Liputan6.com, Tepi Barat - Sejumlah warga Palestina luka-luka setelah militer Israel menggusur rumah mereka di Tepi Barat menjelang tahun baru pada Minggu pagi (31/12). Menurut laporan Anadolu Agency, militer Israel turut menjaga dua unit bulldozer yang digunakan untuk penggusuran.
Israel melakukan penggusuran di kamp Tulkarm dan Nur Shams. Bentrokan lantas terjadi dan 15 orang warga Palestina terluka saat melawan tentara Israel.
Baca Juga
Dua bulldozer itu menghancurkan infrastuktur di kamp-kamp tersebut. Para sniper Israel pun disiagakan di atap rumah.
Advertisement
Saksi mata menyebut tentara Israel juga memasuki rumah-rumah warga dengan alasan "investigasi". Hal itu juga yang memicu ketegangan dengan warga Palestina.
Ambulans juga kesulitan beroperasi, sebab tentara Israel mengepung area rumah sakit Thabet Governmental dan Al-Israa.
Saluran TV Palestina turut melaporkan bahwa ada drone Israel yang meluncurkan dua misil ke kamp Nur Shamps. Misil pertama menyebabkan luka ringan dan sedang terhadap dua pemuda, sementara satu misil lagi menyebabkan kerusakan material.
Bulan Sabit Merah di Palestina berkata telah merawat 15 korban luka akibat serangan Israel ke Tulkarm dan Nur Shams.
Tentara Israel juga menyerang kamp Askar di daerah Nablus. Dua warga Palestina terluka akibat serangan tersebut. Selain itu, tentara Israel juga memasuki kamp Aqabat Jaber yang berlokasi di Jericho dan kamp Fawwar di selatan Hebron, namun tak ada orang yang dilaporkan terluka.
Netanyahu Ungkap 3 Syarat Perdamaian Israel dan Palestina, Salah Satunya Demiliterisasi Gaza
Sebelumnya dilaporkan, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengatakan untuk mencapai perdamaian antara Israel dan Palestina, Hamas harus dihancurkan, Jalur Gaza harus di-demiliterisasi, dan masyarakat Palestina harus di-deradikalisasi. Hal tersebut disampaikan Netanyahu pada Senin (25/12/2023).
Ketiga prasyarat tersebut dirinci melalui kolom opini di Wall Street Journal, di mana Netanyahu menegaskan kembali pendiriannya bahwa Otoritas Palestina tidak layak untuk memerintah Jalur Gaza setelah Hamas ditaklukkan, sebuah posisi yang membuatnya berselisih dengan sekutu utamanya, Amerika Serikat (AS).
Netanyahu tidak memasukkan pembebasan 129 sandera yang diculik Hamas pada 7 Oktober dan masih ditahan di Jalur Gaza sebagai prasyarat perdamaian. Kolom opini tersebut juga menghindari menyebutkan Negara Palestina atau solusi dua negara, yang memang sering kali ditentang Netanyahu.
Mengenai syarat pertama perdamaian, Netanyahu menulis bahwa "AS, Inggris, Prancis, Jerman, dan banyak negara lain mendukung niat Israel untuk menghancurkan kelompok teror. Untuk mencapai tujuan tersebut, kemampuan militernya harus dilucuti dan kekuasaan politiknya atas Gaza harus diakhiri. Para pemimpin Hamas telah berjanji untuk mengulangi pembantaian 7 Oktober "berkali-kali". Itulah sebabnya penghancuran mereka adalah satu-satunya respons yang proporsional untuk mencegah terulangnya kekejaman yang mengerikan tersebut. Jika kurang dari itu maka akan terjadi lebih banyak perang dan lebih banyak pertumpahan darah."
Netanyahu berpendapat bahwa komunitas internasional harus menyalahkan Hamas atas banyaknya korban sipil dalam perang saat ini karena kelompok itu menggunakan warga Gaza dan fasilitas kesehatan sebagai tameng manusia.
"Israel melakukan yang terbaik untuk meminimalkan korban sipil," tulis Netanyahu seperti dikutip dari Times of Israel, Kamis (28/12).
Advertisement
Demiliterisasi Jalur Gaza
Kedua, Netanyahu mengatakan Israel juga harus memastikan bahwa Jalur Gaza "tidak pernah lagi digunakan sebagai basis untuk menyerang" negaranya.
"Hal ini antara lain memerlukan pembentukan zona keamanan sementara di sekeliling Gaza dan mekanisme inspeksi di perbatasan antara Jalur Gaza dan Mesir yang memenuhi kebutuhan keamanan Israel dan mencegah penyelundupan senjata ke wilayah tersebut," sebut Netanyahu.
Merespons adanya laporan bahwa Otoritas Palestina akan mengelola Jalur Gaza pasca perang, dia menuturkan, "ekspektasi bahwa Otoritas Palestina akan melakukan demiliterisasi Gaza hanyalah sebuah angan-angan", seraya menambahkan bahwa Ramallah "belum menunjukkan kemampuan maupun keinginan untuk melakukan demiliterisasi Gaza".
Otoritas Palestina, ujarnya, "saat ini mendanai dan mengagung-agungkan terorisme" di Tepi Barat "dan mendidik anak-anak Palestina untuk berupaya menghancurkan Israel".
Menguraikan prasyarat ketiga untuk perdamaian, Netanyahu menulis bahwa "sekolah-sekolah Palestina harus mengajar anak-anak untuk menghargai kehidupan daripada kematian, dan para imam harus berhenti berkhotbah tentang pembunuhan orang-orang Yahudi."
"Masyarakat sipil Palestina perlu diubah sehingga mendukung pemberantasan terorisme dibandingkan mendanainya," tulis Netanyahu.
"Hal ini mungkin memerlukan kepemimpinan yang berani dan bermoral," kata Netanyahu, menyerang Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas, yang "bahkan tidak sanggup mengutuk kekejaman 7 Oktober."
Netanyahu Ngotot Kendalikan Gaza Pasca Perang
Netanyahu merujuk pada keberhasilan deradikalisasi yang terjadi di Jerman dan Jepang setelah kemenangan Sekutu dalam Perang Dunia II dan mengatakan bahwa "saat ini, kedua negara adalah sekutu besar AS dan mempromosikan perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran di Eropa dan Asia.
Dia mengatakan pula bahwa setelah serangan teror 11 September 2001, "para pemimpin Arab yang visioner di Teluk telah memimpin upaya untuk melakukan deradikalisasi masyarakat dan mentransformasi negara mereka."
"Setelah Hamas dihancurkan, Gaza mengalami demiliterisasi, dan masyarakat Palestina memulai proses de-radikalisasi, Gaza dapat dibangun kembali dan prospek perdamaian yang lebih luas di Timur Tengah akan menjadi kenyataan," tutupnya.
"Di masa mendatang, Israel harus tetap mengemban tanggung jawab keamanan utama atas Gaza."
Advertisement