Sukses

Pesawat Menlu AS Antony Blinken Alami Kebocoran Oksigen, Tim Terpaksa Lakukan Hal Ini

Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken tertunda penerbangannya setelah menyelesaikan aktivitas di Swiss lantaran pesawatnya mengalami kebocoran oksigen, kata para pejabat.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken tertunda penerbangannya setelah menyelesaikan aktivitas di Swiss lantaran pesawatnya mengalami kebocoran oksigen, kata para pejabat.

Menlu AS itu dijadwalkan kembali ke US dari Swiss setelah menghadiri Forum Ekonomi Dunia di Davos ketika masalah penerbangan terjadi.

Untuk mengatasi masalah ini, pesawat lain dikirim untuk menjemput Blinken, dikutip dari BBC, Kamis (18/1/2024).

Blinken telah mengunjungi banyak negara sejak perang Israel-Gaza pecah pada Oktober 2023.

Penundaan tersebut terjadi di akhir perjalanan Blinken dan tidak mengganggu rencana perjalanannya ke luar negeri, kata Matthew Miller, juru bicara departemen luar negeri kepada wartawan.

“Ada masalah mekanis pada pesawatnya,” katanya.

“Kini sudah kedatangan pesawat pengganti. Kami diperkirakan akan kembali lagi malam ini, namun beberapa jam lebih lambat dari rencana semula.”

Menteri Luar Negeri dan para pembantunya menaiki pesawat di Zurich pada Rabu dan terpaksa turun setelah kebocoran teridentifikasi.

Dia telah dijadwalkan untuk kembali ke AS dengan menggunakan Boeing 737, menurut laporan media AS.

Masalah mekanis pada pesawat penumpang Angkatan Udara Amerika Serikat telah menjadi perhatian dalam perjalanan ke departemen luar negeri sebelumnya.

2 dari 3 halaman

Menlu AS: Tidak Ada Keamanan Sejati bagi Israel Tanpa Berdirinya Negara Palestina

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken menegaskan kembali perlunya jalan menuju berdirinya negara Palestina. Hal tersebut disampaikan Blinken pada Rabu (17/1/2024) di pertemuan tahunan Forum Ekonomi Dunia di Davos.

Dia menggarisbawahi Israel tidak akan mendapatkan keamanan sejati tanpa hal itu.

Jika Israel dapat bergabung dengan Timur Tengah, kata Blinken, kawasan tersebut akan dapat bersatu untuk mengisolasi Iran -yang dia sebut sebagai kekhawatiran terbesar dalam hal keamanan- dan proksinya, termasuk pemberontak Houthi di Yaman yang menyerang kapal-kapal komersial di Laut Merah.

"Masalahnya semakin meluas dan tentu saja memerlukan keputusan yang sangat sulit dan menantang. Hal ini membutuhkan pola pikir yang terbuka terhadap perspektif tersebut," kata Blinken, seperti dilansir AP, Kamis (18/1).

Dia mengatakan apa yang berbeda saat ini adalah pola pikir para pemimpin di dunia Arab dan muslim dalam mengintegrasikan Israel ke wilayah tersebut dan dia merasakan urgensi yang sangat mendesak.

"Karena saat ini kita berada di tengah-tengah tragedi kemanusiaan yang terjadi di Timur Tengah – baik bagi Israel maupun Palestina," tutur Blinken.

Blinken menyatakan Israel perlu memutuskan kepemimpinan dan arah mereka. Terserah pada Israel, ungkap Blinken, apakah negara itu akan memanfaatkan peluang yang ada. Dia menyebut ini sebagai "titik perubahan" bagi Timur Tengah yang memerlukan keputusan sulit.

 

3 dari 3 halaman

Respons Menlu Iran

Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amir-Abdollahian, yang juga menghadiri forum yang sama, memperingatkan bahwa pertempuran dapat meningkat di kawasan jika Israel tidak mengakhiri operasi militernya di Jalur Gaza.

"Hari ini, kita menyaksikan genosida di Jalur Gaza dan Tepi Barat, ini berarti perang sedang berlangsung, sehingga ada kemungkinan untuk diperpanjang," tutur Amir-Abdollahian.

Dia juga mengakui serangan rudal Iran pada Selasa (16/1) ke Irak dan Pakistan, menyebutnya sebagai bagian dari perang melawan terorisme.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri Arab Saudi Pangeran Faisal bin Farhan, mengatakan dalam panel di Davos pada Selasa bahwa negaranya setuju perdamaian regional termasuk perdamaian untuk Israel. Dia menjawab dengan "tentu saja" ketika ditanya apakah Arab Saudi akan mengakui Israel sebagai bagian dari perjanjian politik yang lebih besar.

"Tetapi, hal itu hanya bisa terjadi melalui perdamaian bagi Palestina, melalui negara Palestina," ujarnya.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memimpin pemerintahan sayap kanan yang menentang negara Palestina dan Netanyahu sendiri baru-baru ini mengakui bahwa tindakannya selama bertahun-tahun telah menghalangi pembentukan negara tersebut.