Liputan6.com, Gaza - Para ahli lingkungan memperingatkan bahwa potensi rencana Israel membanjiri jaringan terowongan Hamas dengan air laut – yang belum diumumkan sebagai komitmen resmi oleh Israel – berisiko menyebabkan bencana ekologis yang akan membuat Jalur Gaza tidak memiliki air minum dan menghancurkan pertanian wilayah kantong itu.
Pelapor khusus PBB untuk hak atas air Pedro Arrojo-Agudo membandingkan wacana itu dengan legenda penggaraman oleh Romawi di ladang-ladang Kartago untuk menjadikan wilayah saingan mereka tidak dapat dihuni. Pelapor hak asasi manusia dan lingkungan hidup David Boyd, mengatakan kerusakan satu-satunya pasokan air di Jalur Gaza akan menjadi bencana besar bagi lingkungan dan hak asasi manusia.
Baca Juga
Laporan media, foto, dan citra satelit menunjukkan bahwa Pasukan Pertahanan Israel (IDF) telah memasang pompa di kamp pengungsi al-Shati di garis pantai timur Jalur Gaza, yang dapat mereka gunakan untuk memompa jutaan galon air laut ke dalam terowongan.
Advertisement
Tentara Israel dilaporkan mulai melakukan uji coba pemompaan air laut ke jaringan bawah tanah pekan lalu, dalam upaya mendorong militan Hamas muncul ke permukaan dan menghalangi mereka menggunakan peralatan strategis yang signifikan.
Dampak lingkungannya bisa sangat luas. Menurut studi Akademi Militer Amerika Serikat West Point, terdapat 1.300 terowongan yang ditemukan membentang sepanjang 500 km di Jalur Gaza pada awal perang pada Oktober dan diperkirakan butuh 1,5 juta meter kubik air untuk mengisi seluruhnya.
Direktur Geneva Water Hub dan profesor di Geneva Graduate Institute Mark Zeitoun menuturkan, air laut yang dipompa ke dalam terowongan sepanjang ratusan kilometer yang melintasi tanah berpasir dan berpori di Jalur Gaza pasti akan meresap ke dalam akuifer, yang menjadi andalan 2,3 juta warga di sana untuk memenuhi 85 persen kebutuhan air mereka.
Zeitoun, yang pernah bekerja sebagai insinyur air untuk PBB di wilayah pendudukan Palestina, mengatakan akuifer sudah terkontaminasi parah dari air limbah dan infiltrasi air laut yang disebabkan oleh abstraksi berlebihan selama bertahun-tahun.
"Jika Anda menambahkan lebih banyak air laut secara langsung, melalui pasir ke akuifer, hal ini tidak akan mengubah sumber daya berkualitas tinggi menjadi sumber daya yang rentan, melainkan akan mengubah sumber daya yang rentan menjadi sumber daya yang membawa bencana," tutur Zeitoun, seperti dilansir The Guardian, Minggu (24/12/2023).
Dia menggarisbawahi kontaminasi tersebut akan sedemikian rupa, sehingga metode desalinasi reverse osmosis tingkat lingkungan yang saat ini digunakan oleh warga Jalur Gaza untuk mengolah air mereka tidak lagi dapat dilakukan.
"Ini akan merusak kondisi kehidupan semua orang di Gaza," tegasnya.
"Saya mengatakan kondisi kehidupan karena menurut saya itu adalah salah satu unsur genosida dalam konvensi PBB, penghancuran fisik sebagian atau seluruhnya terhadap kondisi yang diperlukan bagi kehidupan suatu bangsa."
Zeitoun menambahkan, "Membanjiri akuifer air tawar dengan air laut akan melanggar setiap norma yang telah dikembangkan oleh umat manusia, termasuk aspek lingkungan hidup dalam hukum humaniter internasional/aturan perang dan prinsip-prinsip terbaru mengenai perlindungan lingkungan sehubungan dengan konflik bersenjata serta semua kemajuan yang dicapai menuju kriminalisasi kerusakan terhadap lingkungan alam: ekosida."
Bahaya Tambahan
Wim Zwijnenberg, peneliti di LSM Belanda Pax for Peace yang menyelidiki dampak perang terhadap lingkungan, memperingatkan adanya bahaya tambahan.
"Kita tidak tahu apa yang tersimpan di terowongan," ujarnya. "Ada laporan yang beredar, yang tidak diverifikasi, namun dikutip oleh beberapa sumber (bahwa) sekitar 20.000 galon bahan bakar disimpan di terowongan. Jadi, ada semua jenis hidrokarbon yang berpotensi memengaruhi tanah dan masuk ke akuifer dan air tanah."
Zwijnenberg memperingatkan pula bahwa membanjiri terowongan akan menimbulkan risiko bagi integritas jaringan tanah. Jika bangunan-bangunan tersebut runtuh di bawah area yang sudah dibangun, hal ini dapat menyebabkan bangunan-bangunan yang berada di atasnya juga ikut runtuh.
Jika dilaksanakan secara penuh, Kepala Kantor Perubahan Iklim di Otoritas Kualitas Lingkungan Palestina Hadeel Ikhmais menyatakan, rencana IDF membanjiri terowongan akan menjadi langkah terbaru dalam sejarah panjang Israel yang menargetkan pasokan air Palestina. Bahkan, sebelum kerusakan infrastruktur air akibat pengeboman membabi buta Israel sejak 7 Oktober, pasokan air sudah sangat sulit bagi masyarakat Palestina di Jalur Gaza dan Tepi Barat.
Advertisement
Israel Membuat Jalur Gaza Tidak Layak Huni
Di Tepi Barat, warga Palestina tidak punya akses terhadap air permukaan dan harus membeli air dari Israel. Pemukim dan tentara Israel menyerang pasokan air di Tepi Barat sekitar tiga kali sebulan antara Januari 2022 hingga pertengahan 2023.
Di Gaza, akuifer air tanah tidak dapat diisi ulang secara memadai untuk memenuhi permintaan akibat meningkatnya populasi dan dampak iklim termasuk kekeringan dan suhu yang lebih tinggi. Dalam perang Hamas Vs Israel terbaru, pabrik desalinasi, penampungan air, dan infrastruktur pengolahan air menjadi sasaran, sehingga limbah dibuang ke laut.
"Pembuangan air limbah ke laut membuat proses desalinasi menjadi lebih sulit. Dengan menargetkan pasokan air, Israel berusaha membuat Jalur Gaza tidak layak huni bagi warga Palestina," ungkap Ikhmais.
Program Lingkungan PBB menyebutkan telah melihat laporan Israel mulai memompa air ke terowongan di Gaza. Merespons hal itu, juru bicaranya memberikan penilaian serupa mengenai potensi dampaknya.
"Akuifer pesisir, reservoir alami bawah tanah yang membentang dari Pegunungan Karmel di utara hingga Semenanjung Sinai di selatan, dan ekosistem Gaza yang sudah rapuh harus dilindungi agar tidak berdampak pada pertanian, industri dan lingkungan, serta agar masyarakat dapat menggunakan air tanah dengan aman," kata juru bicara tersebut.
"Metode apa pun yang digunakan oleh pihak-pihak yang bertikai selama konflik harus mengambil tindakan pencegahan agar tidak merugikan warga sipil, termasuk berdampak pada akses terhadap sumber air dan makanan."
Pemerintah Israel dan IDF dilaporkan tidak menanggapi permintaan untuk berkomentar.