Liputan6.com, Jakarta - Abdulhakim Idris, Direktur Eksekutif Pusat Studi Uighur, mengangkat persoalan mengenai realitas mencekam yang dialami Muslim Uighur di China. Ia menggambarkan betapa rasa ketakutan telah merasuki kehidupan sehari-hari etnis tersebut.
"Orang-orang hidup dalam ketakutan, takut polisi datang menjemput mereka ke kamp konsentrasi yang tersebar di berbagai tempat, bahkan di rumah mereka, membuat situasi semakin mencekam," jelas Abdulhakim dalam Konferensi Pers dan Dialog tentang Penderitaan dan Perkembangan Terkini Uighur pada Selasa (19/12/2023) di Hotel Marrakesh Inn Jakarta.
Baca Juga
Abdulhakim bercerita bahwa tindakan represif tak hanya terjadi di jalanan, tetapi juga merambah hingga ke lingkungan rumah.
Advertisement
"Pemerintah komunis memanipulasi laporan, menambahkan kesulitan pada situasi yang sudah buruk. Lebih dari 1.600 masjid di China bagian dalam hancur akibat tindakan pemerintah, menyisakan kerusakan besar," ungkap Abdulhakim.
Ia juga bercerita bahwa tindakan kekerasan dan pengawasan yang sangat ketat dilakukan pemerintah dengan memantau aktivitas dan komunikasi warga melalui aplikasi di telepon mereka. Ribuan orang terpingkirkan, tidak memiliki kemampuan untuk mempertahankan hak mereka atau berkomunikasi dengan keluarga mereka, tanpa tahu kabar atau keadaan orang-orang yang mereka cintai.
Selain itu, Abdulhakim juga berbicara tentang tragedi pribadinya yang mencerminkan penderitaan massal yang dialami oleh etnis Uighur di China.
Abdulhakim bercerita bahwa sejak tahun 2017, ia kehilangan kontak dengan keluarganya. Kabar terakhir yang ia terima mengindikasikan tragedi besar yang menimpa keluarganya, yaitu saudara perempuannya ditahan di kamp konsentrasi, saudara laki-lakinya dipenjara, dan orang tua mereka menghilang.
"Terakhir kali saya berbicara dengan mereka pada tahun 2017, ayah saya meminta saya untuk tidak menghubunginya lagi. Saya tidak tahu apa yang terjadi pada saat itu, mungkin hal buruk terjadi, seperti penangkapan oleh pihak otoritas China yang membuat mereka hilang kontak," jelas Abdulhakim.
Cerminan Pahit Tindakan Pemerintah China terhadap Muslim Uighur
Menurut Abdulhakim Idris, kisah keluarganya adalah cerminan dari tindakan pemerintah China terhadap komunitas Muslim Uighur.
"Informasi yang saya dapatkan menyebutkan anak-anak dipisahkan dari orang tua mereka dan ditempatkan di sekolah panti asuhan. Banyak penyintas menceritakan kisah tragis, termasuk pelecehan seksual yang mereka alami di kamp konsentrasi," ungkapnya.
Ia juga menyebut bahwa Pemerintah China melakukan program yang memaksa anak-anak untuk diadopsi oleh keluarga Han Cina dan menghapus identitas mereka sendiri.
"Pemerintah China melakukan pemisahan keluarga yang menyakitkan. Anak-anak dipisahkan dari orang tua mereka, ditempatkan di sekolah panti asuhan, dan diarahkan untuk diadopsi oleh keluarga etnis Han China, menghilangkan identitas dan budaya mereka sendiri," ujarnya.
Abdulhakim mengatakan bahwa situasi tersebut terkait dengan tindakan pemerintah China terhadap Muslim Uighur, dengan banyak orang yang dipenjarakan atau dipisahkan dari keluarga mereka. Menurutnya, ini bukan hanya menyangkut pelanggaran HAM.
"Ini bukan hanya pelanggaran hak asasi manusia, tetapi juga penghancuran budaya dan agama kami," tutur Abdulhakim.
Abdulhakim kemudian mengajak komunitas di Indonesia untuk lebih memahami dan peduli terhadap pelanggaran hak asasi manusia terhadap Muslim Uighur di China.
"Saya bersama komunitas di Indonesia berupaya untuk meningkatkan kesadaran akan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di China. Kami ingin memperjuangkan kebebasan dan keadilan, terutama bagi umat Muslim yang mengalami penderitaan yang tidak adil," pungkasnya.
Advertisement
Peran OIC Youth Indonesia dalam Peningkatan Kesadaran terkait Pelanggaran HAM Muslim Uighur di China
Astrid Nadya, yang menjabat sebagai Presiden OIC Youth Indonesia, menggarisbawahi peran penting organisasi independen tersebut dalam memberikan dukungan dan edukasi terkait isu yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi terhadap komunitas Muslim Uighur di China.
Astrid mengemukakan bahwa sesuai dengan Undang-Undang 37 Tahun 1999 tentang urusan luar negeri, diplomasi tidaklah semata-mata menjadi urusan pemerintah atau eksekutif legislatif. Â Diplomasi dapat juga dilakukan oleh pihak swasta seperti perusahaan, sektor swasta, LSM, NGO, bahkan individu sebagai warga negara Indonesia.
OIC Youth Indonesia telah aktif melaksanakan serangkaian seminar dan kegiatan di berbagai kota, menyoroti isu-isu terkait sejarah, budaya Uighur, HAM, dan fenomena Islamophobia.
"Kita telah banyak melihat bahwa isu Uighur juga disuarakan di PBB. Jadi, ini adalah keadaan yang harus lebih banyak dibahas karena kalau kita merujuk pada HAM dan kebebasan agama maupun hak-hak dasar, itu banyak sekali hal-hal yang dilanggar dan ini yang kami bahas di beberapa kegiatan kami," ujar Astrid.
Astrid mengatakan bahwa Indonesia memiliki kebijakan luar negeri bebas aktif yang berlandaskan pada nilai-nilai. Ia menyoroti pentingnya melihat isu-isu tersebut dari perspektif HAM, serta prinsip-prinsip dasar, termasuk hak kedaulatan dan kemungkinan intervensi dari negara lain.
Astrid menekankan bahwa membicarakan isu Uyghur bukanlah tindakan anti suatu negara atau menimbulkan ancaman. Sebaliknya, hal ini merupakan bagian dari tugas mereka untuk terus mengedukasi diri dengan berbagai sudut pandang serta mempertimbangkan apakah itu sesuai dengan prinsip-prinsip HAM.
"Kalau misalkan ada nilai-nilai yang tidak sesuai ataupun hal-hal yang merujuk pada kemungkinan binasanya sebuah bangsa, sebuah etnis itu juga ada mekanisme internasionalnya bahkan di PBB juga ada right to protect. Jadi yang kami lakukan adalah raise awareness dan juga hal yang perlu kita tekankan juga kita tidak perlu takut untuk membahas isu Uyghur, seolah-olah apakah kita anti negara tertentu atau apakah ini tidak bahaya," jelas Astrid.
Astrid juga mengatakan bahwa membahas isu-isu kemanusiaan yang jarang terangkat merupakan tanggung jawab bersama.
"Bukan hal yang tabu untuk membahas soal hal-hal yang merupakan isu keumatan yang jarang dibahas dan justru kalau kita tahu bahwa ada saudara-saudara kita ditindas, didiskriminasi, menjadi korban islamophobia, menjadi korban persekusi, kerja paksa, penahanan secara paksa, sterilisasi secara paksa, dan hal-hal lain itu mempertanyakan dimana sense of humanity kita," tutur Astrid.
Pentingnya Pengetahuan tentang Uighur
Imam Sopyan, seorang peneliti serta dosen aktif yang juga berkecimpung dalam media Islam di Bandung, menyampaikan pengalamannya dalam menyelami isu Uighur sejak 2019. Pada awalnya, dia terkena dampak dari kesaksian seorang survivor kamp konsentrasi yang dia liput saat berkeliling di beberapa kota di Jakarta.
Imam Sopyan secara perlahan mulai mendalami isu ini lebih lanjut sejak 2019, dan terus memperdalam pemahamannya. Hal tersebut memicu minatnya untuk meneliti isu Uyghur dari segi akademik, menjadi salah satu fokus utamanya.
Namun, perhatian Imam Sopyan tidak hanya terfokus pada situasi terkini yang terjadi pada Muslim Uighur. Ia juga menyoroti kelangkaan informasi tentang Uyghur di berbagai media, termasuk dalam buku pelajaran sejarah Islam.
Menurutnya, kehilangan informasi tersebut dapat memicu hilangnya kesadaran tentang sebuah etnis, sebuah aspek yang sangat penting untuk dijaga.
"Jadi yang dihadapi masyarakat Uyghur ini khususnya di Indonesia adalah kelangkaan informasi baik akademik maupun informasi populer di media-media. Saya mengajar mata kuliah di S1 di beberapa jurusan mata kuliah pengantar sejarah Islam itu dari zaman Nabi Muhammad sampai jatuhnya Turki Utsmani, tidak ada satupun buku yang memberikan bab khusus tentang Uighur," jelas Imam.
Ia menegaskan bahwa pentingnya keberadaan pengetahuan tentang Uighur, yang saat ini masih minim dalam kurikulum pendidikan tingkat sarjana. Imam ingin agar pendidikan memberikan perhatian terhadap Uighur, mengingat bahwa dalam sejarah peradaban Islam, seringkali topik Uighur diabaikan meskipun kaitannya dengan bangsa Turki dan Mongol.
Imam mengajak untuk terus memperdalam pengetahuan tentang isu Uighur, terutama di lingkungan pendidikan, sehingga Asia Tengah tidak hanya dikenal karena sejarahnya dengan Mongol dan bangsanya, tetapi juga karena keberadaan masyarakat Uighur.
Ia berharap untuk terus mengisi celah pengetahuan ini dengan diskusi dan pemahaman yang lebih dalam mengenai isu ini.
"Saya mengajak untuk terus melanjutkan proses produksi pengetahuan ini tentang isu ini khususnya di bangku-bangku kuliah di forum-forum santri," pungkasnya.
Advertisement