Sukses

Pemerintah Israel Gonjang-ganjing soal Perang Gaza: Netanyahu Tersudutkan dan Mengalahkan Hamas Dinilai Tidak Realistis

Muncul seruan agar Israel segera menyelenggarakan pemilu menyusul pudarnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan Benjamin Netanyahu.

Liputan6.com, Tel Aviv - Perpecahan dalam pemerintahan Israel semakin mendalam setelah menteri kabinet perang Gadi Eisenkot menyatakan tujuan utama perang untuk mengalahkan Hamas tidak realistis. Tidak hanya itu, Eisenkot menyerukan digelarnya pemilu dalam beberapa bulan mendatang.

Eisenkot berbicara tidak lama setelah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kembali mengatakan operasi militer Israel di Jalur Gaza akan terus berlanjut sampai mencapai kemenangan penuh atas Hamas. Pernyataannya juga muncul setelah Israel menarik sebagian pasukannya dari Jalur Gaza Utara dan mengisyaratkan fase baru konflik akan segera dimulai.

"Pencapaian strategis tidak tercapai … Kami tidak menghancurkan organisasi Hamas," kata Eisenkot kepada Channel 12 News, seperti dilansir CNN, Sabtu (20/1).

Pernyataan tersebut merupakan gejala terbaru dari perpecahan dalam pemerintahan koalisi pimpinan Netanyahu dan meningkatnya ketidakpuasan terhadap rencana perangnya. Didirikan tidak lama setelah serangan Hamas pada 7 Oktober, kabinet perang Israel mencakup beberapa menteri yang berselisih satu sama lain.

Seruan untuk Pemilu

Eisenkot menekankan Israel perlu menyelenggarakan pemilu karena rakyat tidak lagi percaya pada kepemimpinan Netanyahu. Dia menepis kekhawatiran mengenai penyelenggaraan pemilu ketika negara tersebut sedang perang.

"Kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sama parahnya dengan kurangnya persatuan saat perang," ujar Eisenkot.

"Kita perlu pergi ke tempat pemungutan suara dan mengadakan pemilu dalam beberapa bulan ke depan, untuk memperbarui kepercayaan karena saat ini tidak ada kepercayaan. Negara Israel adalah negara demokrasi dan perlu bertanya pada diri sendiri, setelah kejadian serius ini, bagaimana kita bisa maju dengan kepemimpinan yang bertanggung jawab atas kegagalan mutlak ini?"

Presiden Institut Demokrasi Israel (IDI) di Yerusalem Yohanan Plesner menuturkan meskipun kabinet perang dibentuk untuk menunjukkan persatuan, hal itu tidak menutupi fakta bahwa terdapat perbedaan besar dalam kebijakan dan pendekatan. Perpecahan itu pun sekarang muncul ke permukaan.

Senada dengan Plesner, ilmuwan politik di Universitas Ibrani Yerusalem Reuven Hazan menilai bahwa ketika perang telah melewati batas 100 hari, perpecahan pasti akan muncul.

"Dan memang demikian," kata Hazan kepada CNN, seraya menambahkan bahwa perbedaan antara kedua kubu semakin buruk setiap hari.

Lebih dari tiga bulan setelah Netanyahu melancarkan perang di Jalur Gaza, tanda-tanda pertempuran akan berakhir masih belum terlihat.

Hazan menjelaskan pemerintah Israel telah memutuskan bahwa mereka mempunyai dua tujuan dalam perang ini, yang mungkin tidak dapat dicapai keduanya.

"Yang pertama adalah menghancurkan Hamas dan yang lainnya adalah memulangkan para sandera," kata dia. "Dan seperti yang telah kita lihat, setelah lebih dari 100 hari, keduanya tidak tercapai."

Eisenkot mengungkapkan pemerintah telah gagal mencapai apa yang menurutnya seharusnya menjadi prioritas utama, yaitu menjamin pembebasan para sandera.

"Tidak ada pertanyaan bagi saya tugas apa yang merupakan prioritas tertinggi," ujar Eisenkot. "Tidak ada dilema. Bagi saya, misinya adalah menyelamatkan warga sipil (sandera) sebelum melenyapkan musuh," kata Eisenkot, seraya menambahkan bahwa nantinya akan ada waktu untuk melenyapkan Hamas.

Sebuah jajak pendapat yang dilakukan Institut Demokrasi Israel pada November menemukan bahwa meskipun warga Israel sangat mendukung upaya mengalahkan Hamas dan pembebasan sandera, mereka menganggap kembalinya para sandera adalah hal yang lebih penting.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Jurang Melebar antara AS dan Israel

Hubungan Israel dengan sekutu utamanya, Amerika Serikat (AS), juga berada dalam kondisi yang memburuk. Pada Kamis (18/1), Netanyahu menyuarakan penolakan keras terhadap skenario pasca perang yang memerlukan pembentukan negara Palestina, yang diserukan AS dan negara-negara lain.

Gagasan pembentukan negara Palestina, kata Netanyahu, akan berbenturan dengan keamanan Israel. Namun, penolakan Netanyahu tersebut tidak mengejutkan karena dia telah menegaskannya beberapa kali.

"Dalam pengaturan apa pun di masa mendatang, baik dengan atau tanpa perjanjian, negara Israel harus mengendalikan keamanan seluruh wilayah, yang berada di sebelah barat Sungai Yordan," tutur Netanyahu dalam konferensi pers di Tel Aviv ketika ditanya terkait penolakannya terhadap pendirian negara Palestina.

Netanyahu menambahkan bahwa politikus Israel yang memintanya mundur pada dasarnya meminta pembentukan negara Palestina.

Hazan melihat hubungan antara Israel dan AS kemungkinan akan memburuk, terutama karena Netanyahu ingin mempertahankan kekuasaan. Di lain sisi, desakan agar dirinya mundur disebut kian nyaring.

Ketika ditanya apakah menurutnya Netanyahu telah memperpanjang konflik untuk menjamin kelangsungan politiknya, Eisenkot mengatakan dia tidak yakin hal itu terjadi.

Selain Eisenkot, mantan Perdana Menteri Israel Ehud Barak juga menyerukan pemilu. Dalam opini yang diterbitkan di Haaretz pada Kamis, dia memperingatkan bahwa strategi Netanyahu saat ini berisiko mengasingkan AS dan meninggalkan Israel "terperosok dalam rawa Gaza".

3 dari 3 halaman

Netanyahu Sengaja Melanggengkan Perang di Jalur Gaza?

Ketika perang berakhir, beberapa analis meyakini, fokus masyarakat Israel mungkin beralih ke kelemahan Netanyahu sebelum perang. Menurut Plesner, lebih banyak perhatian dapat diberikan pada tanggung jawab atas serangan 7 Oktober dan mandat kepemimpinan yang baru.

"Mengingat situasi Netanyahu dalam opini publik, saya tidak yakin dia sangat tertarik untuk melihat fase ini terjadi," tutur Plesner.

Netanyahu, yang sebelum perang menghadapi protes massal terhadap rencananya untuk melakukan perombakan peradilan, sejauh ini menolak mengambil tanggung jawab apa pun atas peristiwa 7 Oktober. Dia juga diduga menolak mengadakan diskusi tingkat tinggi mengenai rencana pembangunan Jalur Gaza pasca perang, ungkap media Israel, sehingga menyisakan segelintir anggota koalisi pemerintahan sayap kanan untuk mengisi kekosongan tersebut dengan ide-ide yang dianggap oleh banyak orang sebagai ekstremis.

"(Netanyahu) memahami bahwa agar dia tetap berkuasa, perang harus terus berlanjut," kata Hazan. "Karena pada hari perang berakhir, saat itulah rakyat Israel akan berbalik melawannya."

Sebuah jajak pendapat yang diterbitkan awal bulan ini oleh Israel Democracy Institute (IDI) menemukan bahwa hanya 15 persen warga Israel yang menginginkan Netanyahu tetap menjadi perdana menteri setelah perang Hamas Vs Israel berakhir. Dua puluh tiga persen mengatakan mereka menginginkan mantan Menteri Pertahanan Benny Gantz menjadi perdana menteri.

Gantz secara luas dianggap sebagai penerus Netanyahu ketika pemilu diadakan.

"Jadi, meski terdengar mengerikan, Netanyahu tetap melanjutkan perang demi kepentingan politik dan kelangsungan hidup, dan itu akan membuatnya berselisih dengan pemerintahan Joe Biden," ungkap Hazan.

"Bahkan, jika pemilu diadakan di Israel, Netanyahu kemungkinan akan berkampanye menentang prospek negara Palestina, dengan mengatakan kepada mereka yang mendukungnya bahwa hanya dia yang bisa mengatakan tidak kepada Amerika Serikat dan dapat mengatakan tidak kepada negara Palestina."

Namun, Plesner tidak yakin Netanyahu sedang mencoba memperpanjang perang agar tetap berkuasa. Karena keputusan perang tidak hanya datang dari Netanyahu.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.