Sukses

Hampir 80 Tahun Pasca-Holocaust, 245.000 Orang Yahudi yang Selamat Masih Hidup

Hampir setengah dari penyintas Holocaust atau 49 persen, tinggal di Israel. Sisanya menyebar ke sejumlah negara.

Liputan6.com, New York - Hampir 80 tahun setelah Holocaust, sekitar 245.000 orang Yahudi yang selamat masih hidup dan tinggal di lebih dari 90 negara. Demikian laporan yang diungkapkan pada Selasa (23/1/2024).

Laporan Konferensi Klaim Material Yahudi Melawan Jerman atau Claims Conference yang berbasis di New York menyebutkan, hampir setengah dari mereka atau 49 persen, tinggal di Israel; 18 persen berada di Eropa Barat, 16 persen di Amerika Serikat (AS), dan 12 persen di negara-negara bekas Uni Soviet. Sebelum laporan demografi diterbitkan, hanya ada perkiraan samar mengenai berapa banyak korban Holocaust yang masih hidup.

Jumlah mereka dengan cepat berkurang mengingat sebagian besar sudah sangat tua dan sering kali memiliki kondisi kesehatan yang buruk, dengan usia rata-rata 86 tahun. Dua puluh persen dari mereka yang selamat berusia di atas 90 tahun dan lebih banyak perempuan (61 persen) dibandingkan laki-laki (39 persen) yang masih hidup.

Laporan bertajuk "Holocaust Survivors Worldwide. A Demographic Overview" itu mengungkap sebagian besar atau 96 persen dari korban selamat adalah penyintas yang lahir setelah tahun 1928.

"Angka-angka dalam laporan ini menarik, namun penting juga untuk melihat melampaui angka-angka tersebut," kata wakil presiden eksekutif Claims Conference Greg Schneider, seperti dilansir AP, Jumat (26/1).

"Mereka adalah orang-orang Yahudi yang dilahirkan di dunia yang ingin melihat mereka dibunuh. Mereka menanggung kekejaman Holocaust di masa muda mereka dan dipaksa untuk membangun kembali kehidupan mereka dari abu kamp dan ghetto yang menghancurkan keluarga dan komunitas mereka."

Enam juta orang Yahudi Eropa dan minoritas lainnya disebut dibunuh oleh Nazi dan kolaborator mereka selama Holocaust.

 

2 dari 3 halaman

Jerman Telah Membayar Kompensasi Lebih dari USD 90 Miliar

Di Polandia, dari 3,3 juta orang Yahudi yang tinggal di sana pada tahun 1939, hanya sekitar 300.000 yang selamat.

Sekitar 560.000 orang Yahudi tinggal di Jerman pada tahun 1933, tahun ketika Adolf Hitler berkuasa. Pada akhir Perang Dunia II tepatnya pada tahun 1945, jumlah mereka berkurang menjadi sekitar 15.000 – melalui emigrasi dan pemusnahan.

Komunitas Yahudi di Jerman tumbuh kembali setelah tahun 1990, ketika lebih dari 215.000 migran Yahudi dan keluarga mereka datang dari negara-negara bekas Uni Soviet, beberapa di antaranya juga merupakan penyintas.

Saat ini, hanya 14.200 penyintas yang masih tinggal di Jerman.

Salah satunya adalah Ruth Winkelmann, yang selamat dengan bersembunyi bersama ibu dan saudara perempuannya di sebuah gudang taman di pinggiran utara Berlin. Ayahnya terbunuh di kamp kematian Auschwitz. Adik perempuannya, Esther, meninggal karena sakit, kelaparan, dan kelelahan pada Maret 1945, hanya beberapa minggu sebelum pembebasan Berlin oleh Tentara Merah Soviet.

Winkelmann, yang berusia 95 tahun dan masih tinggal di Berlin, menuturkan tidak ada satu hari pun dalam hidupnya dia tidak mengingat ayah tercintanya.

"Itu selalu menyakitkan," ujar dia. "Rasa sakitnya terasa sepanjang hari."

Dalam laporan barunya, Claims Conference menyatakan bahwa mereka mendefinisikan para penyintas Holocaust berdasarkan perjanjian dengan pemerintah Jerman dalam menilai kelayakan program kompensasi. Bagi Jerman, definisi tersebut mencakup semua orang Yahudi yang tinggal di negara tersebut sejak 30 Januari 1933, ketika Hitler berkuasa, hingga Mei 1945, ketika Jerman menyerah tanpa syarat dalam Perang Dunia II.

Kelompok ini menangani klaim atas nama orang-orang Yahudi yang menderita di bawah pemerintahan Nazi dan menegosiasikan kompensasi dengan Kementerian Keuangan Jerman setiap tahun. Pada Juni, Claims Conference mengatakan Jerman telah setuju memberikan tambahan dana sebesar USD 1,4 miliar secara keseluruhan untuk para penyintas Holocaust di seluruh dunia pada tahun 2024.

Sejak tahun 1952, pemerintah Jerman telah membayar lebih dari USD 90 miliar kepada individu atas penderitaan dan kerugian mereka akibat penganiayaan oleh Nazi.

Claims Conference menyelenggarakan beberapa program kompensasi yang memberikan pembayaran langsung kepada para penyintas secara global, memberikan hibah kepada lebih dari 300 lembaga layanan sosial di seluruh dunia dan memastikan para penyintas menerima layanan seperti perawatan di rumah, makanan, obat-obatan, transportasi, dan sosialisasi.

Mereka juga telah meluncurkan beberapa proyek pendidikan yang menggambarkan pentingnya menyampaikan kesaksian para penyintas Holocaust kepada generasi muda ketika jumlah mereka semakin sedikit dan antisemitisme kembali meningkat.

"Data yang kami kumpulkan, tidak hanya memberi tahu kami berapa banyak dan di mana para penyintas berada, namun juga dengan jelas menunjukkan bahwa sebagian besar penyintas berada pada periode kehidupan di mana kebutuhan mereka akan perawatan dan layanan semakin meningkat," tutur Presiden Claims Conference Gideon Taylor.

"Sekarang adalah waktunya untuk melipatgandakan perhatian kita terhadap berkurangnya populasi ini. Sekarang adalah saat mereka paling membutuhkan kita."

3 dari 3 halaman

Misi Hidup Penyintas: Menceritahkan Kisahnya

Winkelmann, tidak berbicara kepada siapa pun selama beberapa dekade tentang kengerian yang dia alami selama Holocaust, bahkan kepada suaminya.

Namun, pada tahun 1990-an, dia didekati oleh orang asing yang melihat kalungnya dengan liontin Bintang Daud. Sosok tersebut bertanya apakah dia adalah seorang Yahudi yang selamat dan apakah dia dapat menceritakan pengalamannya di depan kelas putrinya di sekolah.

"Ketika saya mulai berbicara tentang Holocaust untuk pertama kalinya, di depan para siswa tersebut, saya tidak bisa berhenti menangis," kata Winkelmann. "Sejak itu saya sudah membicarakannya berkali-kali dan air mata saya berkurang."

Meskipun dia mengatakan tidak akan pernah ada akhir dari teror yang dialaminya dan semua korban selamat lainnya, Winkelmann kini menjadikan misi hidupnya untuk menceritakan kisahnya. Bahkan pada usianya, dia masih mengunjungi sekolah-sekolah di Jerman — dan menyampaikan pesan kepada para pendengarnya.

"Saya mengatakan kepada anak-anak bahwa kita semua mempunyai satu Tuhan dan meskipun kita menamainya berbeda dan mempunyai doa yang berbeda, kita tidak boleh melihat apa yang memisahkan kita, tapi apa yang menyatukan kita," ujarnya.

"Dan meskipun kita berbeda pendapat, kita tidak boleh berhenti berbicara satu sama lain."

Video Terkini