Liputan6.com, Tel Aviv - Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menentang pembentukan negara Palestina setelah perang di Jalur Gaza berakhir. Dia pun bersumpah akan melanjutkan serangan sampai mencapai kemenangan penuh, Hamas hancur, dan sandera yang tersisa kembali.
Netanyahu menambahkan hal itu bisa memakan waktu berbulan-bulan lagi.
Baca Juga
Dengan hampir 25.000 warga Palestina di Jalur Gaza tewas dan 85 persen populasi di sana mengungsi, Israel berada di bawah tekanan kuat untuk mengekang serangannya dan terlibat dalam perundingan yang bermakna penghentian perang secara berkelanjutan.
Advertisement
Sekutu Israel, termasuk Amerika Serikat (AS), telah mendesak kebangkitan solusi dua negara yang telah lama terbengkalai. Solusi dua negara akan membuat Israel dan Palestina saling mengakui kemerdekaan masing-masing dan hidup berdampingan sebagai dua negara yang independen.
Harapan banyak kalangan adalah bahwa krisis yang terjadi saat ini dapat memaksa pihak-pihak yang bertikai untuk kembali melakukan diplomasi, sebagai satu-satunya alternatif yang dapat dilakukan terhadap siklus kekerasan yang tiada akhir. Namun, pernyataan Netanyahu justru menunjukkan niat sebaliknya.
Dalam konferensi pers pada Kamis (18/1/2024), Netanyahu menegaskan Israel harus memiliki kendali keamanan atas seluruh wilayah di sebelah barat Sungai Yordan, yang akan mencakup wilayah negara Palestina mana pun di masa depan.
"Itu adalah kondisi yang diperlukan dan bertentangan dengan gagasan kedaulatan (Palestina) ... Saya mengatakan kebenaran ini kepada teman-teman di AS dan saya juga menghentikan upaya untuk memaksakan kenyataan yang akan membahayakan keamanan Israel," kata Netanyahu, seperti dilansir BBC, Jumat (19/1).
Netanyahu telah menghabiskan sebagian besar karier politiknya menentang pembentukan negara Palestina dan bulan lalu dia berkoar-koar bahwa dia bangga telah mencegah pendirian negara Palestina, sehingga pernyataan terbarunya tidaklah mengejutkan.
Upaya AS Belum Membuahkan Hasil
Penolakan terhadap dorongan diplomatik AS secara publik dan tekad untuk tetap menggunakan jalur militer menunjukkan jurang yang semakin lebar antara Washington dan Tel Aviv.
Sejak serangan Hamas ke Israel selatan pada 7 Oktober, yang tercatat sebagai serangan terburuk dalam sejarah negara itu, AS telah mendukung hak Israel untuk membela diri. Namun, seiring dengan bertambahnya jumlah korban tewas dan kehancuran mengerikan di Jalur Gaza, Barat menyerukan agar Israel menahan diri.
Gedung Putih telah berulang kali mencoba memengaruhi kebijakan militer Israel: mendesak agar Israel lebih banyak menggunakan senjata berpemandu presisi dibandingkan serangan udara menyeluruh; mencegah serangan darat; dan menyerukan solusi dua negara, di mana Otoritas Palestina akan memerintah Jalur Gaza pasca-perang.
Namun, nasihat AS sering kali tidak didengarkan atau mendapat penolakan langsung. Hal ini, pada gilirannya, dilaporkan telah memperparah rasa frustrasi di beberapa kalangan di AS atas dukungan menyeluruh pemerintahan Joe Biden terhadap Israel.
Terdapat seruan keras agar memberikan persyaratan pada bantuan AS terhadap sekutu utamanya di Timur Tengah itu.
Advertisement
Respons AS
Menanggapi pernyataan terbaru Netanyahu, penasihat keamanan nasional Gedung Putih Jake Sullivan mengatakan AS tidak akan berhenti berupaya menuju solusi dua negara.
Dia menegaskan, "Tidak akan ada pendudukan kembali di Jalur Gaza."
Pernyataan Netanyahu mungkin saja akan menyenangkan basis dukungannya yang semakin berkurang dan para menteri sayap kanan yang mendukung pemerintahannya. Namun, hal ini akan membuat kecewa orang-orang di dalam dan luar negeri yang semakin merasa ngeri dengan banyaknya korban jiwa akibat perang Hamas Vs Israel.
Jajak pendapat baru-baru ini menunjukkan sebagian besar warga Israel ingin Netanyahu memprioritaskan pemulangan sandera yang tersisa dibandingkan tujuan yang mungkin mustahil untuk menghancurkan Hamas.