Liputan6.com, Brasilia - Brasil mengerahkan pasukan di sepanjang perbatasannya dengan Venezuela setelah negara tetangganya itu mengumumkan rencana untuk memasukkan wilayah yang dikuasai Guyana sebagai teritorialnya.
Essequibo yang kaya minyak telah menjadi sengketa sejak Abad ke-19 ketika Guyana masih menjadi koloni Inggris. Venezuela memperbarui klaim lahannya setelah cadangan minyak dan gas lepas pantai ditemukan beberapa tahun lalu.
Baca Juga
Perselisihan berkepanjangan mengenai wilayah Essequibo, yang sedang diadili oleh Mahkamah Internasional (ICJ), meningkat pada pada hari Minggu (3/12/2023) ketika hasil referendum di Venezuela menolak yurisdiksi ICJ dan mendukung pembentukan negara Venezuela yang baru.
Advertisement
Lebih dari 95 persen pemilih disebutkan mendukung klaim pemerintah atas Essequibo.
Pemimpin Venezuela Nicolas Maduro telah meminta perusahaan minyak negara untuk mengeluarkan izin ekstraksi di sana dan mengusulkan agar Majelis Nasional meloloskan rancangan undang-undang untuk menjadikan wilayah tersebut sebagai bagian dari Venezuela.
Langkah-langkah tersebut menimbulkan kekhawatiran di seluruh kawasan. Sementara Guyana menempatkan pasukannya dalam siaga tinggi, tentara Brasil mengatakan bahwa mereka memindahkan lebih banyak tentara ke kota perbatasan Boa Vista, ibu kota negara bagian Roraima, serta mendatangkan lebih banyak kendaraan bersenjata.
Serangan militer apa pun yang dilakukan Venezuela akan sangat menantang secara logistik, tentara mereka harus melewati wilayah Brasil untuk memasuki Essequibo karena medan yang sulit di tempat lain.
Menurut kantor berita AFP, tentara Brasil mengatakan pihaknya memperkuat kehadirannya di wilayah tersebut sebagai bagian dari upaya untuk menjamin wilayah tersebut tidak dapat diganggu gugat.
Sebuah helikopter tentara Guyana dengan tujuh orang di dalamnya dilaporkan hilang di dekat perbatasan Venezuela pada Rabu (6/12). Kepala Staf Angkatan Pertahanan Guyana Omar Khan mengatakan "tidak ada informasi yang menunjukkan Venezuela terlibat".
Presiden Brasil: Kami Tidak Menginginkan Perang
Guyana mempertanyakan keabsahan referendum Venezuela, menempatkan angkatan bersenjatanya dalam siaga tinggi dan mengatakan Presiden Maduro telah mengabaikan perintah ICJ untuk tidak mengambil tindakan mengubah status quo di Essequibo.
Komentar Maduro tentang izin eksplorasi minyak di Essequibo memicu kemarahan khusus dari Presiden Guyana Irfaan Ali, yang berusaha meyakinkan investor seperti Exxon yang memiliki proyek besar di lepas pantai Guyana.
Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva mengatakan dia mengikuti perkembangan tersebut dengan kekhawatiran yang semakin meningkat dan menyarankan agar badan-badan multilateral berkontribusi pada solusi damai dan agar Brasil dapat menjadi tuan rumah perundingan.
"Kami tidak menginginkan dan tidak membutuhkan perang di Amerika Selatan," kata Lula, seperti dikutip dari The Guardian.
Menurut sumber senior militer, Brasil telah mendeteksi penumpukan angkatan bersenjata Venezuela di dekat perbatasan Guyana.
Advertisement
Respons AS dan Inggris
Amerika Serikat (AS) juga turun tangan terkait isu Essequibo dengan mengatakan akan melakukan operasi penerbangan di Guyana sebagai kelanjutan dari keterlibatan rutinnya.
"Komando Selatan AS yang menyediakan kerja sama keamanan di Amerika Latin, akan melakukan operasi penerbangan dengan militer Guyana di Guyana pada hari Kamis," demikian pengumuman Kedutaan AS di Georgetown.
"Latihan ini merupakan kelanjutan dari keterlibatan dan operasi rutin untuk meningkatkan kemitraan keamanan antara AS dan Guyana, serta untuk memperkuat kerja sama regional."
Kementerian Luar Negeri AS menyatakan bahwa Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken telah berbicara dengan Presiden Ali pada Rabu (6/12) malam dan menegaskan kembali dukungan AS yang teguh terhadap kedaulatan Guyana.
Para analis dan sumber di Caracas menilai bahwa referendum yang digelar di Venezuela merupakan upaya Maduro untuk menunjukkan kekuatan dan mengukur dukungan terhadap pemerintahnya menjelang pemilu 2024, bukannya mewakili kemungkinan nyata tindakan militer.
Pemerintahan Maduro pada Rabu dilaporkan menangkap tokoh oposisi Roberto Abdul atas tuduhan makar terkait dengan referendum dan mengatakan surat perintah penangkapan juga dikeluarkan untuk tiga anggota staf kampanye calon presiden dari oposisi Maria Corina Machado.
Seorang juru bicara Kementerian Luar Negeri AS mengatakan pihaknya mengetahui perintah penangkapan tersebut dan memantau situasi dengan cermat.
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Inggris menuturkan di media sosial bahwa langkah-langkah Venezuela mengkhawatirkan, tidak dapat dibenarkan, dan harus dihentikan.