Liputan6.com, Kairo - Mesir mengumumkan rencana ambisius untuk mengakhiri perang di Jalur Gaza melalui gencatan senjata.
Proposal yang mereka ajukan kepada Israel, Hamas, Amerika Serikat (AS), dan Eropa pada Senin (25/12/2023), akan membuat Israel menarik diri sepenuhnya dari Jalur Gaza, seluruh sandera yang ditawan Hamas dan banyak tahanan Palestina dibebaskan, serta pemerintahan pembentukan pemerintahan teknokratis Palestina yang bersatu.
Baca Juga
Melansir laporan Al Jazeera, Selasa (26/12), Mesir mengembangkan proposal tersebut bersama dengan Qatar. Yang mencakup di dalam proposal adalah pertukaran tawanan dan tahanan, yakni pada tahap pertama, Hamas akan membebaskan seluruh tawanan sipil dengan imbalan pembebasan tahanan Palestina melalui gencatan senjata selama 7-10 hari.
Advertisement
Pada tahap kedua, Hamas akan membebaskan semua tentara perempuan Israel dengan imbalan lebih banyak tahanan Palestina. Proses ini akan berlangsung selama gencatan senjata seminggu.
Fase terakhir, pihak-pihak yang bertikai akan terlibat dalam negosiasi selama satu bulan untuk membahas pembebasan seluruh personel militer yang ditahan oleh Hamas dengan imbalan lebih banyak tahanan Palestina dan penarikan Israel kembali ke perbatasan Gaza.
Menurut data pihak Palestina, hampir 8.000 warga Palestina ditahan oleh Israel atas tuduhan atau hukuman terkait keamanan.
Selama gencatan senjata, ungkap The Times of Israel, Mesir juga akan memimpin pembicaraan untuk menyatukan kembali faksi-faksi Palestina -Hamas dan Otoritas Palestina- yang kemudian akan bersama-sama menunjuk pemerintahan yang terdiri dari para ahli untuk menjalankan pemerintahan di Tepi Barat dan Jalur Gaza menjelang pemilu mendatang.
Diyakini Sulit untuk Diterima
Rencana tersebut diduga masih bersifat awal dan sudah ada kesan bahwa mereka akan kesulitan untuk mendapatkan daya tarik dari kedua belah pihak. Hingga saat ini belum ada konfirmasi apapun dari Israel terkait proposal Mesir dan Qatar.
Namun, di lapangan, Israel terus membombardir Jalur Gaza selama Natal. Serangan mereka menewaskan sedikitnya 100 warga Palestina di Jalur Gaza dalam waktu 12 jam.
Para ahli mencatat bahwa kabinet perang Israel, yang berada di bawah tekanan kuat untuk memulangkan para tawanan yang tersisa, terpecah dan mungkin kesulitan untuk menerima beberapa persyaratan kesepakatan.
"Salah satu tantangannya adalah gencatan senjata versus penghentian/perdamaian," tutur profesor resolusi konflik di Universitas George Mason Mohammed Cherkaoui.
"Palestina membicarakan gencatan senjata penuh. Israel mendengarkannya sekadar gencatan senjata dan jeda."
Cherkaoui menambahkan bahwa Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu juga harus menarik diri dari misinya untuk memberantas Hamas.
"Di satu sisi (Netanyahu) masih melakukan negosiasi secara tidak langsung dengan Hamas, namun di saat yang sama impian utamanya adalah memberantas Hamas," ungkap Cherkaoui.
"Dia hidup di dua dunia yang berbeda dan dia perlu menyatukannya."
Seorang diplomat Barat, yang berbicara tanpa mau disebutkan namanya, mengatakan kepada Associated Press bahwa Netanyahu dan pemerintahannya yang agresif kemungkinan besar tidak akan menerima proposal tersebut secara utuh.
Advertisement
Bantahan Hamas
Reuters yang mengutip sumber keamanan Mesir melaporkan bahwa Hamas dan Jihad Islam Palestina telah menolak proposal tersebut, di mana mereka harus melepaskan kekuasaan di Jalur Gaza.
Namun, kemudian seorang pejabat Hamas membantah menolak kesepakatan Mesir. Anggota biro politik Hamas Izzat al-Risheq menegaskan bahwa pihaknya tidak tahu menahu informasi yang dipublikasikan dalam laporan Reuters.
Pembantaian Israel terhadap warga Palestina di Jalur Gaza telah memasuki pekan ke-12, menewaskan lebih dari 20.400 orang, termasuk di antaranya 8.200 anak-anak.
Serangan udara membabi buta Israel juga membuat 1,9 juta warga Gaza mengungsi, di mana mereka kini hidup dalam kondisi bencana dengan menderita krisis makanan, air, dan obat-obatan.
Sementara itu, diperkirakan masih ada 129 tawanan yang ditawan di Gaza pasca serangan Hamas pada 7 Oktober ke Israel selatan, yang diklaim menewaskan setidaknya 1.200 orang.​