa masyarakat harus bergerak lebih jauh ke barat daya jika serangan terjadi di Khan Younis ... Namun, Anda tidak dapat menyatakan suatu wilayah aman secara sepihak di zona perang."

Ketika ditanya apakah seruannya untuk memperpanjang gencatan senjata akan membuat Hamas tetap bercokol dan keamanan Israel terancam, seperti yang dianggap Israel sebagai konsekuensinya, dia menjawab, "Gaza bukanlah Hamas. Ada organisasi bernama Hamas dan ada populasi yang beragam, dinamis, tidak bisa disamakan dengan Hamas."

"Ini adalah populasi yang hidup di bawah kekuasaan Hamas selama 17 tahun terakhir. Apakah ini berarti seluruh penduduk, yang separuhnya adalah anak-anak, separuhnya lahir setelah Hamas berkuasa – harus menanggung akibatnya?"

"Apa yang kami sampaikan adalah bahwa tujuan (melenyapkan Hamas) ini tidak boleh mengorbankan penduduk sipil. Itulah alasan mengapa ada aturan perang. Alasan mengapa ada hukum humaniter internasional."

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Tragedi Kemanusiaan Mengerikan

Lazzarini mendesak pula Israel agar memikirkan situasi dunia.

"Semakin lama perang ini berlangsung dan semakin banyak orang yang meninggal maka akan timbul perasaan yang sangat kuat di kawasan bahwa hukum humaniter internasional tidak berlaku sama untuk semua orang, semakin terpolarisasi kawasan ini, semakin jauh kita dari prospek perdamaian di masa depan," tegas Lazzarini.

Israel, tegasnya, harus mematuhi aturan perang.

"Satu-satunya pengamatan saya di sini adalah bahwa melakukan pengepungan terhadap seluruh penduduk menurut saya merupakan hukuman kolektif," terang Lazzarini.

"Konsep yang paling sulit dalam hukum humaniter internasional adalah konsep proporsionalitas, namun kita harus berhati-hati agar tidak menggunakan gagasan ini untuk membenarkan hal-hal yang tidak dapat dibenarkan."

Dia melanjutkan, "Pembunuhan lebih dari 15.000 orang dalam 40 hari dan di antara mereka, banyak sekali perempuan dan anak-anak ... Saya tidak melihat bagaimana hal ini dapat dibenarkan melalui konsep proporsionalitas dan pembelaan diri. Itu adalah pandangan yang sangat pribadi. Bagaimanapun, ini adalah angka dan tragedi kemanusiaan yang mengerikan."

3 dari 3 halaman

Gencatan Senjata Berakhir, Serangan Israel Berlanjut

Pernyataan Lazzarini muncul sebelum gencatan senjata berakhir pada Jumat (1/12) pukul 07.00 waktu setempat dan segera setelahnya Israel melancarkan serangan terbaru ke Jalur Gaza. Laporan Al Jazeera menyebutkan bahwa serangan Israel menargetkan seluruh Gaza - utara, tengah, maupun selatan.

Otoritas kesehatan Gaza menyatakan bahwa korban tewas dalam serangan terbaru Israel mencapai lebih dari 100 orang, sementara ratusan lainnya terluka.

Militer Israel mengungkapkan mereka membidik sedikitnya 200 target pada Jumat, termasuk sejumlah kota di selatan Gaza, seperti Khan Younis dan Rafah.

Kembalinya pertempuran otomatis membuat pasokan bantuan terhenti. Hal ini dikonfirmasi oleh juru bicara otoritas perbatasan Rafah. Padahal, selama gencatan senjata tujuh hari terakhir, bantuan yang dapat melintasi penyeberangan Rafah telah meningkat, sekalipun masih jauh dari yang dibutuhkan.

Rafah telah menjadi satu-satunya pintu masuk bantuan kemanusiaan yang ditujukan ke Gaza dan Lazzarini memohon agar Israel membuka lebih banyak penyeberangan.

Lazzarini membagi kisah pilu dari pertemuannya dengan seorang pria Palestina di Gaza pekan lalu.

"Saya berbicara dengan seorang ayah yang tiba-tiba menangis ketika dia mulai menggambarkan kondisi kehidupan dan perasaannya. Keluarganya tinggal di ruangan seluas empat meter persegi, tidur di lantai beton. Mereka tidak mempunyai kasur, tidak mempunyai selimut, mereka berjuang untuk mendapatkan satu kali makan sehari yang utamanya hanya makanan kaleng atau sepotong roti. Mereka mengantre untuk mendapatkan air. Mereka mengantre berjam-jam untuk pergi ke toilet," ujar Lazzarini.

"Dia mengatakan kepada saya, 'Saya merasa terhina. Saya merasa dilucuti, martabat kami dilucuti, kami merasa hilang arah, kami merasa tidak berguna, kami merasa hancur'. Dan kisahnya adalah kisah tentang hampir semua orang yang tinggal di Gaza."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.