Sukses

HEADLINE: Ambisi Israel Bangun Zona Demiliterisasi di Gaza, Mengukuhkan Penjajahan Tanah Palestina?

Belum berhenti. Genosida berdarah Israel di Jalur Gaza masih terjadi.

Liputan6.com, Gaza - Belum berhenti. Genosida berdarah Israel di Jalur Gaza masih terjadi. Bahkan, warga Palestina yang terbunuh, telah meningkat menjadi hampir 30.000 orang.

Angka itu berdasarkan laporan terbaru yang dirilis Euro-Med Human Rights Monitor. Hingga Selasa 26 Desember, 29.124 warga Palestina tewas. Mayoritas korban dalam serangan udara dan artileri Israel di Jalur Gaza adalah warga sipil, termasuk 11.422 anak-anak, 5.822 wanita, 481 petugas kesehatan, dan 101 jurnalis.

Data Euro-Med Human Rights Monitor yang dikutip dari situs reliefweb.int pada Kamis (28/12/2023), juga mengungkap sebanyak 56.122 warga Palestina terluka, dengan ratusan di antaranya luka parah. Jumlah ini mencakup ribuan korban yang masih terjebak di bawah reruntuhan bangunan, sementara ratusan lainnya masih belum terhitung, namun kemungkinan besar terjebak di bawah reruntuhan atau terluka di jalanan.

Sementara itu, Koordinator Tim Medis Badan Kesehatan Dunia (WHO) Sean Casey, mengatakan, saat ini hampir semua layanan rumah sakit di seluruh Gaza telah berhenti beroperasi.

"Di seluruh Gaza saat ini, kapasitas kesehatan hanya sekitar 20 persen dari kapasitas sekitar 80 hari yang lalu. Jadi, hampir semua tempat tidur rumah sakit, hampir semua layanan rumah sakit telah berhenti berfungsi, baik karena fasilitas itu sendiri telah terdampak, atau karena staf terpaksa mengungsi, atau karena kehabisan listrik, atau kehabisan persediaan medis dan atau staf tidak dapat mengaksesnya."

Ia menggambarkan suasana di RS Al-Aqsa, ketika "korban dalam jumlah signifikan" tiba di rumah sakit itu, setelah serangan udara Israel menghantam kamp pengungsi Maghazi pada Malam Natal, seperti dilaporkan VOA Indonesia.

Di tengah serangan yang masih berlangsung, Israel menyerukan demiliterisasi Jalur Gaza dan membentuk zona keamanan sementara di dalam wilayah tersebut setelah berakhirnya perang. "Gaza harus diubah menjadi zona demiliterisasi, dan Israel harus memastikan bahwa jalur tersebut tidak akan menjadi basis untuk melancarkan serangan terhadap negaranya," kata Ofir Gendelman, juru bicara Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.

"Ini memerlukan pembentukan zona keamanan sementara di sepanjang perbatasan Gaza dengan Israel," tambahnya, dikutip dari laman Anadolu Agency.

Juru bicara Israel juga menyerukan pembentukan mekanisme inspeksi di sepanjang perbatasan antara Gaza dan Mesir "untuk mencegah penyelundupan senjata" ke wilayah tersebut. "Di masa mendatang, Israel akan tetap bertanggung jawab atas keamanan di Jalur Gaza," ujar Gendelman.

Pengamat Politik Timur Tengah dari Universitas Indonesia, Yon Machmudi menilai bahwa upaya pembentukan Zona Demiliterisasi di Gaza adalah bagian dari upaya Israel untuk mengontrol kembali wilayah tersebut yang sudah ditolak oleh dunia internasional.

"Zona Demiliterisasi di Gaza itu artinya Israel dapat mengalahkan, mengeliminasi Hamas. Tapi realitasnya, pada saat ini, Israel belum bisa melumpuhkan hamas," kata Yon Machmudi, saat dihubungi oleh Liputan6.com, Kamis (28/12/2023).

"Kecenderungannya karena posisi Hamas sangat kuat, dan tidak hanya Hamas berjuang di Gaza, tapi juga faksi-faksi bersenjata lainnya. Dan itu didukung oleh mayoritas pendukung Gaza. Saya kira, ide ini bagian dari cara Israel untuk mengontrol kembali Gaza dan itu sebenarnya sudah ditolak dunia internasional."

Yon menyebut, kalaupun ada demiliterisasi maka harus bagian dari kelanjutan negosiasi Two State Solution. "Tanpa itu, artinya demiliterisasi mengukuhkan penjajahan Israel di Gaza, yang selama ini Gaza tidak terintervensi oleh kekuatan militer Israel maupun juga pemukiman-pemukiman baru."

Obsesi perang di bawah Netanyahu dinilai Yon cenderung mengarah pada genosida terstruktur, masif, menghalangi akses kemanusiaan, menghambat akses penduduk terhadap kebutuhan pokok. "Berpotensi penduduk Gaza itu mengalami kelaparan dan bisa mengakibatkan kematian yang bersifat massal," kata Yon Machmudi.

"Di samping tentu pengeboman-pengeboman yang jumlahnya dalam bentuk kolektif. puluhan dan ratusan meninggal dalam bersamaan. Menurut saya ini bagian dari genosida. Yang perlu diketahui bahwa kita harus memperhatikan bahwa keinginan Israel dalam hal ini menahan agar Palestina tak merdeka," imbuhnya.

Senada dengan Yon Machmudi, Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Padjadjaran, Teuku Rezasyah menilai bahwa ambisi Israel membangun Zona Demiliterisasi sulit dipercaya lantaran dalam praktiknya nanti, akan mempercepat terwujudnya Nakbah.

"Di mana seluruh bangunan, rumah, nama jalan, fasilitas umum dan fasilitas sosial akan berganti nama, menjadi beridentitas Yahudi," kata Teuku Rezasyah saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (28/12/2023).

"Warga Palestina akan semakin terpinggirkan di tanah air mereka sendiri, dan menghuni pemukiman tak kayak huni. Sebagian dari mereka akan mengungsi ke Gaza bagian Selatan, karena terawasi oleh PBB dan medi Internasional."

Sementara itu, Prof Kobi Michael, peneliti senior di Institute for National Security Studies (INSS) menyebut Jalur Gaza harus didemiliterisasi untuk membentuk kembali sistem di sana dan menerapkan pembatasan terhadap eskalasi lebih lanjut, atau dalam bahasa strategis, mencapai dan mempertahankan pencegahan.

"Pada saat yang sama, demiliterisasi dianggap sebagai syarat yang diperlukan untuk keberhasilan operasi pembangunan kembali Gaza dan melanjutkan proses politik dengan Otoritas Palestina di bawah kepemimpinan Abu Mazen," ujar Kobi, dikutip dari situs inss.org.il, Kamis (28/12/2023).

"Jelas bahwa pada saat ini dan dalam kondisi yang tercipta setelah Operation Protective Edge – ketika Hamas mempertahankan kemampuan militer yang cukup besar untuk menantang tokoh mana pun yang mencoba mengambil tindakan – tidak mungkin mencapai demiliterisasi penuh, baik secara sukarela (dengan Hamas) atau dengan kekerasan," imbuhnya.

Di sisi lain, sambung Kobi, situasinya sudah matang bagi pengakuan internasional akan perlunya demiliterisasi Gaza. Oleh karena itu, Israel harus memastikan adanya mekanisme penerapan demiliterisasi dan legitimasi internasional sebagai respons jika ada upaya untuk melanggarnya.

"Demiliterisasi Gaza adalah sebuah proses yang membutuhkan waktu, tekad, ketekunan, dan banyak kolaborasi antara banyak pihak," tegas Kobi.

"Strategi yang relevan dapat membantu Israel membangun dan mendorong proses demiliterisasi. Sekalipun saat ini demiliterisasi sepenuhnya tampak hanya sekadar mimpi belaka, dengan kemajuan yang dicapai, Israel dapat meningkatkan posisi strategisnya," pungkas dia.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Temuan Genosida yang Dilakukan Tentara Israel di Gaza

Euro-Mediterranean Human Rights Monitor (Euro-Med Monitor), sebuah organisasi hak asasi manusia internasional pada Selasa 26 Desember 2023 menyerahkan laporan perihal pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan tentara Israel dalam serangannya di Jalur Gaza, kepada International Criminal Court (ICC) atau Pengadilan Kriminal Internasional dan UN rapporteurs atau pelapor PBB.

Laporan yang disebut mendokumentasikan pelanggaran HAM yang dilakukan tentara Israel dalam serangannya di Jalur Gaza, menggambarkan pembunuhan warga Palestina sebagai genosida dan menuntut penyelidikan atas serangan gencar yang sedang berlangsung, Anadolu Agency melaporkan.

Pemantau Hak Asasi Manusia yang berbasis di Jenewa, dalam temuan awalnya yang diserahkan ke ICC dan pelapor PBB mendokumentasikan contoh eksekusi yang dilakukan oleh tentara Israel di Gaza.

"Menurut perkiraan Euro-Med Monitor, lebih dari 28.000 warga Palestina telah terbunuh sejak dimulainya kampanye genosida Israel di Jalur Gaza, jumlah tersebut mencakup mereka yang masih terjebak di bawah reruntuhan bangunan yang hancur dan kini dianggap tewas. Perempuan dan anak-anak merupakan 70% dari korban yang tercatat. Oleh karena itu, kematian warga Palestina merupakan angka korban sipil tertinggi di dunia pada abad ke-21," kata pernyataan Euro-Mediterranean Human Rights Monitor (Euro-Med Monitor) seperti dikutip dari Middle East Monitor, Kamis (28/12/2023).

Organisasi HAM tersebut meminta pihak-pihak tersebut di atas untuk mengambil sikap tegas terhadap operasi pembunuhan luas yang dilakukan oleh pasukan Israel yang menargetkan warga sipil Palestina, khususnya eksekusi lapangan dan likuidasi fisik di Jalur Gaza.

Selain itu, Euro-Mediterranean Human Rights Monitor (Euro-Med Monitor) menuntut pembentukan tim hukum internasional, tekanan untuk menjamin masuknya tim tersebut ke Jalur Gaza, dan dimulainya penyelidikan atas kejadian ini dan kasus-kasus lain mengenai pembunuhan warga sipil Palestina oleh pasukan Israel.

Euro-Med Monitor menekankan bahwa eksekusi Israel melanggar standar internasional dan hak untuk hidup yang diatur dalam Article 3 di Universal Declaration of Human Rights atau Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, ditambah Article 6 dari International Covenant on Civil and Political Rights (Pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik), yang menetapkan bahwa “Setiap manusia mempunyai hak untuk hidup. hak yang melekat untuk hidup. Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun boleh dicabut nyawanya secara sewenang-wenang."

"Euro-Med Monitor menegaskan kembali bahwa pelapor khusus PBB dan Jaksa ICC harus melakukan penyelidikan cepat terhadap pelanggaran-pelanggaran yang disebutkan di atas, serta kejahatan perang lainnya yang telah dilakukan Israel terhadap warga sipil di Jalur Gaza, dan meminta pertanggungjawaban mereka yang mengeluarkan dan mengeluarkan dokumen dan melaksanakan perintah ilegal secara bertanggung jawab,” tambah pernyataan dari organisasi HAM tersebut.

3 dari 5 halaman

Hamas Tolak Lepas Pemerintahannya di Gaza

Kelompok Hamas dilaporkan menolak proposal Mesir yang akan membuat pihaknya menyerahkan kendali atas Jalur Gaza dengan imbalan gencatan senjata permanen. Menurut dua sumber Mesir yang dikutip kantor berita Reuters, rencana tersebut ditolak oleh kelompok tersebut.

Hamas dan PIJ disebut tidak bersedia membahas konsesi apa pun selain pembebasan sandera. "Hamas berupaya mengakhiri agresi Israel terhadap rakyat kami, pembantaian dan genosida, dan kami berdiskusi dengan saudara-saudara kami di Mesir tentang cara untuk melakukan hal tersebut,” kata seorang pejabat Hamas yang baru-baru ini mengunjungi Kairo.

"Kami juga mengatakan bahwa bantuan untuk rakyat harus terus berjalan dan harus ditingkatkan serta harus menjangkau seluruh penduduk di utara dan selatan," kata pejabat tersebut.

"Setelah agresi dihentikan dan bantuan ditingkatkan, kami siap membahas pertukaran tahanan"

Tahap pertama dari rencana Mesir, yang didukung oleh Qatar adalah penghentian pertempuran selama dua minggu, dapat diperpanjang menjadi tiga atau empat minggu, dengan imbalan pembebasan 40 sandera.

Sebagai imbalannya, Israel akan membebaskan 120 tahanan keamanan Palestina dengan kategori yang sama. Selama masa ini, kekerasan akan berhenti dan bantuan kemanusiaan akan masuk ke Gaza.

Fase kedua adalah "pembicaraan nasional Palestina" yang disponsori Mesir yang bertujuan untuk mengakhiri perpecahan antara faksi-faksi Palestina -- terutama Otoritas Palestina yang didominasi partai Fatah dan Hamas.

Tahap ketiga akan mencakup gencatan senjata komprehensif, pembebasan sandera Israel yang tersisa, termasuk tentara, dengan imbalan sejumlah tahanan keamanan Palestina di penjara-penjara Israel yang berafiliasi dengan Hamas dan Jihad Islam akan ditentukan jumlahnya.

Israel akan menarik pasukannya dari kota-kota di Jalur Gaza dan mengizinkan warga Gaza yang mengungsi dari wilayah utara untuk kembali ke rumah mereka.

4 dari 5 halaman

Netanyahu Cari Negara untuk Tampung Warga Gaza

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan kepada para pendukungnya bahwa dia tengah berupaya menemukan negara-negara yang siap "menyerap" warga Palestina dari Jalur Gaza. Surat kabar Israel Hayom mengatakan Netanyahu melontarkan pernyataan tersebut dalam pertemuan Partai Likud pada Senin 25 Desember 2023.

"Masalah kita adalah negara-negara yang siap menyerap mereka dan kami sedang berupaya mengatasinya,” kata Netanyahu, seperti dilansir Middle East Eye.

"Dunia sudah mendiskusikan kemungkinan imigrasi sukarela."

Netanyahu dilaporkan menambahkan, "Sebuah tim harus dibentuk untuk memastikan mereka yang ingin meninggalkan Gaza ke negara ketiga dapat melakukannya. Hal ini perlu diselesaikan. Hal ini memiliki dampak strategis penting pasca perang."

Ucapannya selaras dengan pernyataan tokoh senior Partai Likud lainnya. Mantan menteri dari Partai Likud Danny Danon, misalnya, secara terbuka menyerukan negara-negara Barat untuk menerima pengungsi dari Gaza.

Warga Palestina telah lama mengatakan bahwa serangan membabi buta Israel saat ini ke Jalur Gaza bertujuan mengusir mereka secara permanen. Sebuah kemungkinan yang mengingatkan kita pada Nakba tahun 1948, ketika milisi Zionis mengusir lebih dari 700.000 warga Palestina dari tanah air mereka untuk memberi jalan bagi berdirinya Israel.

Strategi militer Israel juga diyakini bertujuan membuat Gaza tidak dapat dihuni dengan menghancurkan apa pun yang menopang kehidupan, dengan harapan bahwa warga Palestina akan "secara sukarela" meninggalkan wilayah tersebut.

Amerika Serikat (AS), Uni Eropa, dan negara-negara Timur Tengah pada khususnya telah menolak pembersihan etnis secara paksa di Jalur Gaza, namun Israel telah melanggar garis merah yang ditetapkan oleh negara-negara tersebut sebelumnya dengan dampak yang kecil atau bahkan tidak ada sama sekali.

Kemungkinan tujuan eksodus tersebut mencakup Mesir, Yordania, dan negara-negara Barat. Namun, Mesir dan Yordania dengan tegas menolak menerima warga Palestina di perbatasan mereka.

5 dari 5 halaman

Infografis Ragam Tanggapan Rencana Zona Demiliterisasi di Gaza dan Tudingan Genosida

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.