Liputan6.com, Jakarta - Kelompok Hamas dilaporkan menolak proposal Mesir yang akan membuat pihaknya menyerahkan kendali atas Jalur Gaza dengan imbalan gencatan senjata permanen.
Menurut dua sumber Mesir yang dikutip kantor berita Reuters, rencana tersebut ditolak oleh kelompok tersebut, dikutip dari laman Times of Israel, Rabu (27/12/2023).
Baca Juga
Hamas dan PIJ disebut tidak bersedia membahas konsesi apa pun selain pembebasan sandera.
Advertisement
“Hamas berupaya mengakhiri agresi Israel terhadap rakyat kami, pembantaian dan genosida, dan kami berdiskusi dengan saudara-saudara kami di Mesir tentang cara untuk melakukan hal tersebut,” kata seorang pejabat Hamas yang baru-baru ini mengunjungi Kairo.
“Kami juga mengatakan bahwa bantuan untuk rakyat harus terus berjalan dan harus ditingkatkan serta harus menjangkau seluruh penduduk di utara dan selatan,” kata pejabat tersebut.
“Setelah agresi dihentikan dan bantuan ditingkatkan, kami siap membahas pertukaran tahanan.”
Tahap pertama dari rencana Mesir, yang didukung oleh Qatar adalah penghentian pertempuran selama dua minggu, dapat diperpanjang menjadi tiga atau empat minggu, dengan imbalan pembebasan 40 sandera.
Sebagai imbalannya, Israel akan membebaskan 120 tahanan keamanan Palestina dengan kategori yang sama. Selama masa ini, kekerasan akan berhenti dan bantuan kemanusiaan akan masuk ke Gaza.
Fase kedua adalah “pembicaraan nasional Palestina” yang disponsori Mesir yang bertujuan untuk mengakhiri perpecahan antara faksi-faksi Palestina -- terutama Otoritas Palestina yang didominasi partai Fatah dan Hamas.
Tahap ketiga akan mencakup gencatan senjata komprehensif, pembebasan sandera Israel yang tersisa, termasuk tentara, dengan imbalan sejumlah tahanan keamanan Palestina di penjara-penjara Israel yang berafiliasi dengan Hamas dan Jihad Islam akan ditentukan jumlahnya.
Israel akan menarik pasukannya dari kota-kota di Jalur Gaza dan mengizinkan warga Gaza yang mengungsi dari wilayah utara untuk kembali ke rumah mereka.
Pengamat Nilai Citra Amerika Serikat Menurun Usai Dukung Israel di Perang Lawan Hamas
Hampir tiga tahun setelah Presiden Joe Biden menjabat dan bersumpah Amerika akan lebih baik, kini citra negara tersebut di dunia internasional dipertanyakan ketika pemerintahannya mendukung Israel dalam perang melawan Hamas.
Sebagai langkah mundur dari isolasi yang baru terjadi, Amerika Serikat pada Jumat menyetujui resolusi Dewan Keamanan PBB mengenai bantuan kemanusiaan untuk Jalur Gaza yang terkepung.
Sebelumnya, AS melakukan dua veto dan seruan sebelumnya untuk menghentikan pertempuran, dikutip dari laman Channel News Asia, Minggu (24/12/2023).
Kini AS seakan terpisah dari beberapa sekutu terdekatnya – Inggris, Perancis dan Jepang – yang mendukung resolusi tersebut.
AS abstain dan hanya diikuti oleh Rusia.
Seminggu sebelumnya dalam Sidang Umum penuh, Amerika Serikat hanya diikuti oleh dua mitra Eropa, Austria dan Republik Ceko, dan tidak ada satupun sekutunya di Asia yang memberikan suara menentang terkait seruan gencatan senjata dalam perang yang dipicu oleh serangan tanggal 7 Oktober terhadap Israel oleh Hamas.
Sebagian besar pembuat kebijakan di Eropa, jika menyangkut Amerika Serikat, masih memikirkan dukungan kuat Biden terhadap Ukraina melawan invasi Rusia, kata Leslie Vinjamuri, direktur program AS dan Amerika di Chatham House di London.
“Yang terjadi saat ini di seluruh dunia adalah bahwa Amerika Serikat peduli terhadap warga Israel, peduli terhadap warga Ukraina, dan benar-benar tidak peduli terhadap warga berkulit coklat. Sayangnya, narasi seperti itulah yang diabaikan,” katanya.
Advertisement
Kemarahan Masyarakat Meningkat
Berbeda dengan pendahulunya Donald Trump, yang tanpa syarat mendukung Israel, Biden secara terbuka menyuarakan rasa frustrasinya atas Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan kegagalan Israel dalam melindungi warga sipil Gaza, bahkan ketika AS terus menjamin penyediaan militer dan perlindungan diplomatik.
Pejabat pemerintahan Biden mengatakan, tekanan di balik layar mereka telah membuahkan hasil, dengan Israel mulai mengizinkan pasokan bahan bakar, memulihkan akses internet, dan membuka penyeberangan ke Gaza.
Sebuah survei terhadap enam publik Arab bulan lalu menunjukkan bahwa hanya 7 persen yang percaya Amerika Serikat memainkan peran positif dalam perang tersebut, kata Munqith Dagher, direktur Gallup International untuk Timur Tengah.