Liputan6.com, Jakarta - Pulau Galang menjadi salah satu lokasi potensial untuk menampung para pengungsi dari Rohingya. Dulu, pulau itu juga pernah digunakan untuk menjadi tempat pengungsi Vietnam yang juga mengalami konflik.
Bagaimana sejarahnya?
Baca Juga
Dilaporkan VOA Indonesia, Kamis (28/12), peneliti Pusat Riset Kewilayahan-Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dedi Arman, mengatakan pengungsi Vietnam itu berasal dari Saigon atau sekarang lebih dikenal Ho Chin Minh City. Mereka pertama kali masuk ke Indonesia melalui wilayah Provinsi Kepulauan Riau seperti Tanjungpinang, Natuna, Tarempa, dan Anambas.
Advertisement
“Kemudian dipilih Pulau Galang untuk pemusatan pengungsi Vietnam. Kenapa Pulau Galang? Karena Pulau Galang berada di lokasi strategis,” katanya kepada VOA.
Dedi menjelaskan dipilihnya Pulau Galang sebagai lokasi penampungan pengungsi Vietnam lantaran pada saat itu masih sepi penduduk. Hal itu setidaknya bisa mencegah dan meminimalisir tingkat konflik dengan masyarakat lokal.
“Pada tahun 1979 Pulau Galang mulai dijadikan sebagai tempat pengungsi Vietnam. Pada tahun 1979—1996 Pulau Galang menjadi pahlawan humanisme di dunia. Eks pengungsi Vietnam diperlakukan sangat manusiawi selama di Pulau Galang,” jelas Dedi.
Kini, eks kamp pengungsi Vietnam telah berubah menjadi destinasi wisata sejarah yang ada di Kota Batam. Di eks kamp pengungsi Vietnam masyarakat bisa melihat bukti-bukti kesaksian sejarah atas torehan tinta emas Indonesia untuk dunia dalam hal kemanusiaan meskipun belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951.
Saat ini eks kamp Vietnam itu juga diwacanakan menjadi tempat penampungan bagi pengungsi Rohingya. Namun sebagian masyarakat Pulau Galang dan sekitarnya telah secara terang-terangan menolak wacana itu dengan beragam alasan.
Didirikan UNHCR
Dahulu, kamp dengan fasilitas lengkap itu didirikan oleh Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) dan ditempati oleh sekitar 250.000 pengungsi asal Vietnam, dan sekitar 5.000 pengungsi asal Kamboja. Para pengungsi Vietnam yang dijuluki ‘manusia perahu’ itu mendiami Pulau Galang sejak tahun 1979 hingga 1996. Mereka yang berstatus pengungsi terpaksa pergi dari Vietnam lantaran perang saudara di tanah air mereka.
Salah seorang saksi hidup atas sejarah penempatan pengungsi Vietnam di Pulau Galang adalah Abunawas Tanawolo. Sambil merapikan topinya, dia bercerita saat pertama kali menginjakkan kaki di Pulau Galang ketika masih berusia lima tahun pada tahun 1980.
Abunawas ingat betul memori manis yang dialaminya pada masa orang-orang Vietnam mendiami kamp di Pulau Galang, di mana penduduk lokal menjalin hubungan harmonis dengan para pengungsi.
“Di sini dengan adanya pengungsi Vietnam masyarakat merasa terbantu mulai dari perekonomian dan perobatan seperti sakit kita tidak bayar,” kata Abunawas ketika ditemui VOA, Kamis (21/12).
Keharmonisan yang terjalin tidak sampai di situ, kata Abunawas, hubungan baik antara masyarakat lokal dengan pengungsi Vietnam juga berpengaruh ke berbagai hal, misalnya tentang sistem barter yang menguntungkan kedua pihak.
“Masyarakat setempat kami dapat ikan atau punya hasil panen sayur, kita bisa jual ke mereka. Mereka dapat jatah beras berlebih dijual ke kita. Bahkan mereka kasih apalagi kalau sudah kenal,” kenang Abunawas.
Pada masa itu orang-orang Vietnam melakukan aktivitasnya seperti biasa, mulai dari berdagang dan bertani yang dilakukan di dalam kamp pengungsian.
Advertisement
Segi Komunikasi Lancar
Kendati telah lama berlalu, kenangan bersama orang-orang Vietnam di Pulau Galang masih melekat di benak Abunawas. Bagi pria keturunan Flores itu masa-masa pengungsi Vietnam di Pulau Galang merupakan sejarah manis yang tak mungkin terulang. Tak ayal Abunawas sampai mahir berbicara menggunakan bahasa Vietnam.
“Waktu demi waktu akhirnya saya juga bisa berkomunikasi dengan orang-orang Vietnam. Sehari-harinya saya tinggal di barak Vietnam. Saya punya keluarga angkat pengungsi Vietnam,” ungkapnya.
Kini, kehidupan pengungsi Vietnam telah menjadi sejarah yang tak bisa dilepaskan dari Pulau Galang. Jejak peninggalan orang-orang Vietnam yang masih tersisa di kamp tersebut seperti bekas rumah sakit, ornamen lawas, barak, Vihara Quan Am Tu, Gereja Katolik Nha Tho Duc Me Vo Nhiem, dan pemakaman 503 pengungsi Vietnam bernama Ngha Trang Grave.
“Di sini dahulu ada warung, kedai kopi, pasar, gedung pemutaran film. Saat ini yang tersisa kantor, klenteng, gereja, youth centre, rumah sakit, dan barak sisa satu,” ucap Abunawas.
Meskipun berbeda latar belakang dan budaya antar pengungsi Vietnam dengan masyarakat lokal di Pulau Galang. Namun gesekan atau benturan tidak pernah terjadi saat itu.
Harmonis
Selain benda-benda peninggalan pengungsi Vietnam, Pulau Galang juga diwarisi oleh hubungan timbal balik antar sesama manusia tanpa memandang suku, budaya, dan agama.
“Sampai sekarang di sini kompak luar biasa. Orang beragama Islam meninggal, warga Katolik yang bantu cangkul tanah. Begitu orang Katolik meninggal, orang Islam juga bantu bahkan pikul petinya. Budaya itu sampai sekarang masih kami jaga,” ucap Abunawas.
Abunawas yang juga penjaga eks kamp pengungsi Vietnam mengatakan puncak repatriasi (pemulangan ke negara asalnya) manusia perahu itu dilakukan pada tahun 1996. Sejak saat itu eks kamp Vietnam meninggalkan catatan sejarah manis tentang kemanusiaan.
Kendati waktu telah berlalu, hingga kini tak jarang para eks pengungsi Vietnam di Pulau Galang kembali wilayah itu sekadar untuk reuni maupun melakukan tapak tilas. “Sering (kembali ke sini). Mereka suka telepon saya. Mereka mengucapkan terima kasih kepada pemerintah Indonesia,” ungkap Abunawas.
Advertisement