Liputan6.com, Jakarta - Tingginya harga pangan dalam beberapa tahun terakhir mendorong petani di seluruh dunia untuk menanam lebih banyak serelia dan minyak nabati. Namun, konsumen akan mengalami keterbatasan pasokan yang lebih ketat akibat kondisi cuaca El Nino yang parah, pembatasan ekspor, dan peningkatan mandat bahan bakar nabati.
Harga kontrak gandum, jagung, dan kedelai dunia diperkirakan akan mengalami penurunan pada 2023 setelah mengalami kenaikan signifikan karena kemacetan di Laut Hitam dan ketakutan akan resesi global, mereda. Meskipun demikian, harga tetap rentan terhadap guncangan pasokan dan inflasi pangan pada Tahun Baru, kata para analis dan pedagang.
“Gambaran pasokan biji-bijian tentu membaik pada 2023 dengan hasil panen yang lebih besar di beberapa lokasi utama. Namun kita belum benar-benar keluar dari permasalahan,” kata Ole Houe, direktur layanan konsultasi di pialang pertanian IKON Commodities di Sydney, dikutip dari VOA Indonesia, Rabu (26/12/2023).
Advertisement
“Kami mempunyai prakiraan cuaca El Nino hingga setidaknya pada April-Mei, Brazil hampir pasti akan memproduksi lebih sedikit jagung, dan China mengejutkan pasar dengan membeli gandum dan jagung dalam jumlah lebih besar dari pasar internasional.”
El Nino dan Produksi Pangan
Fenomena cuaca El Nino, yang menyebabkan kekeringan di sebagian besar Asia pada tahun ini, diprediksi akan berlanjut pada paruh pertama 2024. Cuaca kering akan mengancam pasokan beras, gandum, minyak kelapa sawit, dan produk pertanian lainnya di beberapa negara penghasil dan pengimpor pertanian terbesar di dunia.
Para pedagang dan pejabat memperkirakan produksi beras Asia pada paruh pertama 2024 akan turun karena kondisi tanam yang kering dan penyusutan volume waduk yang diperkirakan akan memangkas hasil panen.
Pasokan beras dunia semakin ketat tahun ini setelah fenomena cuaca El Nino mengurangi produksi, sehingga mendorong India, yang sejauh ini merupakan eksportir terbesar di dunia, untuk membatasi pengiriman.
Ketika pasar biji-bijian lainnya mengalami penurunan nilai, harga beras melonjak ke level tertinggi dalam 15 tahun terakhir pada 2023, dengan harga di beberapa pusat ekspor Asia meningkat sebesar 40-45 persen.
Hasil panen gandum di India selanjutnya juga menghadapi ancaman karena kekurangan kelembaban. Hal tersebut dapat memaksa India, konsumen gandum terbesar kedua di dunia, untuk melakukan impor pertama kalinya dalam enam tahun karena stok di gudang-gudang milik pemerintah anjlok ke tingkat terendah dalam tujuh tahun.
Petani di Australia
Pada April, para petani di Australia, yang merupakan eksportir gandum terbesar kedua di dunia, dapat menanam tanaman mereka di tanah kering, setelah berbulan-bulan cuaca panas yang ekstrem membatasi hasil panen tahun ini dan mengakhiri tiga rekor panen.
Hal ini kemungkinan akan mendorong para pembeli, termasuk China dan Indonesia, untuk mencari gandum dalam jumlah yang lebih besar dari eksportir lain di Amerika Utara, Eropa, dan kawasan Laut Hitam.
“Situasi pasokan (gandum) pada musim tanam 2023/24 saat ini kemungkinan akan memburuk dibandingkan musim lalu,” tulis Commerzbank dalam sebuah catatan. “Hal ini karena ekspor dari negara-negara produsen penting kemungkinan besar akan lebih rendah secara signifikan.”
Sisi baiknya dari pasokan biji-bijian adalah produksi jagung, gandum, dan kedelai di Amerika Selatan diperkirakan akan meningkat pada 2024, meskipun cuaca yang tidak menentu di Brazil memicu keraguan.
Advertisement
Curah Hujan di Argentina
Di Argentina, curah hujan yang melimpah di lahan pertanian kemungkinan akan meningkatkan produksi kedelai, jagung, dan gandum di salah satu negara pengekspor biji-bijian terbesar di dunia.
Brazil diperkirakan akan mencapai rekor produksi pertanian pada 2024, meskipun perkiraan produksi kedelai dan jagung di negara tersebut telah berkurang dalam beberapa minggu terakhir karena cuaca kering.
Kemungkinan produksi minyak kelapa sawit secara global akan mengalami penurunan pada tahun depan akibat dampak cuaca El Nino, yang berpotensi mendukung penurunan harga minyak goreng sebesar lebih dari 10 persen pada 2023. Penurunan produksi ini terjadi seiring meningkatnya harapan akan permintaan untuk pembuatan biodiesel dan kebutuhan memasak yang menggunakan minyak kelapa sawit.