Sukses

Roket Bertenaga Metana Milik China Bawa Satelit ke Orbit, Masuk Fase Peluncuran Komersial

Sebuah roket yang dikembangkan oleh perusahaan rintisan swasta China, LandSpace Technology, pada Sabtu (9/12) meluncurkan tiga satelit ke orbit.

Liputan6.com, Jakarta - Sebuah roket yang dikembangkan oleh perusahaan rintisan swasta China, LandSpace Technology, pada Sabtu (9/12) meluncurkan tiga satelit ke orbit. Ini menjadi langkah penting dalam menguji kesiapan roket LandScape yang menggunakan metana dan oksigen cair untuk memasuki fase peluncuran komersial.

Keberhasilan tersebut dapat meningkatkan kepercayaan investor terhadap metana sebagai bahan bakar roket potensial. Penggunaan metana dianggap dapat membantu memangkas biaya. Selain itu roket yang terpakaim dapat digunakan kembali dengan cara yang lebih bersih dan efisien.

Beberapa perusahaan rintisan roket swasta China telah menggelar uji coba dan peluncuran komersial, mempersiapkan produk mereka untuk permintaan yang terus meningkat di industri luar angkasa komersial domestik, dikutip dari VOA Indonesia, Senin (11/12/2023).

Persaingan semakin ketat karena adanya ambisi membentuk kelompok satelit yang terorganisasi sebagai alternatif terhadap proyek Starlink milik Elon Musk.

Zhuque-2 Y-3 diluncurkan pada pukul 07.39 waktu setempat dari Pusat Peluncuran Satelit Jiuquan di wilayah Mongolia Dalam China. Zhuque-2 Y-3 menjadi roket uji LandSpace ketiga untuk Zhuque-2, dan yang pertama berhasil membawa satelit.

Upaya kedua, tanpa satelit sungguhan, pada Juli menjadikan LandSpace sebagai perusahaan pertama di dunia yang meluncurkan roket oksigen metana-cair, mengungguli pesaingnya di AS termasuk SpaceX milik Musk dan Blue Origin milik Jeff Bezos.

Kedua peluncuran tersebut menunjukkan Zhuque-2 cukup andal untuk peluncuran komersial, kata LandSpace dalam sebuah pernyataan. 

2 dari 3 halaman

Puing Roket China Jatuh di Samudera Hindia, NASA Beri Komentar

China sempat buat heboh setelah sebuah roket China jatuh ke Bumi, tepatnya di atas Samudra Hindia pada Sabtu (30/7).

Menganggapi ini, NASA mengatakan bahwa Beijing tidak membagikan "informasi lintasan spesifik" yang diperlukan untuk mengetahui di mana kemungkinan puing-puing akan jatuh.

Komando Luar Angkasa Amerika Serikat mengatakan bahwa roket Long March 5B jatuh di Samudra Hindia sekitar pukul 12.45 waktu setempat pada hari Sabtu, demikian dikutip dari laman Channel News Asia.

Insiden ini kemudian merujuk pertanyaan tentang bagaimana "aspek teknis masuk kembali ke bumi seperti dan dampak penyebaran puing-puing."

"Semua negara harus mengikuti praktik terbaik yang telah ada dan melakukan bagian mereka untuk membagikan jenis informasi ini sebelumnya untuk memungkinkan prediksi yang andal tentang potensi risiko dampak puing-puing," kata administrator NASA Bill Nelson.

"Sangat penting untuk mematuhi penggunaan ruang yang bertanggung jawab dan untuk memastikan keselamatan orang-orang di Bumi."

Pengguna media sosial di Malaysia memposting video yang tampak seperti puing-puing roket.

Aerospace Corporation, sebuah pusat penelitian nirlaba yang didanai pemerintah di dekat Los Angeles, mengatakan bahwa insiden itu ceroboh.

Lantaran membiarkan seluruh tahap inti utama roket - yang berbobot 22,5 ton - kembali ke Bumi namun tidak dapat dikendalikan

3 dari 3 halaman

Ukuran Roket Besar, Tak Hancur Saat Lewati Atmosfer

Awal pekan ini, para analis mengatakan bahwa badan roket akan hancur saat jatuh melalui atmosfer tetapi cukup besar sehingga banyak bongkahan kemungkinan akan bertahan saat masuk kembali ke Bumi.

Kedutaan China di Washington tidak berkomentar. China mengatakan awal pekan ini bahwa mereka akan melacak puing-puing itu dengan cermat tetapi mengatakan, insiden ini mampu menimbulkan sedikit risiko bagi siapa pun di lapangan.

Long March 5B diluncurkan pada 24 Juli untuk mengirimkan modul laboratorium ke stasiun ruang angkasa baru China yang sedang dibangun di orbit, menandai penerbangan ketiga roket paling kuat China sejak peluncuran perdananya pada tahun 2020.

Fragmen Long March 5B China lainnya mendarat di Pantai Gading pada tahun 2020, merusak beberapa bangunan di negara Afrika Barat tersebut, meskipun tidak ada korban yang dilaporkan.

Sebaliknya, kata Nelson, AS dan sebagian besar negara penjelajah ruang angkasa lainnya umumnya mengeluarkan biaya tambahan untuk merancang roket mereka sedemikian rupa.