Sukses

Konvoi Bantuan PBB untuk Gaza Diserang, Ditembaki Militer Israel

Badan PBB untuk Pengungsi Palestina mengatakan pada Jumat, 29 Desember 2023 bahwa konvoi bantuan diserang oleh militer Israel di Jalur Gaza. Namun, beruntung tak menimbulkan korban jiwa.

Liputan6.com, Gaza - Badan PBB untuk Pengungsi Palestina mengatakan pada Jumat, 29 Desember 2023 bahwa konvoi bantuan diserang oleh militer Israel di Jalur Gaza, beruntung tak menimbulkan korban jiwa.

"Tentara Israel menembaki konvoi bantuan ketika mereka kembali dari Gaza utara melalui rute yang ditentukan oleh tentara Israel. Pemimpin konvoi internasional kami dan timnya tidak terluka, tetapi satu kendaraan mengalami kerusakan," tulis direktur UNRWA di Gaza, Tom White, di X.

Menurut UNRWA, kejadian itu terjadi pada Kamis, 28 Desember sore.

Militer Israel menanggapi permintaan komentar dengan mengatakan bahwa mereka sedang menyelidiki laporan tentang insiden tersebut.

Sebelumnya pada hari Jumat, kepala kemanusiaan PBB, Martin Griffiths, menulis sebuah unggahan di X menggambarkan apa yang disebutnya "situasi yang mustahil bagi masyarakat Gaza, dan bagi mereka yang mencoba membantu mereka".

Griffiths mengatakan konvoi bantuan telah ditembaki, tanpa menjelaskan lebih lanjut.

"Anda pikir memasukkan bantuan ke Gaza itu mudah? Coba pikirkan lagi," kata Griffiths.

Sementara itu, sebelumnya anggota kabinet perang Israel Benny Gantz memperingatkan, pihaknya akan melakukan intervensi jika Hizbullah tidak berhenti menembaki Israel utara.

"Waktu untuk solusi diplomatik hampir habis," ujarnya, seperti dilansir BBC.

Di lain pihak, Panglima Angkatan Pertahanan Israel Herzi Halevi menuturkan pasukannya berada dalam kesiapan yang sangat tinggi untuk menghadapi lebih banyak pertempuran di wilayah utara.

"Tugas pertama kami adalah memulihkan keamanan dan rasa aman warga di Utara dan ini akan memakan waktu," kata Halevi, setelah melakukan penilaian situasi.

Baku tembak lintas batas Lebanon Vs Israel telah meningkat sejak perang Hamas Vs Israel terbaru dimulai pada 7 Oktober.

Sumber keamanan israel mengungkapkan kepada Reuters pada Rabu (27/12), Hizbullah melancarkan serangan lintas batas dalam jumlah tertinggi dalam satu hari sejak 8 Oktober. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa perang di Jalur Gaza akan meluas ke seluruh wilayah.

"Situasi di perbatasan utara Israel menuntut perubahan," kata Gantz dalam konferensi pers pada Rabu malam.

"Jika dunia dan pemerintah Lebanon tidak bertindak untuk mencegah penembakan terhadap penduduk Israel di utara dan menjauhkan Hizbullah dari perbatasan, IDF akan melakukannya."

Duta Besar Lebanon di Inggris, Rami Mortada, mengatakan justru negaranya yang menerima serangan dan pihak yang harusnya menahan diri adalah Israel. "Kami tidak tertarik pada eskalasi. Semua pihak perlu melakukan deeskalasi," ujarnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Israel Serukan Demiliterisasi Jalur Gaza, Tujuan Realistis atau Impian Semata? Ini Kata Pengamat

Adapun perang Israel vs Hamas yang sudah memasuki bulan ketiga kini memunculkan seruan Israel atas demiliterisasi Jalur Gaza, dan membentuk zona keamanan sementara di dalam wilayah tersebut setelah berakhirnya perang Israel.

"Gaza harus diubah menjadi zona demiliterisasi, dan Israel harus memastikan bahwa jalur tersebut tidak akan menjadi basis untuk melancarkan serangan terhadap negaranya, kata Ofir Gendelman, juru bicara Perdana Menteri Benjamin Netanyahu kepada wartawan dikutip dari laman Anadolu Agency, Rabu 27 Desember 2023.

Melihat serangan yang dilakukan Israel ke Gaza hingga 82 hari perang yang mengakibatkan 29.124 Palestina tewas menurut situs reliefweb.int, bagaimana sejatinya peluang demiliterisasi Jalur Gaza?

Prof Kobi Michael selaku peneliti senior di Institute for National Security Studies (INSS) angkat bicara perihal tersebut. Menurut dia, mengutip situs inss.org.il, Kamis (28/12/2023), operasi militer Israel yang disebut Operation Protective Edge dalam konflik yang pecah 7 Oktober lalu telah membuat konsep konflik berintensitas rendah menjadi tidak relevan.

"Ini mendramatisir kemampuan dan infrastruktur militer Hamas di Jalur Gaza dan potensi mereka untuk menyerang wilayah dalam negeri Israel, serta kegigihan organisasi tersebut dalam kampanye serangan berkepanjangan, yang lebih lama dibandingkan kampanye Gaza sebelumnya dan bahkan Perang Lebanon Kedua," ujar Prof Kobi Michael.

Selain itu, sambungnya, kemampuan dan infrastruktur militer Hamas mencerminkan proses pelembagaan kelompok tersebut sebagai kekuatan pemerintahan dan militer di Gaza, dan hubungan antara kekuatan militer dan politik."

"Kemampuan militer Hamas sejak Operation Protective Edge tetap signifikan, tentu saja jika dibandingkan dengan kemampuan yang dimiliki Palestinian Authority (PA) atau Otoritas Palestina. Hamas akan berusaha mempertahankan atau bahkan mengembangkannya, meskipun ada kesulitan melihat hasil operasi tersebut (yang menelan korban jiwa hingga 29 ribu lebih)," tutur Prof Kobi Michael.

 

3 dari 4 halaman

Kemampuan Militer Hamas Syarat Wujudkan Tuntutan Politiknya di Jalur Gaza, Nasib Demiliterisasi?

Prof Kobi Michael yang juga profesor tamu di International Centre for Policing and Security University of South Wales UK mengungkap, jelas bagi Hamas bahwa kemampuan militernya adalah dasar untuk mewujudkan tuntutan politiknya di Jalur Gaza, "dan secara umum dalam mengamankan posisinya sebagai kekuatan politik yang berpengaruh di arena Palestina dan sekitarnya."

"Oleh karena itu, Hamas akan menolak demiliterisasi sukarela dan akan menggunakan kemampuan militernya untuk menantang Otoritas Palestina atau entitas mana pun yang dalam konteks operasi rekonstruksi Gaza berupaya melemahkannya atau mengancam kekuasaan atau pengaruhnya," jelas Prof Kobi Michael.

Rekonstruksi Gaza, sambungnya, yang dipimpin oleh komunitas internasional dan dilaksanakan melalui Otoritas Palestina, memiliki peluang keberhasilan yang lebih besar jika pengaruh Hamas terhadap proyek tersebut dibatasi.

"Hal serupa juga terjadi pada prospek menjadikan proyek ini sebagai alat untuk memulai kembali proses politik dengan Palestina dan membangun negara Palestina melalui proses yang terkendali dan bertanggung jawab, dengan Jalur Gaza sebagai lapisan pertama yang signifikan," tuturnya.

Untuk menetralisir pengaruh negatif Hamas terhadap proses tersebut, Hamas harus diperbolehkan menjadi mitra politik saja, dalam kerangka pemerintahan rekonsiliasi Palestina yang dipimpin oleh Abu Mazen, dan tidak boleh menggunakan hak veto atau mengeksploitasi proses tersebut untuk pihak lain. perebutan Gaza dan dari sana, pengambilalihan PA.

"Untuk mencapai tujuan ini, kemampuan militer Hamas harus dilemahkan, yang berarti demiliterisasi. Dengan kata lain, tanpa demiliterisasi, operasi rekonstruksi konstruktif di Gaza tidak akan mungkin terwujud."

4 dari 4 halaman

Prof Kobi Michael: Gaza Harus Didemiliterisasi

Dalam kesimpulannya, Prof Kobi Michael menyebut bahwa Gaza harus didemiliterisasi untuk membentuk kembali sistem di sana dan menerapkan pembatasan terhadap eskalasi lebih lanjut, atau dalam bahasa strategis, mencapai dan mempertahankan pencegahan.

"Pada saat yang sama, demiliterisasi dianggap sebagai syarat yang diperlukan untuk keberhasilan operasi pembangunan kembali Gaza dan melanjutkan proses politik dengan Otoritas Palestina di bawah kepemimpinan Abu Mazen," papar Prof Kobi Michael.

"Jelas bahwa pada saat ini dan dalam kondisi yang tercipta setelah Operation Protective Edge – ketika Hamas mempertahankan kemampuan militer yang cukup besar untuk menantang tokoh mana pun yang mencoba mengambil tindakan – tidak mungkin mencapai demiliterisasi penuh, baik secara sukarela (dengan Hamas) atau dengan kekerasan," tuturnya lagi.

Di sisi lain, imbuh Prof Kobi Michael, situasinya sudah matang bagi pengakuan internasional akan perlunya demiliterisasi.

Oleh karena itu, Prof Kobi Michael mengatakan Israel harus memastikan adanya mekanisme penerapan demiliterisasi dan legitimasi internasional sebagai respons jika ada upaya untuk melanggarnya.

"Demiliterisasi Gaza adalah sebuah proses yang membutuhkan waktu, tekad, ketekunan, dan banyak kolaborasi antara banyak pihak," tegas Prof Kobi Michael.

"Strategi yang relevan dapat membantu Israel membangun dan mendorong proses demiliterisasi. Sekalipun saat ini demiliterisasi sepenuhnya tampak hanya sekedar mimpi belaka, dengan kemajuan yang dicapai, Israel dapat meningkatkan posisi strategisnya," pungkasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.