Sukses

Ribuan Warga Demo di Tel Aviv Minta PM Israel Benjamin Netanyahu Mundur

Ribuan warga Israel berkumpul di Tel Aviv pada Sabtu (20 Januari) untuk memprotes pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.

Liputan6.com, Tel Aviv - Ribuan warga Israel berkumpul di Tel Aviv pada Sabtu (20 Januari) untuk memprotes pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.

Mereka menyebut pemimpin veteran tersebut salah menangani keamanan negara dan menyerukan pemilu untuk kembali digerlar, dikutip dari Channel News Asia, Minggu (21/1/2024).

Protes anti-pemerintah yang mengguncang negara itu hampir sepanjang tahun 2023 berhenti setelah serangan Hamas di Israel selatan pada 7 Oktober.

Perpecahan politik dikesampingkan ketika warga Israel mendukung militer dan keluarga mereka yang terbunuh atau disandera.

Namun dengan perang dahsyat di Gaza yang sudah memasuki bulan keempat dan jajak pendapat menunjukkan rendahnya dukungan terhadap Netanyahu, seruan untuk pergantian kepemimpinan semakin kuat, meski tidak ada indikasi bahwa posisinya berada dalam ancaman.

Hal ini tercermin dalam jumlah pemilih yang hadir pada Sabtu malam di alun-alun pusat Tel Aviv, tempat banyak protes tahun lalu terjadi.

Walaupun jumlah massa lebih sedikit dibandingkan tahun lalu, jumlah tersebut masih beberapa ribu orang, banyak di antaranya yang menabuh genderang, meneriakkan kekecewaan, dan mengibarkan bendera Israel.

“Pemerintah yang meninggalkan kami pada 7 Oktober terus meninggalkan kami setiap hari. Para keluarga korban, tentara cadangan, para sandera jadi korbannya,” kata Noam Alon, yang saudara laki-lakinya adalah seorang tentara dan terbunuh saat konflik dengan kelompok bersenjata Hamas.

“Kekuasaan ada di tangan kita untuk berubah dan diperbaiki,” ujarnya.

"Pemerintah ini harus bubar. Sekarang!"

Meskipun perpecahan muncul di antara anggota kabinetnya pada masa perang, Netanyahu bertekad untuk tetap berkuasa.

Para pemimpin oposisi telah menawarkan untuk membentuk pemerintahan persatuan yang tidak dipimpin oleh Netanyahu, namun tidak ada langkah yang mendapat dukungan.

2 dari 4 halaman

Netanyahu Tersudutkan dan Mengalahkan Hamas Dinilai Tidak Realistis

Perpecahan dalam pemerintahan Israel semakin mendalam setelah menteri kabinet perang Gadi Eisenkot menyatakan tujuan utama perang untuk mengalahkan Hamas tidak realistis. Tidak hanya itu, Eisenkot menyerukan digelarnya pemilu dalam beberapa bulan mendatang.

Eisenkot berbicara tidak lama setelah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kembali mengatakan operasi militer Israel di Jalur Gaza akan terus berlanjut sampai mencapai kemenangan penuh atas Hamas. Pernyataannya juga muncul setelah Israel menarik sebagian pasukannya dari Jalur Gaza Utara dan mengisyaratkan fase baru konflik akan segera dimulai.

"Pencapaian strategis tidak tercapai … Kami tidak menghancurkan organisasi Hamas," kata Eisenkot kepada Channel 12 News, seperti dilansir CNN, Sabtu (20/1).

Pernyataan tersebut merupakan gejala terbaru dari perpecahan dalam pemerintahan koalisi pimpinan Netanyahu dan meningkatnya ketidakpuasan terhadap rencana perangnya. Didirikan tidak lama setelah serangan Hamas pada 7 Oktober, kabinet perang Israel mencakup beberapa menteri yang berselisih satu sama lain.

3 dari 4 halaman

Seruan untuk Pemilu

Eisenkot menekankan Israel perlu menyelenggarakan pemilu karena rakyat tidak lagi percaya pada kepemimpinan Netanyahu. Dia menepis kekhawatiran mengenai penyelenggaraan pemilu ketika negara tersebut sedang perang.

"Kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sama parahnya dengan kurangnya persatuan saat perang," ujar Eisenkot.

"Kita perlu pergi ke tempat pemungutan suara dan mengadakan pemilu dalam beberapa bulan ke depan, untuk memperbarui kepercayaan karena saat ini tidak ada kepercayaan. Negara Israel adalah negara demokrasi dan perlu bertanya pada diri sendiri, setelah kejadian serius ini, bagaimana kita bisa maju dengan kepemimpinan yang bertanggung jawab atas kegagalan mutlak ini?"

Presiden Institut Demokrasi Israel (IDI) di Yerusalem Yohanan Plesner menuturkan meskipun kabinet perang dibentuk untuk menunjukkan persatuan, hal itu tidak menutupi fakta bahwa terdapat perbedaan besar dalam kebijakan dan pendekatan. Perpecahan itu pun sekarang muncul ke permukaan.

Senada dengan Plesner, ilmuwan politik di Universitas Ibrani Yerusalem Reuven Hazan menilai bahwa ketika perang telah melewati batas 100 hari, perpecahan pasti akan muncul.

"Dan memang demikian," kata Hazan kepada CNN, seraya menambahkan bahwa perbedaan antara kedua kubu semakin buruk setiap hari.

Lebih dari tiga bulan setelah Netanyahu melancarkan perang di Jalur Gaza, tanda-tanda pertempuran akan berakhir masih belum terlihat.

 

4 dari 4 halaman

2 Tujuan Perang

Hazan menjelaskan pemerintah Israel telah memutuskan bahwa mereka mempunyai dua tujuan dalam perang ini, yang mungkin tidak dapat dicapai keduanya.

"Yang pertama adalah menghancurkan Hamas dan yang lainnya adalah memulangkan para sandera," kata dia. "Dan seperti yang telah kita lihat, setelah lebih dari 100 hari, keduanya tidak tercapai."

Eisenkot mengungkapkan pemerintah telah gagal mencapai apa yang menurutnya seharusnya menjadi prioritas utama, yaitu menjamin pembebasan para sandera.

"Tidak ada pertanyaan bagi saya tugas apa yang merupakan prioritas tertinggi," ujar Eisenkot. "Tidak ada dilema. Bagi saya, misinya adalah menyelamatkan warga sipil (sandera) sebelum melenyapkan musuh," kata Eisenkot, seraya menambahkan bahwa nantinya akan ada waktu untuk melenyapkan Hamas.

Sebuah jajak pendapat yang dilakukan Institut Demokrasi Israel pada November menemukan bahwa meskipun warga Israel sangat mendukung upaya mengalahkan Hamas dan pembebasan sandera, mereka menganggap kembalinya para sandera adalah hal yang lebih penting.