Sukses

Bukan ASEAN, China Sukses Gelar Gencatan Senjata di Myanmar

China berhasil berkontribusi di konflik internal ASEAN.

Liputan6.com, Nay Pyi Taw - Republik Rakyat China (RRC) berhasil menggelar gencatan senjata sementara di Myanmar, meski China bukan anggota ASEAN. Gencatan senjata ini melibatkan junta Myanmar dan kelompok militer di daerah utara. 

Dilansir VOA Indonesia, Sabtu (16/12), pembicaraan yang berlangsung baru-baru ini antara militer Myanmar dan kelompok-kelompok itu, yang difasilitasi oleh China, membuahkan beberapa kesepakatan, “termasuk gencatan senjata sementara dan mempertahankan momentum dialog,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning dalam pernyataan.

Bentrokan terjadi di negara bagian Shan, Myanmar utara, setelah Tentara Arakan (AA), Tentara Aliansi Demokratik Nasional Myanmar (MNDAA) dan Tentara Pembebasan Nasional Ta'ang (TNLA) melancarkan serangan pada akhir Oktober. Kelompok-kelompok itu telah merebut posisi militer dan pusat perbatasan yang penting untuk perdagangan dengan China. Menurut para analis, kondisi tersebut merupakan tantangan militer terbesar bagi junta sejak mereka merebut kekuasaan pada 2021.

Kantor berita AFP telah menghubungi AA dan MNDAA untuk memberi komentar, sementara TNLA tidak dapat segera dihubungi.

Juru bicara junta Myanmar juga telah dihubungi untuk memberi komentar.

Sebelumnya pada Senin (11/12), Beijing mengatakan bahwa perundingan perdamaian telah diadakan dan muncul “hasil positif” tetapi tidak menyebut gencatan senjata.

“Konflik di Myanmar utara jelas sedang mengalami deeskalasi,” kata Mao dalam pernyataannya pada hari Kamis. “Ini tidak hanya melayani kepentingan semua pihak terkait di Myanmar, tetapi juga membantu menjamin perdamaian dan ketenangan di perbatasan China-Myanmar,” ujarnya.

2 dari 2 halaman

Hubungan China dan Junta Militer

Beijing adalah pemasok senjata utama dan sekutu junta, namun hubungan keduanya tegang dalam beberapa bulan ini karena kegagalan junta dalam menindak situs penipuan online di Myanmar yang menurut Beijing menarget warga China.

Para analis mengatakan China menjaga hubungan dengan kelompok etnis bersenjata di Myanmar utara, beberapa di antaranya memiliki hubungan kekerabatan dan budaya yang erat dengan China dan menggunakan mata uang China serta jaringan telepon di wilayah yang mereka kuasai.

Pengunjuk rasa berkumpul dalam demonstrasi yang jarang di Yangon pada bulan lalu untuk menuduh China mendukung aliansi etnis minoritas, yang menurut analis merupakan tindakan yang disetujui otoritas junta.

Beijing dengan tegas menyatakan "ketidakpuasan" atas bentrokan di negara bagian Shan di utara, yang merupakan lokasi jaringan pipa minyak dan gas yang memasok China dan rencana pembangunan jalur kereta api miliaran dolar. Serangan yang dilakukan aliansi kelompok bersenjata etnis minoritas telah membangkitkan semangat penentang junta lainnya.

Bentrokan telah menyebar ke Myanmar timur dan barat dan memaksa lebih dari setengah juta orang mengungsi, menurut PBB.

China mengumumkan pada pertengahan November bahwa mereka telah menerima pengungsi Myanmar dalam jumlah yang tidak ditentukan yang melarikan diri dari pertempuran. Mereka melakukan itu dengan semangat “kemanusiaan dan persahabatan.”

Myanmar adalah rumah bagi lebih dari selusin kelompok etnis minoritas bersenjata. Sebagian dari mereka merebut wilayah di kawasan perbatasan dengan China dan berperang melawan tentara sejak kemerdekaan dari Inggris pada 1948.