Sukses

Israel Akui Salah Sasaran Usai Bunuh 3 Sandera di Gaza

Insiden salah sasaran oleh militer Israel tersebut terjadi di wilayah Shujaiya di Kota Gaza pada Jumat (15/12/2023).

Liputan6.com, Gaza - Juru bicara militer Israel, Laksamana Muda Daniel Hagari, menuturkan pihaknya secara keliru mengidentifikasi tiga sandera warga Israel sebagai ancaman dan menembak mati mereka pada Jumat (15/12/2023). Insiden itu terjadi di wilayah Shujaiya di Kota Gaza.

Ketiga sandera tersebut diidentifikasi sebagai pemuda yang diculik kelompok bersenjata dari komunitas Israel di dekat perbatasan Jalur Gaza. Mereka adalah Yotam Haim (28), Samer Al-Talalka (25), dan Alon Shamriz (26).

Hagari menduga ketiganya telah melarikan diri dari penculiknya atau ditinggalkan.

"Kami masih belum mengetahui keseluruhan detailnya hingga mereka bisa sampai di kawasan ini," kata Hagari seperti dilansir AP, Sabtu (16/12).

Militer Israel menyatakan belasungkawa mendalam dan sedang menyelidiki kasus ini.

Hamas dan militan lainnya menculik lebih dari 240 orang dalam serangan 7 Oktober dan pembebasan para sandera telah mendominasi wacana publik di Israel sejak saat itu. Keluarga korban penyanderaan memimpin kampanye publik yang mendesak agar pemerintah berbuat lebih banyak untuk memulangkan kerabat mereka.

Demonstrasi solidaritas terhadap para sandera terjadi hampir setiap hari di Israel. Pada Jumat malam, ratusan pengunjuk rasa memblokir jalan raya utama Tel Aviv dalam demonstrasi yang menyerukan kembalinya para sandera.

Para pemimpin politik dan militer Israel sering mengatakan bahwa membebaskan semua sandera adalah tujuan utama mereka dalam perang di Jalur Gaza selain menghancurkan Hamas.

Namun, dalam tujuh pekan sejak pasukan darat Israel masuk ke Gaza Utara, mereka belum menyelamatkan satu pun sandera. Hamas membebaskan lebih dari 100 orang dalam pertukaran tahanan Palestina bulan lalu, dan lebih dari 130 orang diyakini masih ditahan.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyebut kematian ketiga sandera sebagai tragedi yang tak tertahankan. Dia berjanji melanjutkan upaya keras untuk memulangkan semua sandera dengan selamat.

2 dari 3 halaman

Jurnalis Kembali Jadi Korban Serangan Israel

Di Gaza Selatan, jaringan televisi Al Jazeera mengatakan serangan Israel pada Jumat di Kota Khan Younis menewaskan juru kamera mereka Samer Abu Daqqa dan melukai kepala korespondennya di Gaza, Wael Dahdouh. Keduanya sedang bertugas melaporkan dari sebuah sekolah yang terkena serangan udara sebelumnya ketika sebuah pesawat tak berawak melancarkan serangan kedua.

Khan Younis telah menjadi sasaran utama serangan darat Israel di selatan.

Berbicara dari ranjang rumah sakit, Dahdouh mengatakan kepada Al Jazeera bahwa dia berhasil berjalan ke ambulans. Namun, Abu Daqqa terbaring berdarah di sekolah dan meninggal beberapa jam kemudian. Ambulans mencoba mencapai sekolah untuk mengevakuasinya, ujar Dahdouh, tetapi harus kembali karena jalan-jalan terhalang oleh puing-puing rumah.

Dahdouh, seorang veteran yang meliput perang Israel-Gaza yang istri dan anak-anaknya terbunuh oleh serangan Israel pada awal perang, terluka oleh pecahan peluru di lengan kanannya.

Menurut Komite Perlindungan Jurnalis, Abu Daqqa adalah jurnalis ke-64 yang terbunuh sejak konflik meletus. Dari angka tersebut, 57 di antaranya adalah jurnalis warga Palestina, empat warga Israel, dan tiga dari Lebanon.

Duta Besar Palestina untuk PBB Riyad Mansour mengatakan pada pertemuan Majelis Umum PBB, "Israel menargetkan mereka yang dapat mendokumentasikan kejahatan (mereka) dan memberi tahu dunia, yaitu para jurnalis."

"Kami berduka atas salah satu jurnalis tersebut, Samer Abu Daqqa, yang terluka dalam serangan pesawat tak berawak Israel dan dibiarkan mati kehabisan darah selama enam jam sementara ambulans dicegah untuk menghubunginya," kata Mansour.

Tentara Israel tidak segera menanggapi permintaan komentar tentang kematian Abu Daqqa.

3 dari 3 halaman

Lebih dari 18.700 Nyawa Warga Palestina di Gaza Direnggut Israel

Serangan Israel telah meratakan sebagian besar wilayah Gaza Utara dan memaksa 80 persen dari 2,3 juta penduduk Gaza meninggalkan rumah mereka. Mereka mengungsi ke tempat-tempat penampungan terutama di wilayah Gaza Selatan di tengah krisis kemanusiaan yang semakin meningkat.

Otoritas Kesehatan Gaza mengumumkan bahwa lebih dari 18.700 warga Palestina tewas akibat serangan Israael. Penghitungan terbaru tidak merinci berapa banyak perempuan dan anak di bawah umur, namun secara konsisten mereka menyumbang sekitar dua pertiga dari korban tewas dalam penghitungan sebelumnya.

Di lain sisi, Hamas terus melanjutkan serangannya. Pada Jumat, mereka menembakkan roket dari Gaza menuju Israel tengah, membunyikan sirene di Yerusalem untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu tetapi tidak menyebabkan korban jiwa. Ketahanan kelompok tersebut menimbulkan pertanyaan apakah Israel dapat mengalahkannya tanpa memusnahkan seluruh wilayahnya.​Israel tetap mendukung perang dan memandangnya sebagai hal yang perlu untuk mencegah terulangnya serangan Hamas, yang menurut mereka menewaskan sekitar 1.200 orang. Adapun 116 tentara Israel tewas dalam serangan darat yang mereka mulai pada 27 Oktober.

Pemerintahan Joe Biden telah menyatakan kegelisahannya atas kegagalan Israel dalam mengurangi korban sipil dan rencana mereka untuk masa depan Gaza, namun Gedung Putih terus memberikan dukungan sepenuh hati melalui pengiriman senjata dan dukungan diplomatik.

Serangan udara dan tembakan tank Israel terus berlanjut pada Jumat, termasuk di Khan Younis dan Rafah, yang merupakan salah satu daerah kecil di Gaza yang padat penduduknya (14/12). Rincian mengenai sebagian besar serangan tersebut tidak dapat dikonfirmasi karena layanan komunikasi di seluruh Gaza terputus sejak Kamis malam akibat pertempuran.

Dalam pertemuan dengan para pemimpin Israel pada Kamis dan Jumat, penasihat keamanan nasional Amerika Serikat (AS) Jake Sullivan membahas jadwal untuk meredakan fase pertempuran sengit dalam perang Hamas Vs Israel.

Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant mengatakan kepada Sullivan bahwa dibutuhkan waktu berbulan-bulan untuk menghancurkan Hamas, namun dia tidak mengatakan apakah perkiraannya mengacu pada fase serangan udara dan pertempuran darat besar-besaran saat ini.

"Tidak ada kontradiksi antara mengatakan pertarungan akan memakan waktu berbulan-bulan dan juga mengatakan bahwa tahapan yang berbeda akan terjadi pada waktu yang berbeda selama bulan-bulan tersebut, termasuk transisi dari operasi berintensitas tinggi ke operasi yang lebih bertarget," tegas Sullivan pada Jumat.

Sullivan juga bertemu dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas untuk membahas masa depan Jalur Gaza pascaperang. Seorang pejabat senior AS mengatakan salah satu gagasan yang muncul adalah mengembalikan pasukan keamanan Palestina yang diusir dari Gaza oleh Hamas dalam pengambilalihan kekuasaan mereka pada tahun 2007.

Peran apa pun yang dimiliki pasukan keamanan Palestina di Gaza dipastikan akan menimbulkan perlawanan keras dari Israel, yang berupaya mempertahankan kehadiran keamanan terbuka di wilayah itu. Netanyahu mengatakan dia tidak akan mengizinkan Otoritas Palestina mengelola Jalur Gaza pascaperang.

AS sendiri menggarisbawahi pada akhirnya ingin melihat Tepi Barat dan Jalur Gaza berada di bawah revitalisasi Otoritas Palestina sebagai cikal bakal negara Palestina – sebuah gagasan yang ditolak mentah-mentah oleh Netanyahu, yang memimpin pemerintahan sayap kanan yang menentang kehadiran negara Palestina.

Menurut pernyataan dari kantor Abbas, dalam pertemuannya dengan Sullivan presiden Palestina itu menyerukan gencatan senjata segera dan peningkatan bantuan ke Jalur Gaza, serta menekankan bahwa Jalur Gaza adalah bagian integral dari negara Palestina. Pernyataan itu tidak menyebutkan pembicaraan mengenai skenario pascaperang.