Sukses

Perang di Jalur Gaza Picu Infeksi Resistansi Obat di Kalangan Tentara Israel

Sejak awal November, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memperingatkan tentang meningkatnya risiko wabah penyakit di Jalur Gaza, seiring dengan disintegrasi layanan kesehatan, sistem air, dan sanitasi.

Liputan6.com, Tel Aviv - Tentara-tentara Israel yang terluka di Jalur Gaza dilaporkan sedang berjuang melawan infeksi yang resistan terhadap obat. Demikian pernyataan dari pejabat kesehatan Israel.

Asosiasi Penyakit Menular (AID) Israel mengatakan bahwa beberapa patogen yang resistan terhadap obat telah ditemukan, terutama pada cedera anggota badan, termasuk strain bakteri Klebsiella dan Escherichia coli yang sangat resistan, dan jamur Aspergillus.

"Di semua rumah sakit dilaporkan bahwa tentara telah kembali dari medan perang dengan infeksi yang resistan," kata Ketua AID Prof Galia Rahav, seperti dilansir Telegraph, Rabu (20/12/2023).

"Perlu dicatat bahwa sebagian besar infeksi yang didiagnosis di antara tentara yang terluka juga ditemukan di Israel dari waktu ke waktu, tetapi ditemukan pada orang yang terpapar bakteri tersebut, dan bukan sebelumnya."

Dia menambahkan, "Kontak dengan tanah dan lumpur di sana menyebabkan paparan terhadap bakteri resistan tersebut dan juga jamur."

Sejak awal November, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memperingatkan tentang meningkatnya risiko wabah penyakit di Jalur Gaza, seiring dengan disintegrasi layanan kesehatan, sistem air, dan sanitasi.

"Mengingat kondisi kehidupan dan kurangnya layanan kesehatan, ada lebih banyak orang yang bisa meninggal karena penyakit dibandingkan pengeboman," ungkap Direktur Jenderal WHO Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus bulan lalu via platform X alias Twitter.

2 dari 3 halaman

Bukan Kali Pertama

Awal bulan ini, terdapat laporan mengenai wabah disentri di kalangan tentara Israel di Jalur Gaza. Meningkatnya penyakit diare dan usus memerlukan 18 evakuasi bagi mereka untuk mendapatkan perawatan medis.

Wabah tersebut diyakini disebabkan oleh patogen menular Shigella, sementara sanitasi yang tidak memadai dan penyimpanan makanan yang buruk, yang diakibatkan serangan Israel diduga sebagai sumber penularan.

Ini bukan pertama kalinya bakteri resisten terbentuk di zona konflik. Infrastruktur layanan kesehatan yang hancur dan penggunaan antibiotik yang tidak terkendali disebut telah mendorong bakteri resistan muncul di medan perang.

Contoh sebelumnya adalah bakteri super Iraqibacter yang mematikan, Acinetobacter Baumannii, yang dibawa ke rumah sakit Amerika Serikat (AS) oleh tentara terluka yang bertugas di Irak dan Afghanistan.

Iraqibacter, yang terkenal sebagai salah satu dari enam patogen paling mematikan yang resistan terhadap obat, menginfeksi luka dan menyebar melalui aliran darah. Hal itu dapat menyebabkan sepsis, kehilangan anggota tubuh, dan bahkan bisa berakibat fatal.

3 dari 3 halaman

Jalur Gaza Tanpa Jaminan Kesehatan

Ada laporan serupa di kalangan warga Palestina, yang kini hidup dalam kondisi yang sangat padat, buruk, dan tidak adanya akses terhadap air bersih atau sanitasi dasar, sehingga memudahkan tempat berkembang biaknya penyakit menular.

Badan Bantuan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) memperkirakan hampir 1,9 juta orang di Jalur Gaza atau hampir 85 persen dari seluruh populasi telah menjadi pengungsi internal sebagai dampak perang Hamas Vs Israel terbaru.

Fakta lain yang tidak kalah pedih adalah setelah lebih dari dua bulan dibombardir, rumah sakit di Jalur Gaza masih mengalami serangan hebat, di mana saat ini hanya 11 dari 36 rumah sakit di sana yang masih berfungsi sebagian.

PBB menyatakan, setidaknya 300 petugas kesehatan tewas di Jalur Gaza akibat serangan Israel. Menurut Medical Aid for Palestines, jumlah tersebut melampaui total kematian petugas kesehatan di seluruh negara yang berkonflik pada tahun berapa pun sejak 2016.