Sukses

Masjid Tertua di Jalur Gaza Rusak Berat Akibat Serangan Israel

Hamas mengecam Israel karena dituduh menyerang situs-situs bersejarah.

Liputan6.com, Gaza - Masjid tertua di Jalur Gaza rusak berat akibat serangan Israel. Masjid itu bernama Masjid Agung Omari yang berdiri pada abad ke-7.

Dilaporkan BBC, Minggu (10/12/2023), nama masjid itu terinspirasi dari Umar bin Khattab, khalifah kedua dalam sejarah Islam.

Bagian yang utuh di masjid itu hanya minaret (menara) saja. Masjid yang berlokasi di kota tua Gaza ini sebelumnya juga pernah hancur karena konflik dan gempa, namun selalu kembali dibangun.

Pejabat Hamas menyebut serangan Israel itu sebagai "kejahatan keji" dan "barbar". Pihak militer Israel belum mau berkomentar.

Kementerian prasejarah Hamas menuduh Israel telah mengebom situs-situs sejarah dan arkeologis. Hamas lantas meminta UNESCO untuk membantu melindungi situs-situs tersebut.

Di lain pihak, Israel kerap menuduh Hamas menggunakan masjid, sekolah, dan rumah sakit sebagai lokasi militer. 

Sejak perang di Jalur Gaza dimulai pada Oktober lalu, lebih dari 17 ribu warga di Gaza tewas akibat serangan Israel. 

Hamas diketahui menculik sejumlah warga dari Israel pada serangan 7 Oktober 2023. Sekjen PBB Antonio Guterres juga kembali lagi memperingatkan Israel bahwa tindakan negatif Hamas bukan berarti membuat Israel boleh melanggar hukum. 

"Tembakan roket membabi-buta oleh Hamas ke Israel & penggunaan warga sipil sebagai perisai manusia adalah hal berlawanan dari hukum perang, tetapi itu tidak mengizinkan Israel melakukan pelanggarannya. Hukum kemanusiaan internasional tidak bisa diterapkan secara selektif. Ia mengikat secara setara & tidak bergantung kepada saling membalas," ujar Antonio Guterres via situs Twitter.

 

Baca juga: Kasus korupsi PM Israel Benjamin Netanyahu

2 dari 4 halaman

Pejabat PBB Sebut Tak Ada Tempat Aman di Gaza

Militer Israel menembak dan membunuh enam warga Palestina pada Jumat (8/12/2023) di sebuah kamp pengungsi, dekat Kota Tubas di Tepi Barat, ketika perang Israel Vs Hamas di Jalur Gaza selatan memasuki bulan ketiga. Demikian seperti dikutip VOA Indonesia, Sabtu (9/12). 

Sebelumnya, Israel menyerang militan Hamas di kota-kota besar di Jalur Gaza pada Kamis (7/12), menyebabkan 350 orang tewas dan ribuan warga sipil Palestina terpaksa mengungsi. 

Banyak pengungsi Gaza berdesakan di Rafah, di perbatasan selatan dengan Mesir, untuk mengamankan diri, sesuai instruksi militer Israel. Namun kementerian kesehatan yang dikuasai Hamas melaporkan sedikitnya 37 kematian dalam serangan udara Israel semalam di kawasan itu.

Militer Israel pada Kamis menuduh militan menembakkan roket dari daerah dekat Rafah, dekat zona kemanusiaan.

Tak Ada Tempat Aman di Gaza

Para pejabat PBB mengatakan tidak ada tempat yang aman di Gaza. Lebih dari 85 persen populasi di wilayah yang berpenduduk lebih dari 2 juta orang itu terpaksa mengungsi, dan terkadang harus melakukannya berulang kali.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres memanfaatkan kewenangan yang jarang digunakannya untuk memperingatkan Dewan Keamanan mengenai "bencana kemanusiaan" yang akan datang di wilayah sempit di sepanjang Laut Tengah itu dan mendesak para anggotanya untuk menuntut gencatan senjata.

"Penting bagi Israel untuk melindungi warga sipil," kata Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken pada konferensi pers hari Kamis di Washington setelah pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Inggris David Cameron.

"Israel mempunyai kewajiban untuk melakukan segala.kemungkinan untuk mengutamakan perlindungan warga sipil dan memaksimalkan bantuan kemanusiaan," kata Blinken

3 dari 4 halaman

WHO: Air, Makanan, dan Apa pun yang Diperlukan Warga Gaza untuk Hidup Terputus

Sudah dua bulan berlalu sejak serangan terhadap Israel oleh kelompok militan Palestina Hamas 7 Oktober 2023, menewaskan lebih dari 1.200 warga Israel dan warga negara asing -- sebagian besar warga sipil, di antaranya ratusan anak muda yang dibantai saat menghadiri festival musik.

Sejak itu, lebih dari 240 sandera diculik dan dibawa ke Gaza, di mana mereka dilaporkan menderita dalam kondisi yang sangat buruk.

"Namun sudah hampir dua bulan sejak dimulainya kampanye Israel, tidak hanya untuk membela diri melawan Hamas dan kelompok bersenjata, tetapi juga (serangan) terhadap seluruh penduduk Gaza,” kata Christian Lindmeier, juru bicara Organisasi Kesehatan Dunia WHO, dalam pernyataan yang sangat blak-blakan seperti dikutip dari VOA Indonesia, Sabtu (9/12).

Berbicara pada hari Jumat (8/12) di Jenewa, Lindmeier menuduh Israel melakukan "kampanye terhadap warga sipil yang tidak bersalah – perempuan, anak-anak dan laki-laki yang telah menjadi sasaran sejak dua bulan terakhir."

"Hal ini memutus jalur Gaza dari air, makanan, dan apa pun yang diperlukan (warga Gaza) untuk hidup," katanya, seraya mencatat bahwa kondisi jutaan orang yang terpaksa mengungsi ke wilayah yang semakin kecil dan penuh sesak di wilayah selatan, di tempat yang dulunya merupakan wilayah yang sangat padat penduduknya yang disebut zona aman, menjadi "semakin hari semakin mengerikan".

Ketika kampanye pengeboman Israel terhadap Hamas di Gaza memakan banyak korban jiwa dan semakin langkanya barang-barang kebutuhan pokok untuk bertahan hidup, tuntutan internasional untuk menghentikan pertempuran di wilayah Palestina yang terkepung semakin menggema.

4 dari 4 halaman

70 Persen Korban Tewas di Gaza Perempuan dan Anak-Anak

Sejak gencatan senjata sementara berakhir dan Israel melanjutkan kampanye pengeboman pada 1 Desember, badan-badan kemanusiaan PBB melaporkan lebih dari 2.000 warga Palestina telah terbunuh, sehingga jumlah total kematian setidaknya mencapai 17.000 orang.

Mereka melaporkan 70 persen korbannya adalah perempuan dan anak-anak, dan setidaknya 7.200 di antaranya adalah anak-anak.

Mengomentari situasi di Gaza pada hari Kamis, Koordinator Bantuan PBB Martin Griffiths berkata, “Cukup sudah. Pertempuran harus dihentikan."

"Sistem kemanusiaan berada di ambang kehancuran. Kita harus menghindari kehancuran seperti itu dengan cara apa pun," kata Martin Griffiths.

UNRWA, badan bantuan dan kerja PBB untuk pengungsi Palestina, memperingatkan bahwa konflik tersebut merupakan ancaman yang sangat nyata terhadap perdamaian dan keamanan internasional serta kehidupan hampir seluruh penduduk di Gaza.