Sukses

Iran Eksekusi Mati Agen Intelijen Mossad Mata-Mata Israel Pembocor Rahasia Negara

Iran sebelumnya telah mengumumkan penangkapan para tersangka agen yang bekerja untuk negara asing, termasuk Israel, musuh bebuyutannya di kawasan.

Liputan6.com, Teheran - Iran pada Sabtu 16 Desember 2023 mengeksekusi seorang pria yang dijatuhi hukuman mati, setelah dinyatakan bersalah bekerja dengan badan intelijen Israel. Demikian kata  pengadilan setempat mengutip AFP, Minggu (17/12/2023).

"Hukuman mati dijatuhkan (Sabtu) pagi ini terhadap mata-mata rezim Zionis di penjara Zahedan di provinsi tenggara Sistan-Baluchistan," kata situs pengadilan Mizan Online.

Pihak pengadilan tidak mengidentifikasi pria tersebut namun mengatakan bahwa dia telah dihukum karena "kerja sama intelijen dan spionase untuk kepentingan rezim Zionis (Israel) yang bermusuhan".

"Dia juga dinyatakan bersalah karena mengumpulkan dan memberikan informasi rahasia kepada agen intelijen Israel Mossad dengan tujuan mengganggu ketertiban umum", tambah Mizan.

Belum jelas kapan dan di mana pria tersebut ditangkap atau diadili.

Iran sebelumnya telah mengumumkan penangkapan para tersangka agen yang bekerja untuk negara asing, termasuk Israel, musuh bebuyutannya di kawasan.

Pada Desember 2022, republik Islam itu menggantung empat orang yang dihukum karena bekerja sama dengan badan intelijen Israel.

Iran tidak mengakui Israel dan kedua negara telah terlibat dalam perang bayangan selama bertahun-tahun.

Teheran menuduh Israel melakukan gelombang serangan sabotase dan pembunuhan yang menargetkan program nuklirnya.

Sementara pihak Amerika Serikat dan Israel menuduh Iran menggunakan drone dan rudal untuk menyerang pasukan AS dan kapal-kapal yang terkait dengan Israel di Teluk.

Menurut kelompok hak asasi manusia, termasuk Amnesty International, Iran mengeksekusi lebih banyak orang per tahun dibandingkan negara lain kecuali Tiongkok.

Dalam sebuah laporan pada bulan November, kelompok Hak Asasi Manusia Iran yang berbasis di Norwegia mengatakan republik Islam tersebut telah mengeksekusi lebih dari 600 orang sepanjang tahun ini, yang merupakan angka tertinggi dalam delapan tahun terakhir.

Iran umumnya melakukan eksekusi mati dengan cara digantung.​

2 dari 4 halaman

Iran Eksekusi Mati 3 Pria atas Tuduhan Kekerasan Mematikan Selama Protes Anti-Pemerintah

Sebelumnya, Iran pada Jumat (19/5/2023), mengeksekusi mati tiga pria yang dituduh melakukan kekerasan mematikan selama protes anti-pemerintah tahun lalu.

Mizan, situs web kehakiman Iran, mengonfirmasi eksekusi mati atas Majid Kazemi, Saleh Mirhashemi, dan Saeed Yaghoubi tanpa menyebut bagaimana mereka kehilangan nyawa.

Pihak berwenang mengatakan, mereka membunuh seorang petugas polisi dan dua anggota kelompok paramiliter Basij di Kota Isfahan pada November selama protes nasional.

Sementara itu, kelompok pemantau HAM mengklaim bahwa ketiganya menjadi sasaran penyiksaan, dipaksa untuk mengaku di televisi, dan menolak proses hukum.

Protes meletus September lalu pasca kematian Mahsa Amini, yang ditahan polisi moral negara itu karena diduga melanggar aturan berpakaian Islami. Demonstrasi dengan cepat meningkat menjadi seruan untuk menggulingkan teokrasi yang telah memerintah Iran sejak Revolusi Islam 1979.

Demonstrasi sebagian besar telah mereda dalam beberapa bulan terakhir, meskipun masih ada tindakan pembangkangan sporadis, termasuk penolakan semakin banyak perempuan untuk mengenakan jilbab.

Iran telah mengeksekusi mati total tujuh orang sehubungan dengan protes nasional. Kelompok-kelompok pemantau HAM menyatakan bahwa mereka dan sejumlah orang lainnya telah dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan keamanan rahasia negara dan ditolak haknya untuk membela diri.

"Penuntutan mengandalkan 'pengakuan' paksa dan dakwaan itu penuh dengan kejanggalan yang mengungkapkan bahwa ini adalah kasus bermotivasi politik," ungkap direktur eksekutif Pusat HAM di Iran yang berbasis di New York Hadi Ghaemi merespons eksekusi mati terbaru seperti dikutip dari AP, Sabtu (20/5).

Kelompok itu mengklaim bahwa Kazemi telah menelepon seorang kerabat dan mengaku pihak berwenang menyiksanya dengan mencambuk kakinya, menggunakan senjata kejut listrik, dan mengancamnya dengan pelecehan seksual.

Amnesty International yang berbasis di London juga mengkritik eksekusi mati yang dijalankan Iran.

"Cara yang mengejutkan di mana persidangan dan hukuman para pengunjuk rasa ini dilacak dengan cepat melalui sistem peradilan Iran di tengah penggunaan 'pengakuan' yang tercemar oleh penyiksaan, cacat prosedural yang serius, dan kurangnya bukti adalah contoh lain dari ketidakpedulian otoritas Iran atas hak hidup dan peradilan yang adil," kata wakil direktur Amnesty International untuk Timur Tengah dan Afrika Utara Diana Eltahawy.

3 dari 4 halaman

Iran Eksekusi Mati 2 Orang Kasus Penistaan Agama, Gantung Mati Terduga Penghina Islam

Iran juga pernah menggantung mati dua orang pada Senin 8 Mei 2023. Keduanya dijatuhi hukuman mati karena kasus penistaan, menurut kantor berita peradilan Mizan.

Terdakwa eksekusi mati, Yusef Mehrdad dan Sadrullah Fazeli Zare ditangkap pada Mei 2020 dan dijatuhi hukuman mati pada April 2021 karena menjalankan "kelompok dan saluran anti-Islam" secara online," demikian laporan Mizan seperti dikutip dari CNN, Selasa (9/5/2023).

Pihak berwenang menghukum keduanya (kasus penistaan) setelah diketahui sebagai anggota saluran Telegram berjudul "Critique of Superstition and Religion (Kritik Takhayul dan Agama)," menurut Komisi AS untuk Kebebasan Beragama Internasional.

Anggota saluran Telegram itu diduga berbagi opini yang menghina Islam. Seorang di antaranya juga diduga mengatakan bahwa mereka membakar buku-buku agama, klaim Komisi Kebebasan Beragama Internasional AS.

Outlet berita yang dikelola pemerintah Iran, AlAlam mengatakan Mehrdad terekam membakar Al-Quran.

Zare dan Mehrdad kabarnya menolak kunjungan keluarga dan panggilan telepon selama delapan bulan setelah penangkapan mereka. Mehrdad dilaporkan melakukan mogok makan pada Februari 2022 untuk memprotes penolakan pihak berwenang untuk mengizinkannya melakukan panggilan telepon, kata Komisi Kebebasan Beragama Internasional AS.

Pakar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa sebelumnya telah meminta Iran untuk menghentikan penganiayaan terhadap agama minoritas, di bawah apa yang mereka gambarkan sebagai kebijakan untuk menargetkan keyakinan dan praktik keagamaan yang berbeda, termasuk mereka yang pindah keyakinan dari Kristen dan ateis.

"Intoleransi yang direstui negara seperti itu semakin meningkatkan ekstremisme dan kekerasan. Kami menyerukan kepada otoritas Iran untuk mendekriminalisasi penistaan ​​agama dan mengambil langkah-langkah yang berarti untuk memastikan hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan," kata sejumlah pakar dalam sebuah pernyataan yang diterbitkan pada Agustus.

4 dari 4 halaman

Iran Eksekusi Mati Eks Wakil Menteri Pertahanannya yang Berkewarganegaraan Ganda

Iran mengeksekusi warga negara ganda Iran-Inggris Alireza Akbari. Ia dihukum mati karena dituduh menjadi mata-mata untuk Inggris.

BBC pada Sabtu (14/1/2023) melaporkan bahwa keluarga Akbari telah diizinkan melakukan kunjungan terakhir pada Rabu (11/1).

Akbari, yang merupakan mantan wakil menteri pertahanan Iran ditangkap pada 2019. Dia membantah tuduhan bahwa dirinya memata-matai untuk Inggris.

Sementara itu, Inggris sebelumnya telah mendesak Iran untuk menghentikan eksekusi dan segera membebaskannya. Pada Jumat (13/1), Menteri Luar Negeri Inggris James Cleverly memperingatkan bahwa Iran tidak boleh menindaklanjuti ancaman eksekusi yang brutal.

"Ini adalah tindakan bermotivasi politik oleh rezim barbar yang benar-benar mengabaikan kehidupan manusia," cuit Cleverly pada Rabu.

Kantor berita resmi pengadilan Iran, Mizan, melaporkan Akbari telah digantung, tanpa memberikan tanggal pasti eksekusi mati.

Menggemakan suara Inggris, Amerika Serikat (AS) menyerukan agar Iran tidak mengeksekusi Akbari. Diplomat AS Vedant Patel mengatakan eksekusi Akbari tidak masuk akal.

Patel mengatakan pada Jumat bahwa dakwaan terhadap Alireza Akbari dan hukumannya bermotivasi politik.

Pada awal pekan ini, juru bicara Kementerian Luar Negeri Inggris mengatakan kepada BBC bahwa pihaknya mendukung keluarga Akbari dan telah berulang kali mengangkat isu ini ke pihak berwenang Iran.

Kemlu Inggris mengaku telah meminta akses konsuler mendesak, tetapi pemerintah Iran tidak mengakui kewarganegaraan ganda.

Video Terkini